telusur.co.id - Mayoritas rakyat Indonesia menolak gagasan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Demikian hasil studi yang dilakukan Prof. Saiful Mujani sebagaimana yang disampaikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “MPR Memperlemah Stabilitas Demokrasi?” yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 24 Agustus 2023.
 
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/v-CBI6Sx2ig
 
Saiful menjelaskan bahwa, salah satu implikasi utama dalam konsep MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah bahwa lembaga inilah yang punya hak untuk memilih presiden. Survei SMRC pada Mei 2022 menunjukkan yang setuju dengan gagasan presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan oleh MPR hanya sekitar 16,5 persen. Yang tidak atau sangat tidak setuju dengan gagasan tersebut 81,5 persen. Masih ada 2 persen yang belum menjawab.

Dalam beberapa kali survei sepanjang 2020 sampai 2022, resistensi pada ide presiden dipilih oleh MPR konsisten di atas 80 persen.
 
Selain memilih presiden, fungsi utama MPR jika menjadi lembaga tertinggi negara adalah menetapkan garis-garis besar Haluan negara (GBHN) yang menjadi dasar presiden untuk bekerja. Dalam sistem MPR sebagai lembaga tertinggi negara, presiden bekerja bukan berdasarkan program yang ia janjikan pada rakyat, tapi bekerja menurut GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Karena itu kemudian presiden bertanggungjawab pada MPR.
 
Bagaimana jika presiden bekerja menurut GBHN atau sesuai janjinya pada masa kampanye? Ada 10,5 persen publik yang setuju presiden bekerja menurut GBHN. Sementara yang mendukung ide presiden bekerja sesuai dengan janjinya pada rakyat di masa kampanye sebesar 81 persen. Terdapat 8,5 persen yang tidak menjawab.
 
“Data ini menunjukkan publik lebih setuju presiden bekerja sesuai dengan janjinya pada rakyat, bukan sesuai dengan GBHN yang ditetapkan oleh MPR,” jelas Saiful.
 
Dalam beberapa survei nasional yang dilakukan oleh SMRC, kecenderungan pandangan publik bahwa presiden bekerja sesuai janjinya di masa kampanye terus menguat, dari 72 persen pada Maret 2020 menjadi 81 persen di survei September 2021.
 
Saiful menjelaskan bahwa, resisten pada gagasan MPR sebagai lembaga tertinggi negara ini kurang lebih sama dengan penolakan publik pada gagasan tiga periode presiden dan penundaan Pemilu. Saiful berharap agar para elit bisa mendengarkan aspirasi rakyat ini.
 
“Saya berharap agar elit kita bisa lebih bijaksana untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Rakyat tidak menghendaki ide agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara,” tutur pendiri SMRC tersebut.
 
Implikasi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara
 
Saiful Mujani menyatakan bahwa, gagasan untuk kembali menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki motif politik di belakangnya. Yang punya ide tentang itu memang lembaga politik. Dia menyatakan bahwa, sebetulnya ide yang menginginkan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara sudah cukup sering muncul, terutama di era MPR sekarang di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo.
 
Menurut Saiful, jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, implikasi utamanya adalah sistem ketatanegaraan Indonesia akan berubah dari sistem presidensialisme ke sistem parlementer. MPR sebagai lembaga tertinggi negara pada hakikatnya adalah sistem parlementer, dimana MPR berperan seperti parlemen. 

Walaupun namanya tidak sama dan dengan struktur yang berbeda karena di situ ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi fungsi dan perannya kurang lebih sama dengan parlemen di mana mereka memiliki wewenang untuk mengangkat atau memilih kepala pemerintahan, dalam hal ini perdana menteri.
 
Hanya saja di Indonesia, lanjutnya, dalam sistem parlementer yang pernah ada di Indonesia, yang diangkat tetap bernama presiden. Menurut guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut, itu adalah kerancuan yang dimaklumi karena merupakan produk yang tergesa-gesa. Hal tersebut sudah dikoreksi, namun sekarang mau dikembalikan pada sistem yang tidak konsisten tersebut: namanya presiden, tapi dipilih oleh MPR. 

Dalam sistem presidensial, presiden dipilih oleh rakyat dan bertanggungjawab pada rakyat. Dalam sistem ini, presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR dan DPD. Sementara dalam sistem parlementer atau MPR yang lama, presiden bisa dijatuhkan oleh MPR. Presiden bertanggungjawab pada anggota MPR, bukan pada rakyat.
 
Indonesia memiliki pengalaman dalam sejarah yang panjang. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945 sampai 1959, sekitar 14 tahun, sistem pemerintahan ketika itu sangat tidak stabil. Perdana menteri gonta-ganti, bahkan ada yang hanya beberapa bulan. Pembangunan tidak bisa jalan karena program pemerintah bergonta-ganti. Itu kondisi ketika itu yang menganut sistem parlementer.  
 
Menurut Saiful, kalau sistem parlementer ini dianut dengan nama MPR tersebut, hasilnya kurang lebih akan sama. Kecuali di dalamnya ada seorang pemimpin negara yang diktator, seperti Suharto pada masa Orde Baru. Sistem MPR bisa menjadi satu sistem pemerintahan yang relatif stabil apalagi presiden atau kepala negara atau kepala pemerintahannya adalah seorang diktator. 

“Kalau dilakukan secara demokratis, potensi yang akan terjadi sama dengan pemerintahan tahun 1945 sampai 1959, ketika parlemen dibubarkan oleh Bung Karno karena tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, pembangunan dan ekonomi tidak jalan,” lugas Pendiri SMRC tersebut.
 
Saiful menyatakan bahwa, sistem parlementer sebenarnya ditakuti. Tapi karena ada godaan bahwa jika MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, mereka akan sangat berkuasa karena bisa mengangkat presiden, bisa menjatuhkan presiden, dan bisa meminta pertanggungjawaban presiden.
 
“Bagi orang yang tidak punya wawasan politik yang cukup, tidak cukup bijaksana, hal itu adalah sesuatu yang sangat menggiurkan,” tutur Saiful.
 
Perbedaan Presidensialisme dan Sistem Parlementer
 
Saiful memaparkan bahwa sistem presidensial yang sebenarnya di Indonesia baru dimulai pada 2004. Dalam sistem ini, tidak mudah menjatuhkan presiden walaupun dibuat koalisi besar, karena juga harus mempertimbangkan keputusan Mahkamah Konstitusi apakah itu konstitusional atau tidak. Kenapa demikian? Karena dalam sistem presidensialisme, biasanya politik telah mengalami masa revolusi, seperti terjadi di Prancis atau Amerika Serikat. Di kedua negara itu tidak ada raja. Beda dengan di Inggris, Belanda, atau Jepang di mana raja tetap ada dan bertahan walaupun menganut demokrasi. 

Demokrasi dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, tetapi raja tetap bertahan sebagai kepala negara. Karena itu, walaupun pemerintahan tidak stabil, negara tetap bisa stabil karena ada raja sebagai kepala pemerintahan.
 
Dalam politik di mana raja sudah tidak ada, lanjutnya, maka harus ada kepala negara. Salah satu cara melahirkan kepala negara yang memiliki legitimasi yang kuat seperti raja adalah melalui pemilihan umum. Posisi rakyat paralel dengan raja. Dalam sistem kerajaan, raja sebagai penguasa mutlak. Sementara dalam demokrasi, penguasa adalah rakyat. Karena itu, rakyatlah yang harus memberikan mandat pada seseorang untuk menjadi kepala negara. Karena itu, dia memiliki legitimasi yang sangat kuat dan tidak mudah dijatuhkan. 

Sistem politik Indonesia yang tidak memiliki raja membutuhkan kepala negara dengan legitimasi rakyat yang kuat. Karena itu Indonesia mengadopsi sistem presidensial. Model presidensial seperti ini dianut di negara seperti Amerika Serikat.
 
Semangat Bung Karno
 
Semangat Bung Karno, lanjut Saiful, sebenarnya mengarah ke sistem presidensial tersebut. Ketika dia menjadi kepala negara ketika prolamasi kemerdekaan sudah dilakukan, dalam Undang-undang Dasar, tidak disebut Indonesia menganut sistem parlementer. Karena itu Bung Karno membayangkan dirinya sebagai kepala negara, presiden, tapi juga sekaligus sebagai kepala pemerintahan seperti di Amerika Serikat. 

Namun dalam prosesnya kemudian, Bung Karno membutuhkan satu tim untuk membantunya. Dari sanalah lahir satu kekuatan politik di lingkungan Bung Karno yang kemudian ingin berdiri sendiri dan berpisah dari Bung Karno. Dari situlah cikal bakal sistem parlementer di Indonesia muncul. 

Sebenarnya, Bung Karno melihat bukan itu yang dia maksudkan untuk sistem pemerintahan Indonesia. Bung Karno yang sebelumnya sangat penting kemudian menjadi tidak penting dalam pemerintahan karena yang berkuasa adalah perdana menteri dengan parlemennya ketika itu.
 
Bung Karno melihat dan berharap akan ada koreksi. Namun itu tidak terjadi. Karena itu, ketika ada momentum, Bung Karno akhir mendeklarasikan pembubaran parlemen. 

Demokrasi berakhir tahun 1959 dan dia betul-betul menjadi presiden dengan sistem otoritarian karena dia membubarkan parlemen dan tidak dipilih oleh rakyat sebagai syarat untuk menjadi presiden yang sah. Kalau tidak ada kudeta tahun 1965-1966, Bung Karno akan menjadi presiden seumur hidup. Hal yang sama terjadi pada Suharto jika tidak dijatuhkan pada reformasi 1998.
 
“Kalau kita kembali pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebenarnya kita kembali pada sistem parlementer yang potensial membuat sistem politik dan demokrasi kita menjadi tidak stabil. Itu adalah ancaman yang sangat serius. Untung Indonesia punya reformasi untuk mengoreksi hal tersebut,” papar Doktor Ilmu Politik jebolan Ohio State University tersebut.
 
Belajar pada Kasus Ide Tiga Periode Presiden dan Penundaan Pemilu
 
Saiful menyatakan bahwa ada sistem presidensial di bawah Bung Karno dan Soeharto, tapi itu sistem presidensial otoritarian. Reformasi mengoreksinya dan membuat sistem presidensialisme yang sebenarnya seperti yang sekarang dianut. Dan hasilnya sangat baik. Indonesia menjadi salah satu negara yang kuat secara ekonomi di dunia sekarang. Dan itu hasil dari sistem yang sekarang dianut: presidensialisme.
 
Lebih jauh Saiful menyatakan bahwa sikap untuk mempertahankan sistem presidensialisme ini terkait dengan visi bagaimana melihat Indonesia ke depan, bukan ego kepentingan politik sempit dan sesaat. 

Kalau yang dikedepankan adalah kepenting politik sesaat, egoistik, dan untuk kepentingan dirinya sendiri, hal tersebut tidak akan mendapatkan respons yang mudah dari masyarakat. Hal itu juga potensial memunculkan ketidaksepahaman di tingkat elit.
 
Dia mengemukakan soal pengalaman ketika ada gagasan untuk memperpanjang periode presiden atau menunda pemilihan umum (Pemilu). Sebagian partai menunjukkan keinginan untuk mendukung gagasan itu. 

Karena mereka mendapatkan insentif politik: tanpa Pemilu mereka bisa mempertahankan kekuasaan. Tapi kenyataannya insentif itu tidak diambil dan gagasan perpanjangan periode presiden dan penundaan Pemilu ditolak. 

Menurut dia, itu salah satunya karena adanya partai oposisi. Kalau tidak ada partai oposisi, kemungkinan gagasan itu akan diterima. Walaupun kecil, Demokrat dan PKS, tapi suara mereka cukup penting untuk menolak gagasan tersebut.
 
Namun ada dua yang betul-betul mengejutkan, kata Saiful. Pertama adalah sikap dari DPD yang tidak mendukung gagasan tiga periode dan penundaan Pemilu. Kedua, yang lebih mengejutkan adalah sikap Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang juga menolak gagasan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan penundaan Pemilu. 

Padahal sebagai partai paling besar, PDI Perjuangan bisa mempertahankan kebesarannya tanpa harus capek mengikuti Pemilu. Seharusnya mereka ambil gagasan tersebut, tapi ternyata tidak. Penjelasannya adalah tidak ada lain kecuali adanya visi politik pimpinan PDI Perjuangan sendiri yang melihat bahwa Konstitusi harus ditegakkan.
 
“Konstitusi adalah fondasi kita dalam bernegara. Kalau itu saja dengan mudah bisa diubah, maka sumber instabilitas akan muncul dari sana,” tukas penulis buku Muslim Demokrat tersebut.
 
Saiful melihat tidak terlihat ada konflik antara yang menginginkan tiga periode presiden dan penundaan Pemilu dengan yang tidak mau. Menurut dia, penolakan dari PDI Perjuangan tersebut betul-betul bersumber dari komitmen pada Konstitusi. PDI Perjuangan punya sejarah yang cukup panjang. Mereka adalah kekuatan utama yang beroposisi pada Orde Baru. Mereka yang menjatuhkan Orde Baru. 

Amandeman UUD yang sekarang berlaku adalah hasil dari Reformasi tersebut. Dan gerakan tersebut hampir melekat dengan PDI Perjuangan. PDI Perjuangan sejauh ini komit dengan gerakan Reformasi tersebut. Dan patut disyukuri bahwa kita memiliki partai dengan kekuatan besar seperti PDI Perjuangan yang memiliki komitmen pada Konstitusi.
 
“Kalau tidak ada PDI Perjuangan kemarin, saya kira, Demokrat, PKS, dan DPD akan mudah dilewatkan (untuk meloloskan gagasan tiga periode dan penundaan Pemilu), karena akan ada lebih dari 75 persen kekuatan yang ada di MPR akan diraih jika PDI Perjuangan tidak menyempal,” urai dia.
 
Karena itu, Saiful menyatakan berharap PDI Perjuangan kembali meluruskan agenda politik jangka panjang Indonesia, meneguhkan dasar bernegara, yaitu Konstitusi, yang selama ini sudah dijalani dengan cukup baik dilihat dari pelbagai aspek dan dengan perbandingan di pelbagai negara di dunia.
 
“Adalah keharusan untuk menjaga Konstitusi yang sudah baik mengantarkan Indonesia seperti sekarang. Tentu ada kekurang, tapi bukan pada Konstitusi, melainkan pada bagaimana menjabarkan Konstitusi tersebut dalam kehidupan politik,” terangnya.
 
Saiful melanjutkan bahwa, kegagalan gagasan tiga periode presiden dan penundaan Pemilu, salah satunya karena ada dinamika di tingkat elit yang tidak solid mendukungan usulan tersebut. 

Di sisi yang lain, ada aspirasi yang kuat di masyarakat yang resisten pada ide tiga periode presiden dan penundaan Pemilu. Aspirasi ini bisa diketahui melalui survei opini publik dan diberitakan cukup intensif oleh media massa. Sikap media massa juga cukup sejalan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat tersebut. 

Ide mengenai tiga periode presiden dan penundaan Pemilu tersebut adalah ide yang tidak bijaksana karena kurang mempertimbangkan dengan baik aspirasi dan resistensi yang tumbuh dalam masyarakat. (ari)