telusur.co.id - Sejumlah kader PDI Perjuangan (PDIP) di Kabupaten Blitar menyatakan rela bila politikus Eva K Sundari pindah ke Partai NasDem demi pencalonan legislatif 2024. Kota Blitar adalah salah satu kabupaten yang menjadi daerah pemilihan Eva ketika pernah maju pemilu legislatif melalui PDIP pada 2019.
Kader PDIP Tulungagung, Bayu Setyo Kuncoro mengatakan, kepindahan Eva ke NasDem semakin memperkuat strategi “transfer pemain” yang dijalankan partai pimpinan Surya Paloh tersebut.
“Dalam rekam jejak Nasdem, mereka itu paling sering melakukan transfer pemain karena tidak melalukan kaderisasi dengan baik. Sering comot sana comot sini. Mungkin Eva masuk dalam bursa transfer tersebut,” urai Bayu dalam keterangannya. Selasa, (16/5/2023).
Dia menceritakan, di kalangan para kader partai politik, NasDem dikenal berani melakukan “transfer pemain” dengan pemberian uang hingga miliaran rupiah. Banyak politisi PDIP diberikan penawaran, tapi hampir semuanya menolak.
“Setahu saya banyak kawan PDI Perjuangan coba digoda. Konon Budiman Sudjatmiko pernah ditawari Rp 5 miliar hanya untuk transfer pemain dan akan dibantu dana operasional kampanye selama mau pindah. Demikian halnya kader-kader Partai lain yang dibajak Nasdem. Nah mungkin penawaran juga diberikan ke Eva,” sambungnya.
Dengan pola pendanaan seperti itu, dia mencurigai uang yang digunakan dari sumber tak wajar. “Kan sudah beredar di banyak media, ada kasus korupsi BTS (Base Transceiver Station) senilai triliunan rupiah di Kementerian Kominfo yang dipimpin Menteri Johnny G Plate yang juga Sekjen Partai Nasdem," paparnya.
Bayu sendiri juga menyatakan rela bila Eva berpindah partai. Sebab, selama ini Eva juga tidak mampu menunjukkan kerja elektoral lapangan yang baik. Dia tidak pernah terpilih sebagai anggota DPR RI melalui mekanisme perolehan suara terbanyak, melainkan hanya menggantikan anggota DPR lainnya alias lewat melanisme pergantian antar waktu (PAW).
Misalnya pada periode 2014-2019, Eva menggantikan Pramono Anung yang harus mengundurkan diri dari DPR RI karena diminta Presiden Joko Widodo menjadi Sekretaris Kabinet pada 2015.
"Kalau berdasarkan hitungan suara terbanyak, seharusnya bukan dia yang berhak. Tetapi PDIP menugaskan dia, artinya sebenarnya partai sudah memberi ruang terhormat kepadanya. Kita bisa mengambil kesimpulan, Eva ini tidak tahu berterimakasih. Kader yang seperti itu kita relakan saja," ujar kader A.
Hal serupa juga terjadi pada periode sebelumnya. Yakni saat Anggota DPR RI dari PDIP Gayus Lumbuun meninggalkan jabatannya sebagai anggota DPR RI karena memilih menjadi hakim agung.
“Yang ditunjuk PDIP untuk menggantikan juga Eva. Lagi-lagi, harusnya yang berhak bukan dia, ada caleg lain," tambahnya.
Dengan latar belakang itu, para kader PDIP di Blitar mengaku bersyukur atas perpindahan Eva ke partai lain dan menjadi caleg. Sebab, selama 3 periode menjadi caleg, Eva tak memberikan sumbangan suara yang berarti untuk PDIP. “Spesialis PAW," jelasnya.
Sementara pada pada pemilu 2019-2024, Eva juga menjadi salah satu caleg PDIP. Namun, karena suaranya sedikit, maka dia gagal melenggang ke Senayan.
"Sebagai incumbent menggantikan pak Pramono Anung pada 2015, harusnya bisa merawat konstituen dan sering turun ke Dapil Jatim VI. Karena nggak dirawat, pemilu 2019 dia maju, ya nggak ada yang milih," urainya.
Dengan latar belakang itu, Bayu mengaku tidak khawatir perpindahan Eva ke partai lain. Meski begitu, ia meminta ada ketegasan yang bersangkutan mengajukan surat pengunduran diri keanggotaan partai. Supaya semua kader mengetahui dan dapat menentukan sikap. Soal tindak lanjutnya, itu domain DPP, pihaknya berharap DPP tegas, sanksi sama seperti kader lain yang lompat partai. (ari)