telusur.co.id - Gugatan hasil Pilkada di sejumlah daerah masih dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari 132 gugatan Pilkada, sebanyak 100 permohonan di antaranya kandas dalam sidang pengucapan putusan pada 15-17 Februari 2021.

Mayoritas gugatan atau 72 permohonan sengketa Pilkada tak berlanjut, karena tidak memenuhi syarat ambang batas suara, sesuai Norma 158 UU Pilkada.

Diketahui, syarat selisih suara paslon yang dapat menggugat hasil Pilkada dengan paslon pemenang, tidak boleh melebihi selisih 0,5 % sampai 2 % dihitung berdasarkan total suara sah yang masuk ke KPUD tersebut. Artinya, tersisa 32 gugatan Pilkada yang berlanjut ke tahap pembuktian.

MK telah menentukan jadwal sidang pembuktian dengan pemeriksaan saksi, penambahan alat bukti serta menghadirkan keterangan ahli dalam persidangan yang jadwalkan antara pada 22 Februari hingga 4 Maret 2021. Faktanya,  dari 32 gugatan tersebut, tidak semuanya lolos karena tidak memenuhi syarat selisih suara.

Pakar Hukum Tata Negara, Moch. Zaeni, mengatakan, sampai sekarang masih terdapat 9 gugatan Pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat Formil Norma 158 UU Pilkada tetapi tetap berlanjut ke sidang pembuktian.

Dari 9 gugatan tersebut, satu di antara permohonanya bahkan tidak layak mendapat nomor register, dikarenakan melebihi tenggang waktu saat pendaftaran ke MK. 

"Dari 32 perkara, terdapat 8 perkara yang lewat ambang batas, dan bahkan 1 perkara lewat ambang batas, dan lewat waktu pengajuan sengketa," beber Zaeni kepada wartawan di sela-sela sebagai Akademisi Hukum Tata Negara. Senin, (01/3/2021). 

"Sehingga, totalnya ada 9 perkara dari 32, yang lewat ambang batas tetapi MK tetap melanjutkan perkaranya," imbuh Zaeni. 

Zaeni menyebut, 9 gugatan yang melebihi ambang batas Norma 158 antara lain; Kabupaten Nias Selatan, Kupaten Samosir, Kabupaten Boven Digoel, Kota Banjarmasin, Kabupaten Bandung, Kabupaten Belu, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Samosir. 

Zaeni mencontohkan hasil pilkada Kabupaten Bandung yang digugat paslon Kurnia Agustina dan Usman Sayogi memiliki selisih mencapai 25,17 %. 

Menurut Zaeni, Mahkamah Konstitusi hari ini tidak menegakkan hukum dan menjadi pengawal konstitusi (The Guardian Of The Constitution) namun lebih mempolitisasi pelanggaran demokrasi dan tebang pilih pemilu daerah. 

Diketahui bersama, seperti halnya Pilkada kota Surabaya Machfud Arifin-Mujiaman yang mempunyai selisih suara 13,89 % dengan Eri Cahyadi-Armuji dinyatakan ditolak gugatanya oleh MK. 

Pilkada kabupaten Banyuwangi juga mengalami hal yang serupa dengan Surabaya yakni pelanggaran pemilu seperti halnya penyalahgunaan kewenangan pejabat, politik uang, insentif guru ngaji, insentif RT/RW, penggunaan fasilitas negara sampai menggunakan APBN /APBD untuk kepentingan pribadi tidak dianggap pelanggaran yang nyata oleh MK. 

Pemilihan Bupati Banyuwangi sendiri mempunyai selisih suara 4,86 % namun dianggap tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) karena melebihi ambang batas selisih suara. 

Contoh lain, kata Zaeni, yakni gugatan Kabupaten Yalimo yang berada di Provinsi Papua. 

Selisih suara pasangan calon yang menggugat, Lakius Peyon dan Nahum Mabel, dengan pasangan calon pemenang, Erdi Dabi dan Jhon Wilil, mencapai 5,29%. 

"Kasus ini melewati syarat ambang batas yang ditentukan, tetapi tetap masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Poin-poin yang menjadi pokok-pokok permohonan Pemohon, di antaranya KPU tidak melaksanakan rekomendasi Panwascam, dugaan KPU melakukan rekapitulasi tidak sesuai dengan berita acara dan sertifikat rekapitulasi, serta terdapat dugaan perampasan, pengadangan, dan kekerasan oleh Tim Paslon Pihak Terkait terhadap logistik surat suara," lugasnya. 

Zaeni menilai, berlanjutnya 9 perkara itu, meski tak memenuhi syarat ambang batas selisih suara, setidaknya mk sangat tidak memberikan kepastian hukum dan berubah-ubah dalam menginterpretasi Norma 158 UU Pilkada.  

“Jangan sampai dari 9 perkara di MK yang tidak memenuhi syarat ambang batas salah satu ada yang menjadi pemenang dan dilantik menjadi kepala di daerah tersebut,” tegasnya. 

Calon gelar Doktor Hukum tersebut menambahkan, saran pertama jika ambang batas tersebut dilakukan revisi oleh DPR Komisi III bersama-sama dengan Pemerintah untuk menepis anggapan pelanggaran dan kecurangan demokrasi boleh dilakukan bagi calon kepala daerah. 

Tapi harus melebihi selisih ambang batas norma jumlah suara sah supaya tidak bisa diproses secara konstitusi dan saran kedua, supaya MK tidak berpolitik dalam memeriksa sengketa Pilkada dengan alasan keyakin hakim dapat menerima atau menolak daerah yang melebihi ambang batas,” tutup Moch. Zaeni. (ari)