telusur.co.id - Sidang Pra Peradilan dilakukan seorang pemuda bernama Kukuh P. A. melalui kuasa hukumnya G. W. Thody dan rekan pada Polresta Sidoarjo. Hal ini dilakukan karena Kukuh tengah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan. 

Kasusnya sendiri berawal dari adanya laporan Polisi di Polresta Sidoarjo oleh Raharjo selaku perwakilan perusahaan garam PT UCI pada Kukuh sebagai penjual garam milik PT UCI yang diperoleh melalui UD DJ milik Yohanes Hartanto (Jono) sebagai karyawan PT UCI saat itu. 

Adanya dugaan kuat penyidik Polres Sidoarjo telah menyalahi prosedur dalam melakukan penetapan tersangka pada Kukuh sehingga penetapan ini lalu diuji keabsahannya melalui Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang sidang pertamanya dilakukan di hadapan Hakim Tunggal.

Dalam kesempatannya, kuasa hukum Kukuh Todhy menjelaskan, "Klien kami awalnya menjual garam milik PT UCI yang perolehan barangnya melalui saudara Jono (UD DJ),” ucapnya. Selasa, (05/10/2021).

"Klien kami sendiri tak pernah bertemu dengan PT UCI, karena selama ini perolehan barang hanya melalui saudara Jono dan bila laku pembayaran langsung ditransfer ke tekening perusahaan dan keuntungannya diambil klien kami,” bebernya.

Saat saudara Jono dikeluarkan dari PT UCI, akhirnya datang perwakilan PT UCI menarik semua barang mereka dan memberitahu pada para langganan agar tak boleh lagi membayar sisa utang garam pada Kukuh, sehingga dari sinilah terjadi sengketa piutang antara Kukuh dengan PT UCI.  

Dalam hal gugatan Pra Peradilan pada Polresta Sidoarjo sendiri, Thody mengungkapkan adanya dugaan penyidik saat melakukan penetapan tersangka pada kliennya tidak sesuai proses hukum yang benar.  

"Dugaan adanya kesalahan penetapan tersangka pada klien kami di antaranya seharusnya ini adalah masalah bisnis, sehingga tidak dijadikan kasus pidana, dan pihak kepolisian sebagai penegak hukum dalam hal ini penengah, seharusnya dapat dulu melakukan restorative justice (proses mempertemukan kedua belah pihak guna membicarakan masalah yang mungkin dapat diselesaikan tanpa perlu melalui jalur hukum)," sambungnya. 

Selain tak melakukan hal tersebut, lanjutnya, kepolisian dalam hal ini penyidik diduga melanggar prosedur. Karena kliennya dipanggil sebagai saksi untuk dimintai keterangan pada tanggal 8 Juli 2021, dengan surat tertanggal 30 Juni 2021. 

“Pada panggilan kedua surat bertanggal 26 Juli 2021, klien kami kembali diminta menghadap penyidik tanggal 2 Agustus yang akan dimintai keterangan sebagai saksi.  

“Tetapi, anehnya, pada tanggal 26 tersebut juga terbit Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan juga dilampirkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Jadi dalam 1 hari diterbitkan 3 surat bersamaan dan hal tersebut dianggap melanggar ketentuan,” tegasnya. 

“Dijelaskan hasil penyelidikan yang telah ditingkatkan menjadi penyidikan pada ketentuan Peraturan Kapolri Pasal 9 Ayat (1) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidik Tindak Pidana, wajib dilakukan gelar perkara. Sementara, kami kuasa hukum dan klien tak mengerti sama sekali kapan gelar perkara itu dilakukan,” lugas Thody. 

Sehingga, dalam hal ini dengan tak mengurangi rasa hormatnya terhadap petugas kepolisian sebelum melakukan pra peradilan ini.  

Pihaknya telah menyurati penyidik dan jajaran agar melakukan gelar perkara ulang dengan mengundang kliennya dan kuasa hukum agar putusan tersangka ini lebih terbuka dan terang benderang.  

"Tetapi ternyata pihak penyidik dan jajaran Polresta Sidoarjo ternyata tak menggubris permohonan kami, sehingga dengan terpaksa kami mempraperadilkan masalah ini agar diuji di depan pengadilan,” tutur G. W. Thody. (ari)