telusur.co.id - Sidang gugatan pra peradilan tengah dilakukan Kukuh P. A. warga Dukuh Kupang Surabaya ini melalui kuasa hukumnya G. W. Thody, Evaristus Wilyanus M., dan Ferdinandus Noe pada Polresta Sidoarjo. 

Sidang gugatan praperadilan yang memasuki tahap jawaban dari pihak Termohon (Polresta Sidoarjo) yakni melakukan penyerahan berkas jawaban atas gugatan kuasa hukum Kukuh di hadapan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo. Kamis, (07/10/2021).

Diketahui pada sidang gugatan praperadilan lanjutan ini pihak Termohon dalam hal ini Polresta Sidoarjo menyerahkan juga 36 alat bukti kepada Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sidoarjo.

Dalam hal ini, penasehat hukum (PH) Kukuh, Thody menjelaskan, alat bukti yang diserahkan pihak Termohon pada Hakim adalah 36 alat bukti perkara pokok di antaranya gelar perkara. 

"Di sini kami tidak membahas itu, yang kami permasalahkan adalah administrasi putusan tersangka klien kami, bukan alat bukti,” tegasnya.

Dijelaskan Thody, masalah yang membuat dirinya dan rekan menggugat praperadilan pihak Polresta Sidoarjo adalah putusan tersangka pada kliennya tersebut dianggap tidak sesuai prosedur alias cacat hukum. 

"Kuat dugaan adanya target mentersangkakan klien kami. Kalau itu benar adanya, sangat berbahaya ini,” lugasnya.

Dugaan itu dipaparkan Thody dengan beberapa tindakan Penyidik yang menurutnya tidak sesuai aturan. Pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap) pasal 12 berbunyi dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif dengan terpenuhinya beberapa syarat.  

“Jadi kesalahan pertama mereka, tidak melakukan upaya itu," sambungnya. 

Kasus ini dikatakan Thody adalah kasus tipu gelap konvensional jadi tak perlu selalu harus diselesaikan melalui proses hukum.  

“Kalau pos polisi atau pos hansip buka loket terima laporan mungkin akan banyak masyarakat lapor disitu. Namanya tipu gelap itu tiap hari laporan itu ada.  

“Jadi kasus ini kasus konvensional, sangat memenuhi syarat dilakukan restorative justice itu tidak dilakukan oleh mereka. Berarti melanggar pasal 12. Polisi itu kan penengah, jadi tak ada kepentingan apapun dari kedua belah pihak sehingga tugasnya hanya menengahi masalah,” bebernya.  

Hal kedua dijelaskan pada perkara yang saat itu masih dalam tahap penyelidikan, Penyidik telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan juga hari itu juga diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada hari dan tanggal yang sama. 

"Padahal, dalam Pasal 109 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan SPDP itu disampaikan dalam rangka penyidikan, bukan penyelidikan, dan diberitahu kepada penuntut umum minimal 7 hari, setelah keluarnya surat perintah penyidikan, bukan 1 hari yang sama.  

Yang berikutnya putusan Makammah Konstitusi Nomor 130 tahun 2015 menjelaskan bahwa, wajib hukumnya SPDP diserahkan pada terlapor minimal dalam 7 hari, dan bila tidak diserahkan, maka SPDP itu, penyidikannya dianggap tidak sah,” urai Thody. 

Kemudian pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014 tentang menetapkan objek praperadilan sah tidaknya penetapan tersangka.  

“Disini dijelaskan, syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang.  

“Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu,” papar Thody. 

Ditambahkan Thody, pada Perkap RI No 6 Tahun 2019 Pasal 9 berbunyi; hasil penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana.  

"Dalam hal ini, gelar perkara dalam kasus ini kami tidak pernah diberitahu, walau pada peraturan ini tak ada ketentuan wajib memberi tahu, tetapi merujuk pada putusan MK tentang transparansi dan hak asasi manusia dapat ditafsirkan hal tersebut jadi wajib diberitahu,” sambungnya. 

Perlu diketahui, kasus gugatan praperadilan yang dilakukan Kukuh melalui kuasa hukumnya, karena adanya Laporan Polisi (LP) di Polresta Sidoarjo oleh Raharjo selaku perwakilan perusahaan garam PT U.C.I yang awalnya sebagai penjual garam milik PT U.C.I yang diperoleh melalui UD DJ milik Yohanes Hartanto (Jono) sebagai karyawan PT U.C.I saat itu. 

Dalam hal kerjasama bisnis ini, Kukuh tak pernah mengenal satupun atau bertemu satupun pimpinan atau pemilik perusahaan PT U.C.I hanya melakukan transaksi dengan Jono yang produk barangnya dikirim ke gudang milik Kukuh. Dan bila laku, Kukuh wajib menyetorkan sejumlah rupiah sesuai harga yang telah disepakati dan sisanya merupakan keuntungan Kukuh.  

Setelah berjalan sekian lama, Jono akhirnya diberhentikan oleh PT U.C.I, sehingga perwakilan PT U.C.I dan menarik kembali semua barang mereka di gudang Kukuh. Bahkan PT UCI memberitahu pada para langganan, agar tak lagi boleh membayar sisa utang garam pada Kukuh,sehingga dari sinilah awal terjadi sengketa piutang yang akhirnya berlanjut pada laporan polisi. (ari)