telusur.co.id - Belum ada bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang bisa membuat Ganjar Pranowo lebih kompetitif dalam pemilihan presiden (pilpres).
Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sebagaimana yang disampaikan Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Siapa Cawapres Ganjar Pranowo?” yang tayang di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 6 Juli 2023.
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/qJ_Eb9RzJhM
Dalam survei nasional SMRC pada Mei 2023, dilakukan simulasi beberapa tokoh yang kemungkinan menjadi bacawapres Ganjar. Saiful menjelaskan bahwa di antara nama-nama bakal calon presiden, Ganjar sekarang lebih definitif karena didukung satu partai (PDIP) yang bisa mengajukan calon sendiri.
Prabowo, di survei cukup kompetitif, tapi belum definitif karena partai yang mendukungnya masih membutuhkan partai lain. Demikian juga Anies Baswedan. Karena itu dipertimbangkan siapa bakal calon wakil untuk Ganjar yang paling bisa membantu dia mengalahkan lawan-lawannya.
Lawannya adalah pasangan yang banyak dibicarakan dan sudah menjadi anggota Koalisi Perubahan dan Koalisi Gerindera dengan PKB. Saiful menyatakan walaupun belum diputuskan, tapi aspirasi yang sangat logis dari PKB bahwa, mereka menginginkan Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil Prabowo.
Demikian pula Demokrat, mereka menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono menjadi wakil Anies. Jika posisinya seperti ini, kira-kira kekuatan elektabilitas Ganjar seperti apa ketika dipasangkan dengan Airlangga Hartarto, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansah, Mahfud MD, Sandiaga Uno, Said Aqil Siradj, dan Yahya Cholil Staquf.
Saiful menjelaskan bahwa, Airlangga logis dipertimbangkan menjadi bacawapres Ganjar karena merupakan ketua partai terbesar kedua di parlemen, yaitu Golkar. Amanat partai Golkar adalah agar ketua umumnya, Airlangga, setidak-tidaknya menjadi calon wakil presiden. Sementara Erick sudah dibicarakan akan menjadi calon wakil Ganjar atau dengan Prabowo.
Khofifah juga dipertimbangkan karena posisinya sebagai gubernur Jawa Timur dan Ganjar perlu menang di Jawa Timur secara meyakinkan jika ingin menang di pilpres ini karena ini adalah provinsi terbesar kedua setelah Jawa Barat.
Mahfud juga banyak dibicarakan oleh para elit politik dan media. Setahun terakhir, Mahfud juga cukup menonjol, karena berbagai kasus yang dia respons berkaitan dengan penegakan hukum dalam posisinya sebagai menteri senior.
Sementara, Sandiaga sudah bergabung dengan PPP dan partai tersebut mengharapkan Sandiaga menjadi calon wakil Ganjar. Said adalah mantan Ketua PBNU. Posisi ini penting dipertimbangkan mengingat kebiasaan atau tradisi rekrutmen politik yang dilakukan PDIP dalam pemilihan presiden. Yahya juga demikian, dia adalah tokoh atau Ketua PBNU sekarang.
Bagaimana respons masyarakat terhadap simulasi ini? Kalau Ganjar berpasangan dengan Airlangga melawan Prabowo-Muhaimin dan Anies-AHY, Ganjar-Airlangga mendapatkan suara 33,2 persen; Anies-AHY 23,3 persen; Prabowo-Muhaimin 31,1 persen; dan tidak jawab 12,4 persen. Saiful menjelaskan bahwa jika berpasangan dengan Airlangga, suara Ganjar seimbang dengan Prabowo-Muhaimin.
Perbedaannya dalam rentang margin of error (3,1 persen). Karena itu, lanjut Saiful, kedua pasangan ini seimbang. Sementara suara Ganjar-Airlangga dengan Anies-AHY memiliki selisih signifikan, sekitar 10 persen atau di atas dua kali margin of error.
Jika berpasangan dengan Erick, Ganjar mendapatkan suara 32,9 persen; Anies-AHY 22,4 persen; Prabowo-Muhaimin 32,4 persen; dan tidak tahu 12,2 persen. Perolehan suara Ganjar berpasangan dengan Airlangga maupun berpasangan dengan Erick tidak berbeda signifikan. Saiful menyimpulkan bahwa, dilihat dari preferensi pemilih, berpasangan dengan Airlangga atau Erick tidak ada bedanya untuk Ganjar.
Jika dipasangkan dengan Khofifah, Ganjar mendapatkan 31,2 persen; Anies-AHY 23,9 persen; Prabowo-Muhaimin 32,8 persen; dan tidak tahu 12 persen. Berpasangan dengan Mahfud, suara Ganjar menjadi 33,3 persen; Anies-AHY 24,5 persen; Prabowo-Muhaimin 30,1 persen; dan tidak tahu 12,2 persen.
Saiful menegaskan bahwa, walaupun hasil survei ini menunjukkan perolehan suara atau angka absolut misalnya Ganjar-Mahfud lebih besar dibanding Prabowo-Muhaimin, namun perbedaan tersebut hanya sekitar 3,2 persen.
Angka tersebut kurang dari dua kali margin of error. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa, Ganjar-Mahfud unggul melawan Prabowo-Muhaimin. Secara statistik, yang harus dikatakan, menurut Saiful, adalah tidak ada perbedaan suara signifikan terhadap dua pasangan ini.
Hal yang sama terjadi pada simulasi Ganjar dengan tokoh lain. Jika dipasangkan dengan Sandiaga, suara Ganjar menjadi 33,9 persen; Anies-AHY 23,1 persen; Prabowo-Muhaimin 30,7 persen; dan tidak tahu 12,3 persen.
Dipasangkan dengan Said, dukungan pada Ganjar menjadi 30,5 persen; Anies-AHY 23,7 persen; Prabowo-Muhaimin 32,7 persen; dan tidak tahu 13,1 persen. Sementara jika berpasangan dengan Yahya, suara Ganjar menjadi 29,9 persen; Anies-AHY 24,4 persen; Prabowo-Muhaimin 33,3 persen; dan tidak tahu 12,4 persen.
Dalam semua simulasi pasangan Ganjar ini, tidak terdapat perbedaan suara yang signifikan secara statistik dengan perolehan suara Prabowo-Muhaimin, tidak ada perbedaan suara di atas 6,2 persen atau dua kali margin of error.
“Kalau mempertimbangkan preferensi pemilih atas tokoh mana yang terbaik untuk berpasangan dengan Ganjar agar dia menjadi lebih kompetitif untuk berhadapan dengan Prabowo-Muhaimin, tidak ada perbedaan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya,” ujar pendiri SMRC tersebut.
Karena itu, lanjut Saiful, kalau tokoh-tokoh ini yang harus dipertimbangkan, maka pertimbangannya bukan dari aspirasi pemilih, tapi pertimbangan yang lain, misalnya, pertimbangan dari orang yang benar-benar tahu tentang tokoh-tokoh tersebut. Mereka yang tahu tentang tokoh-tokoh itu memberi penilaian objektif tentang plus dan minus mereka.
“Antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya (yang diuji) untuk berpasangan dengan Ganjar tidak berbeda signifikan. Dari sisi publik atau rakyat, tokoh-tokoh tersebut tidak ada bedanya. Karena itu, menurut saya, untuk menentukan siapa yang terbaik untuk menjadi pasangan Ganjar bukan berdasarkan preferensi rakyat, tapi pada hal lain seperti penilaian para ahli,” lugas Saiful.
Namun demikian, Saiful menambahkan bahwa, ada hal yang dimiliki oleh satu tokoh tapi tidak dimiliki oleh tokoh lain. Kalau mempertimbangkan partai, maka Airlangga berbeda dengan tokoh lain karena dia adalah ketua umum partai Golkar, Sandiaga karena anggota PPP, dan Erick bergabung dengan PAN.
Sementara tokoh-tokoh lain tidak punya partai. Namun karena partai yang mendukung Ganjar sudah cukup untuk mendukung, lanjut Saiful, maka partai bukan segala-galanya.
Karena itu, Ganjar bisa lebih leluasa mempertimbangkan hal lain di luar partai. Sementara jika faktor NU penting, ada beberapa tokoh yang bisa masuk kriteria, seperti Said, Yahya, Mahfud, dan Khofifah. (ari)