telusur.co.id - Paruman / rapat warga Banjar Adat dan Dinas Kaja Kangin Desa Kubutambahan, Kab. Buleleng, Prov. Bali hampir berlangsung panas. Pasalnya, permasalahan tanah Balai Dusun yang terjadi pengalihan hak dari pemilik ke desa adat, Kelian Banjar Adat menantang pemilik sah, bahkan siap dipenjara.

Tanah seluas 5 are yang dimilik keluarga Ketut Paang Suci Wira Brata Yudha, dahulu hanya diberikan pinjam pakai oleh keluarganya  kepada Banjar Adat untuk dijadikan Balai Dusun / Banjar Adat pada tahun 1965. 

Namun, era perkembangan zaman, tanah tersebut beralih dan disertifikatkan oleh salah satu oknum Prajuru Desa Adat, melalui Prona 2018 bahkan diduga tidak melalui persetujuan pemilik hak. 

Kelian Adat Kaja Kangin, Gede Mudana dalam penyampaiannya kepada Krama, di hadapan Camat, Kades, Kadus enggan menyerahkan kembali tanah terserbut ke pihak keluarga Ketut Paang, namun melemparkan masalah tersebut kembali kepada masyarakat Banjar Adat Kaja Kangin.

Rapat hampir tegang dan berhasil diredam oleh Camat Kubutambahan, Gede Suyasa, ia meminta agar diselesaikan secara hati, damai dan duduk bersama antara keluarga Ketut Paang dan Prajuru Adat sehingga polemik tidak berkepanjangan dan menjadi warisan warga sekitar.

Kelian Banjar Adat Kaja Kangin, I Gede Mudana, yang dari awal sudah terlihat emosi, menantang ahli waris Gede Putra (alm) untuk bertarung dan berperang lewat jalur hukum. 

“Kita ada sertifikat, silahkan lewat jalur hukum. Saya siap masuk penjara, saya sudah biasa dipenjara. Kalau memang karena saya tanda tangan surat, harus masuk penjara, saya siap masuk penjara,” tantang I Gede Mudana seraya menegaskan bahwa dirinya siap mempertahankan Sertifikat Balai Banjar Adat Kaja Kangin yang berdiri atas tanah sengketa tersebut. Kamis, (15/4/2021). 

Mudana mengaku, dirinya berani masuk penjara karena dipastikan dia tidak akan sendiri masuk penjara. Ia pastikan bahwa, kalau dia masuk penjara karena menandatangani surat pernyataan penguasaan atau pemilikan tanah itu, maka ia yakin Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana dan Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea pun masuk penjara bersama dirinya. 

“Saya berani masuk penjara, karena tidak mungkin saya sendiri masuk, pasti Jro Warkadea dan Perbekel pun masuk penjara bersama saya,” terangnya sambil tersenyum kecut. 

Rapat yang digelar di Balai Banjar Adat Kaja Kangin yang kini menjadi obyek sengketa antara ahli warks Gede Putra (alm) versus Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea itu beragenda tunggal meminta sikap Krama Banjar Adat Kaja Kangin soal somasi Bidkum Polda Bali, sebagai tim kuasa hukum ahli waris Gede Putra (alm) sebagai pemilik tanah yang saat ini di atasnya dibangun Balai Banjar Adat Kaja Kangin itu. 

Menariknya, somasi dilayangkan kepada pribadi Jro Pasek Warkadea, namun Mudana malah melibatkan masyarakat di Banjar Kaja Kangin seolah somasi itu menjadi kasus bersama.  

“Saya tanya Krama yang hadir, setuju mengembalikan tanah ini, atau mempertahankan tanah dengan Balai Banjar Adat ini?” tanya Mudana kepada Krama peserta rapat. 

Sayang, pertanyaan Mudana itu tidak direspon oleh Krama yang hadir. Malah sebagian Krama peserta rapat pergi meninggalkan rapat setelah mendengar pertanyaan Mudana itu. 

Melihat situasi panas yang dibuat oleh Mudana, Camat Suyasa langsung memotong pembicaraan Mudana. Camat Suyasa meminta Mudana maupun Krama agar tidak boleh menanggapi persoalan ini dengan emosi.  

“Tidak boleh menggunakan emosi. Mari kita mencari solusi terbaik. Mari kita melakukan mediasi dengan bertemu kedua pihak,” tandas Camat Suyasa. 

Camat Suyasa menyatakan bahwa, kasus ini bukan masalah kecil, karena sudah masuk ke ranah hukum dengan melayangkan somasi kepada Jro Pasek Warkadea.  

Maka itu, ia meminta semua pihak harus menahan diri dan berhati-hati karena setelah sertifikat atas nama desa adat terbit, ahli warks Gede Putra (alm) pun datang dengan membawa sertifikat.  

“Hati-hati, karena ini sudah masuk ranah hukum, sudah ada somasi. Ini bukan main-main. Mari kita cari jalan keluar secara damai. Jangan bergerak apa-apa bagi yang tidak mengetahui apa-apa,” tegas Camat Suyasa. 

Menurut pandangan Camat Suyasa, kasus ini masih di ranah masalah adminitrasi alias perdata. Jadi, ia mengajak semuanya bersama-sama mencari kebenaran dengan cara melakukan mediasi dengan bertemu kedua pihak baik ahliwaris maupun Jro Pasek Warkadea.  

“Tanyakan juga ke BPN bagaimana status tanah ini. Kalau sudah ada sertifikat sebelumnya, sekarang bagaimana caranya menyelesaikan. Apakah perlu minta ke ahli waris, ya kita minta agar tetap dipakai. Biarkan Perbekel dan Kelian Banjar yang menyelesaikan, yang lain tidak usah ramai-ramai ikut,” terang Camat Suyasa lagi. 

Sementara Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana mengaku bahwa, dirinya memang ikut menandatangani surat pernyataan penguasaan, karena Kelian Banjar Dinas Kaja Kangin sudah menandatanganinya terlebih dahulu.  

“Benar saya tanda tangan surat itu. Saya tanda tangan karena Kelian Banjar sebagai perpanjang Perbekel di bawah sudah tandatangan, maka saya tandatangan. Karena Kelian Banjar sebagai pejabat terbawah lebih tahu di masyarakat,” papar Perbekel Pariadnyana membela diri. 

Sejumlah data yang diterima media ini menyebutkan bahwa, lahan atau tanah seluas 500 meter persegi yang dipakai untuk SD 4 dan SD 5 serta Balai Banjar Adat Kaja Kangin itu berstatus pinjam pakai yang diberikan oleh pemiliknya bernama Gede Putra (almarhum).  

Ketua LSM Garda Tipikor Indonesia, Jro Gede Budiasa yang juga hadir dan tahu persis setiap proses sertifikasi di BPN kepada Faktapers.id menerangkan, “Itu sudah jelas tanah milik, bukan tanah negara atau tanah adat yang harus diPronakan, ini sama dengan mafia tanah mengatasnamakan adat.  

Dan sudah ada keterangan dari para Kelian Banjar Dinas dalam surat keterangan tertanggal 12 Desember 2007 menyatakan bahwa, lokasi tanah Balai Banjar Adat Kaja Kangin merupakan tanah milik pribadi atas nama Gede Putra (alm). 

Dari tahun 1971 sejak berdirinya Balai Banjar Adat Kaja Kangin sampai dengan sekarang statusnya tetap memijam kepada Gede Putra (almarhum) dan kepada para ahliwarisnya.  

Begitu juga lokasi tanah SD 4 dan SD 5 Kubutambahan memang benar milik pribadi atas nama Gede Putra (alm) dan sampai sekarang ahliwaris dari Gede Putra (alm) belum mendapat ganti rugu dari Pemkab Buleleng," sambung Gede Budiasa. 

Gede Budiasa menambahkan, kendati pihaknya juga selaku warga setempat namun tidak menutup kemungkinan mendorong proses hukum, ada dugaan mafia tanah bernaung mengatasnamakan adat. 

Informasi yang didapat, tanah tersebut sebenarnya telah diikhlaskan dipergunakan selama-lamanya demi kepentingan umum, namun disertifikatkan atas nama Krama adat tanpa persetujuan ahli waris oleh pihak Kelian Adat. (bud/ari)