telusur.co.id - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menaksir bahwa, pada tahun 2020, timbunan sampah di Indonesia akan mencapai 67,8 juta ton. 

Salah satu jenis sampah yang lebih banyak jumlah volumenya, sekitar 60% adalah sampah organik, jika dibandingkan dengan jumlah volume sampah anorganik. 

Hal ini tidak hanya terjadi sehari atau dua hari saja, tetapi tiap hari karena sampah-sampah itu ada setiap harinya, dan kebanyakan berasal dari sampah dapur rumah.

Dalam lomba lingkungan hidup yang diadakan oleh Tunas Hijau, dengan nama Penganugerahan Pangeran dan Puteri Lingkungan Hidup 2021, sekolah SMPN 44 Surabaya mengikutsertakan Gabriela Kartika Ratnasari, siswa kelas IX. 

“Dalam lomba tersebut, siswa diwajibkan untuk mengajukan suatu proyek yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup yang ada dan sering terjadi, dan proyek yang diambil ECO ENZYME,” ucap Kepala Sekolah SMPN 44 Surabaya, Sri Widowati. Kamis, (26/8/2021). 

Eco Enzyme adalah hasil dari fermentasi limbah dapur organik seperti ampas buah dan sayuran, gula (gula merah, atau gula aren, atau molase / tetes tebu), dan air yang menghasilkan kandungan disinfektan karena adanya alkohol atau senyawa kimia asam dalam fermentasi tersebut. 

“Dalam mengolahnya perlu adanya perbandingan, yaitu limbah organik : gula / molase : air adalah 3 : 1 : 10. Dan lama pembuatan Eco Enzyme hingga panennya adalah 3 bulan untuk wilayah tropis, dan 6 bulan untuk wilayah sub-tropis. Adapun ciri-cirinya, warnanya coklat gelap dan memiliki aroma fermentasi asam segar yang kuat,” tuturnya. 

Eco Enzyme ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Rosukon Poompanvong yang merupakan pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand yang melakukan penelitian sejak tahun 1980-an, dan diperkenalkan secara lebih luas oleh Dr. Joean Oon, seorang peneliti Naturopathy dari Penang, Malaysia. 

“Tujuan dari pembuatan Eco Enzyme ini, adalah upaya untuk penyelamatan bumi dari pemanasan global akibat dari banyaknya rumah kaca. Jadi kita perlu mempertimbangkan betapa pentingnya membuat Eco Enzyme,” jelasnya. 

Manfaat dari Eco Enzyme ini, dimulai dari hari ketujuh setelah pembuatan Eco Enzyme, akan melepaskan gas ozon (03) yang dapat mengurangi karbondioksida (CO2) di atmosfer yang memperangkap panas di awan, hal ini akan mengurangi efek rumah kaca dan pemanasan global.  

“Eco Enzyme mengubah amonia menjadi nitrat (NO3), hormon alami dan nutrisi untuk tanaman, juga mengubah CO2 menjadi karbonat (CO3) yang bermanfaat bagi tanaman laut dan kehidupan laut,” papar Widowati. 

Berikut beberapa manfaat yang dapat dirasakan warga dalam membuat eco enzyme : 

Pertama, hemat ; dalam mengolah limbah dapur tanpa menggunakan energi listrik, dan tempat fermentasinya dapat menggunakan barang-barang bekas. 

Kedua, mengurangi polusi ; dalam fermentasi Eco Enzyme mengubah gas amonia menjadi gas nitrat, mengubah karbondioksida menjadi karbonat, dan mengeluarkan gas ozon. 

Ketiga, air purify ; cairan Eco Enzyme dapat membersihkan udara dari racun, polusi dan menghilangkan bau / sebagai aromaterapi. 

Keempat, banyak manfaat lainnya ; dapat digunakan sebagai pembersih rumah tangga (membersihkan kerak kamar mandi, pembersih lantai, mencuci peralatan makan dan dapur, mencuci pakaian), disinfektan, mengusir hama dan serangga (tikus, kecoa, semut), pupuk organik. 

Semuanya itu didapat karena cairan Eco Enzyme adalah pembersih yang 100% natural, bebas dari bahan kimia, mudah terurai, dan lembut di tangan, serta menyehatkan di lingkungan. 

"Dengan membuat Eco Enzyme, kita telah turut serta dalam penyelamatan bumi, karena dapat mengurangi limbah organik dapur, mengurangi pemakaian pembersih yang berbahan kimia, dan meningkatkan kesehatan kita,” harap Sri Widowati. (ari)