telusur.co.id - Riuh rendah suara alat tenun diiringi musik daerah memecah heningnya suasana Desa Dayu yang terletak di Nglegok, Kabupaten Blitar. Wiji Utami bersama tiga rekannya memulai kegiatan membuat kain tenun ikat.
Sejak tahun 2019, kegiatan membuat tenun ikat telah menjadi salah satu kegiatan rutin yang berpusat di kediaman Sucipto, penggagas tenun ikat Blitar. Tenun ikat ini telah mampu mengangkat perekonomian Wiji dan mantan pekerja migran lainnya.
Bagi Wiji dan lainnya, kegiatan menenun menjadi sarana pemulihan bagi pekerja migran yang mengalami trauma dan terpuruk pasca kepulangan ke Indonesia. Bersosialisasi dengan rekan-rekan, memintal benang, hingga merangkai benang menjadi selembar kain tenun dengan motif etnik khas Blitar yakni Penataran.
Menenun tidak hanya membawa rasa nyaman bagi Wiji, tenun juga membawa rasa percaya dirinya kembali muncul untuk hadir di tengah masyarakat. Tidak hanya menenun, Wiji juga mulai dapat memberi pelatihan kepada masyarakat setelah sebelumnya tidak percaya diri dengan kondisi fisiknya yang tidak lagi sempurna.
“Saya malu sama teman-teman, kondisi saya seperti ini. Rasanya tidak ada yang bisa saya kerjakan untuk diri saya dan orang lain. Melalui kelompok ini, sekarang ternyata ada yang mau dengarkan saya, bisa ngajarin orang. Senang ketemu orang,” ujar Wiji dengan mata berbinar. Rabu, (27/12/2023).
Sejak berdiri, PLN Peduli hadir dan mendampingi perjalanan lima orang pekerja yang merintis usaha tenun ikat ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan dukungan penuh PLN Peduli, Tenun Ikat Blitar kini telah memiliki 27 pekerja yang terlibat dalam pembuatan dan pengolahan tenun ikat.
General Manager PT PLN (Perser) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur, Agus Kuswardoyo menyampaikan rasa bangganya terhadap semangat mantan pekerja migran untuk tetap mandiri dan berdaya.
“PLN Peduli memiliki semangat yang sama untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, memberi manfaat lebih kepada masyarakat umum dan menjalin sinergi positif. Kami berharap dengan mengiringi perjalanan mereka. Tenun Ikat Blitar menjadi produk lokal unggulan yang mampu menembus pasar nasional bahkan dunia,” tukasnya.
Meski sempat vakum selama pandemi, komunitas pengrajin tenun ikat blitar yang berada di bawah naungan Rumah BUMN Blitar ini mampu meraup omset 62 juta pada tahun 2022 dan 66,33 juta pada tahun 2023.
“Semoga penghasilan terus bertambah yang tentunya akan meningkatkan semangat para pengrajin. Lebih dari itu, tenun ikat bagi mereka bukan hanya menggabungkan untaian benang menjadi kain namun juga menjadi alat bagi masyarakat untuk menyambung impian yang belum sempat terwujud,” kata pengelola Rumah BUMN Blitar, Sulistyaningsih saat memberikan pelatihan kepada para pengrajin di Desa Dayu ini. (ari)