telusur.co.id - Osteoartritis menjadi salah satu penyakit tulang dan sendi yang kerap menghantui lansia (orang dengan lanjut usia). Penyakit degeneratif kronik ini dapat mengakibatkan kesulitan berjalan, membungkuk, berdiri, hingga menyebabkan kecacatan sendi.

Berbagai pengobatan untuk mengatasi osteoartritis sebenarnya telah ada. Namun sayangnya, pengobatan yang umumnya berbasis kimia menimbulkan efek samping pada tubuh. 

Berawal dari permasalahan itu, mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) menggagas alternatif pengobatan osteoartritis yang lebih ramah lansia. Mereka adalah Amadeo Lemuel (FTMM), Jihan Aura (FV), Talitha Amelia T (FK), Thoriq Hibatullah (FV), dan Muhammad Esa Erlang S (FKH). Berkat inovasi itu, kelimanya berhasil mengantongi penghargaan pada International Science and Invention Fair (ISIF) di Bali, 9-10 November 2023.
 
Tentang Gagasan

Jihan selaku perwakilan tim menerangkan bahwa, mereka menggagas patch microneedle untuk penyakit osteoartritis. Inovasi itu berlatar belakang dari kondisi lansia di Indonesia yang banyak mengalami osteoartritis. 

“Latar belakang inovasi ini bermula dari pencarian alternatif osteoartritis, yaitu penyakit degeneratif kronis pada tulang rawan sendi lansia. Penyakit ini cukup dominan menyebabkan kecacatan sendi,” ucap Jihan. Jumat, (10/11/2023).

Sebenarnya, pengobatan untuk osteoartritis telah ada, misalnya berupa NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drugs) dan glukokortikoid. Namun sayangnya, pengobatan ini mengakibatkan efek samping pada sistem peredaran darah dan pencernaan. Oleh karena itu, Jihan dan tim mengembangkan alternatif pengobatan penyakit osteoartritis melalui patch microneedle.

Microneedle, sambung Jihan, merupakan sistem pengantaran obat transdermal menggunakan ratusan jarum berdiameter mikro. Dalam penggunaannya, microneedle tidak menimbulkan rasa sakit karena penggunaan jarum hanya menembus epidermis. Hal ini selaras dengan tujuan pengobatan osteoartritis yaitu mengurangi rasa nyeri, mengoptimalkan gerak sendi, dan menghambat terjadinya komplikasi. 

“Microneedle merupakan sistem pengantaran obat dengan jarum yang berukuran mikrometer. Jarum sediaan microneedle hanya menembus epidermis sehingga tidak menimbulkan rasa sakit,” tegasnya.

Akan tetapi, microneedle juga tidak luput dari kelemahan. Microneedle yang berbahan dasar logam akan menimbulkan limbah berbahaya setelah penggunaan. Untuk itu, Jihan bersama tim menggabungkan patch microneedle dengan kitosan dan jahe merah sebagai alternatif. Kitosan terpilih sebagai bahan dasar karena biodegradable dan tidak sitotoksik.

“Kitosan kami pilih sebagai bahan dasar karena sifatnya yang tidak sitotoksik dan biodegradable. Patch microneedle berbasis kitosan dengan jahe merah harapannya mampu menjadi alternatif terapi osteoartritis,” sebut mahasiswi program studi pengobat tradisional itu.
 
Borong Dua Gelar

Dalam ajang itu, Jihan bersama tim berhasil borong dua gelar setelah bersaing dengan tim lain dari 32 negara. Gagasan patch microneedle dari kitosan dan jahe merah yang ia usung sukses mengantongi medali emas ISIF dan special award dari Malaysian Innovation Invention Creativity Association.

“Alhamdulillah, kami berhasil meraih dua gelar. Dari ISIF kami mendapat medali emas dan kami juga mendapatkan special award dari Malaysian Innovation Invention Creativity Association,” urainya.

Meraih penghargaan dalam kompetisi ini tentu memerlukan kiat-kiat khusus yang harus diterapkan. Kiat-kiat yang dapat diterapkan antara lain adalah selalu bersikap optimis, bekerja keras, dan tidak pernah berhenti dalam memperluas wawasan.

“Kiatnya adalah optimis, jangan pesimis. Kemudian kerja keras, meski sibuk urusan kuliah namun tetap bisa manage waktu dan tidak menyerah di tengah jalan. Dan yang terakhir adalah memperluas wawasan untuk mempermudah dalam menemukan inspirasi, inovasi, dan ide-ide,” bebernya. (ari)