telusur.co.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak setahun terakhir ini mengamati di media cetak dan sosial bahwa masih terdapat perdebatan sengit di sektor air minum dalam kemasan (AMDK) tentang isu Bisphenol A (BPA) pada kemasan galon guna ulang.
Dimana perdebatan tersebut mulai mengarah pada berbagai kampanye negatif yang melibatkan sejumlah merk dagang besar di sektor tersebut. KPPU menilai isu tersebut dapat mengarah pada manipulasi persaingan yang berdampak pada konsumen dan justru menguntungkan pelaku usaha yang terkait.
Seperti isi surat yang telah disampaikan oleh KPPU kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun lalu, KPPU meyakini bahwa kontroversi BPA ini terkait dengan masalah kesehatan dan keamanan produk, yang merupakan kewenangan BPOM dan Kementerian Kesehatan, bukan KPPU.
Sebaiknya publik menunggu hasil atau keputusan
Pemerintah atas persoalan tersebut, dan tidak melakukan berbagai kampanye negatif yang justru membingungkan konsumen serta mengaburkan bentuk persaingan di pasar AMDK.
KPPU melihat berbagai kampanye atau pemberitaan di media cetak dan media sosial terkait isu tersebut juga dapat dilihat sebagai bagian dari strategi pemasaran. Dalam pendekatan teoritis persaingan usaha, dikenal istilah Hotelling’s Model of Spatial Competition.
Model ini merupakan bagian dari teori permainan tanpa kerja sama (non-cooperative game) yang dikenal dalam ekonomi persaingan usaha. Model ini menjelaskan fenomena strategi perusahaan yang saling dominan untuk produk homogen yang memaksimalkan keuntungan dengan mendekatkan lokasi produknya satu sama lain.
Dalam hal ini, dapat dianggap mendekatkan produknya melalui perdebatan di media. Melalui strategi ini, perhatian konsumen akan diperoleh, dan konsumen akan berinisiatif melakukan pengujian atau mencoba kedua produk tersebut, sebelum menggemari produk tersebut. Strategi ini dapat memberikan keuntungan bagi kedua produk yang bersinggungan.
Sebagai informasi, dari data survei jajak pendapat yang dilakukan salah satu media, tahun lalu merek AQUA disukai oleh 74,9% responden mereka dan Le Minerale menempati peringkat kedua merek air mineral paling favorit dengan persentase 62,1%, sementara merek lain seperti Cleo dan Nestle, ratarata disukai kurang dari 25% responden.
Dari sisi teori persaingan usaha, fenomena ini dapat mengarah pada manipulasi daring (online manipulation) yang dijelaskan berbagai jurnal persaingan usaha. Teori tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan konsumen akan berkurang ketika suatu platform mempengaruhi konsumen untuk menaruh perhatian dan berbelanja yang bertentangan dengan kepentingan terbaiknya.
Adanya perdebatan isu BPA ini, dapat dikatakan
mengalihkan persaingan usaha di sektor tersebut kepada aspek jenis kemasan yang digunakan, bukan lagi pada faktor harga atau kualitas produk. Ini berpotensi dapat membingungkan konsumen dalam memilih produknya dan mengganggu iklim usaha di sector tersebut.
Untuk itu, KPPU mengimbau para pihak yang terkait untuk menghentikan berbagai kampanye negatif di berbagai media terkait isu tersebut, dan memberikan kesempatan pada Pemerintah untuk mengambil sikap mengenai potensi bahaya kemasan yang digunakan untuk air minum dalam kemasan.
KPPU akan hadir mencermati isu tersebut guna menjaga persaingan usaha yang sehat tanpa tendensi untuk melindungi pelaku usaha tertentu. Jika publik atau pelaku usaha menemukan perbuatan pelaku usaha tertentu yang anti-persaingan.
Seperti menghalangi konsumen untuk memperoleh suatu produk AMDK, atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama, atau menetapkan penjualan bersyarat sebagaimana pernah diputus KPPU pada akhir tahun 2017 lalu, ataupun perilaku lainnya, KPPU meminta agar disampaikan laporan resmi ke KPPU untuk dapat dilakukan penegakan hukum.
Khusus mengenai Penegakan Hukum KPPU terkait Persaingan Usaha di sektor Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), Kepala Bidang Penegakan Hukum Kanwil IV Surabaya, T. Haris Munandar menjelaskan, KPPU pernah memutus Perkara Nomor 22/KPPU-I/2016.
“Pada tahun 2017, KPPU pernah mejatuhkan sanksi administrasi berupa denda dengan total sebesar Rp 20 miliar kepada pelaku usaha yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 15 ayat 3 huruf b (Perjanjian dilarang) dan pasal 19 huruf a dan b (Penguasaan Pasar) Undang Undang No 5 tahun 1999, saat ini Putusan tersebut juga telah dikuatkan Mahkamah Agung,” tutur Haris. (ari)