telusur.co.id - Hanya 6,88% publik Indonesia terpolarisasi karena perbedaan pilihan presiden. Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dipresentasikan Professor Saiful Mujani pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Pilihan Presiden dan Polarisasi Politik” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV. Kamis, (28/12/2023).
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/jAkXd20wRLo
Saiful menjelaskan bahwa, efek dari polarisasi politik terhadap harmoni sosial di sebuah bangsa termasuk di Indonesia sebenarnya belum konklusif tentang apakah polarisasi adalah sesuatu yang patut diperhatikan karena berbahaya bagi persatuan. Di kalangan ahli tentang polarisasi, belum ada kata sepakat apakah polarisasi harus mendapatkan perhatian serius atau tidak.
Dalam demokrasi yang terbuka, lanjut Saiful, persaingan politik adalah kenyataan yang harus diterima. Apakah persaingan itu kemudian menimbulkan masalah yang besar, masyarakat menjadi terbelah, isu-isu tidak bisa dimusyawarahkan dan dikompromikan, itu adalah persoalan yang lain. Dalam demokrasi, persaingan itu adalah suatu hal yang niscaya.
“Kalau kita tidak menerima persaingan, sepantasnya kita tidak menganut demokrasi. Perbedaan politik dalam demokrasi adalah sesuatu yang normal. Justru sistem politik demokratis bisa berjalan dengan baik karena ada mekanisme di mana ada yang menjalankan dan ada yang mengontrol. Itulah demokrasi,” ujar Saiful.
Saiful melanjutkan bahwa, dalam masyarakat politik Indonesia, polarisasi sering dijadikan alasan atau argumen untuk membangun sebuah koalisi, termasuk koalisi presiden. Bahkan ada anggapan bahwa semakin sedikit calon, semakin baik. Atau calon yang dianggap memiliki ideologi yang terlalu berbeda dihindari agar tidak terjadi polarisasi.
Prof Saiful menjelaskan bahwa, dalam banyak studi, biasanya dilihat bagaimana efek perbedaan pilihan politik terhadap harmoni di antara pemilih di dalam masyarakat. Apakah antar pemilih bisa berkomunikasi dengan normal walaupun pilihan partai atau presidennya berbeda? Apakah tetap bisa bersilaturrahmi atau berteman walaupun berbeda pilihan politik?
Dalam survei SMRC September 2023 ini, warga ditanya apakah Anda tahu pilihan presiden Anda berbeda dengan pilihan orang tua Anda, dengan anak yang punya hak pilih, kakak atau adik, dan seterusnya.
Ada 21 persen yang menyatakan tahu dia berbeda pilihan dengan orang tuanya, 17 persen tahu berbeda pilihan dengan anaknya yang punya hak pilih, 17 persen dengan kakak atau adik, 18 persen dengan saudara dekat (keponakan, paman, sepupu), 20 persen teman dekat, 19 persen tetangga dekat, 19 persen teman kerja, dan 14 persen dengan teman kelompok organisasi/sosial. Secara keseluruhan, rata-rata 18,13 persen yang tahu pilihan presidennya berbeda dengan kerabat atau teman.
Bagi yang menyatakan ada perbedaan politik dengan kerabat atau teman tersebut kemudian ditanya apakah karena perbedaan pilihan presiden tersebut, Anda malas berkomunikasi? Dari 21 persen yang menyatakan berbeda pilihan presiden dengan orang tuanya, hanya 2 persen yang menyatakan malas berkomunikasi. Dari 17 persen yang berbeda pilihan dengan anaknya yang punya hak pilih, hanya 9 persen yang menyatakan malas berkomunikasi. Dari 17 persen yang berbeda pilihan dengan kakak atau adiknya, hanya 5 persen yang malas berkomunikasi.
Sementara dari 18 persen yang berbeda pilihan dengan saudara dekat (keponakan, paman, sepupu), hanya 9 persen yang malas bicara. Dari 20 persen yang berbeda pilihan dengan teman dekat, hanya 7 persen yang malas bicara. Dari 19 persen yang berbeda pilihan dengan tetangga dekat, hanya 8 persen yang malas bicara.
Dari 19 persen yang berbeda pilihan dengan teman kerja, hanya 7 persen yang malas bicara. Dari 14 persen yang berbeda pilihan dengan kelompok organisasi/sosial, hanya 8 persen yang malas bicara. Rata-rata yang menjadi malas berkomunikasi dengan kerabat atau teman karena perbedaan pilihan presiden adalah 6,88 persen.
Saiful menyatakan bahwa, dalam kasus hubungan dengan orang tua, hanya 2 persen dari 21 persen yang berbeda pilihan yang menyatakan malas bicara karena perbedaan pilihan. 2 persen dari 21 persen sekitar 800 ribu warga. Saiful melihat angka ini sangat kecil dan tidak mengkhawatirkan. Saiful menekankan bahwa mereka tidak mengumpul di satu wilayah, melainkan menyebar dari Aceh sampai Papua.
“Yang menyatakan perlunya membangun koalisi untuk mencegah polarisasi tidak memiliki dasar (di masyarakat),” tegas Prof Saiful.
Terdapat 6,88% dari 18,13% yang malas berbicara dengan kerabat atau teman yang berbeda pilihan presiden. Saiful menjelaskan bahwa, angka absolutnya sekitar 2,5 juta orang atau sekitar 1,2 persen dari total pemilih nasional. Saiful menyatakan bahwa memang ada warga yang terganggu hubungan sosialnya atau terpolarisasi karena perbedaan pilihan presiden, tapi jumlahnya hanya 6,88 persen.
“Apakah 6,88 persen itu banyak dibanding 93 persen? Hanya sekitar 7 dari 100 orang (di antara 18,13 persen pemilih) yang silaturrahminya putus karena perbedaan pilihan presiden. Menurut saya 2,5 juta orang yang terpengaruh itu dan terdistribusi atau tersebar di seluruh Indonesia adalah jumlah yang sedikit (dibanding sekitar 201 juta pemilih lainnya yang tidak demikian),” tambah dia.
Saiful menekankan bahwa, memang ada yang terpengaruh oleh perbedaan pilihan politik, tapi mengabaikan unsur 93 persen yang jauh lebih besar dan tidak terpengaruh hubungan sosialnya karena perbedaan politik tidak bisa dilakukan.
“Karena itu, klaim bahwa polarisasi begitu mengkhawatirkan adalah berlebihan. Itu adalah upaya untuk menakut-nakuti yang bisa menghilangkan persaingan dalam Pemilu dan demokrasi. Padahal kompetisi itu adalah hakekat dari demokrasi, sejauh itu tidak menimbulkan kerusakan di dalam masyarakat, misalnya tidak membuat konflik fisik, perang kampung, dan seterusnya. Ada memang masyarakat yang terpengaruh karena perbedaan pilihan politik, tapi jumlahnya tidak sebesar yang diklaim selama ini tentang bahaya polarisasi untuk integrasi nasional politik kita,” tuturnya.
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1054 atau 86%.
Sebanyak 1054 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 2-11 September 2023. (ari)