telusur.co.id - Kerjasama penegakan hukum yang telah terjalin baik antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris harus selalu menjadi semangat dalam menindaklanjuti permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan ekstradisi. 

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI, Cahyo R. Muzhar pada pertemuan dengan sejumlah pejabat dari Home Office selaku Otoritas Pusat Inggris dan Serious Fraud Office yang merupakan lembaga serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kamis, (09/2).

Cahyo juga menjelaskan bahwa, Pemerintah Indonesia meminta agar Pemerintah Inggris dapat segera memberikan respon atas dua surat dari Menkumham, Yasonna H. Laoly, yang pada pokoknya menyampaikan permintaan kompensasi sebagai negara korban ( victim state) sebagai dampak penerapan Deffered Presecution Agreement (DPA) yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris dalam kasus penyuapan yang melibatkan perusahaan pembuat mesin pesawat, Airbus. 

Kasus tersebut turut menyeret sejumlah petinggi PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk. dan membuat Garuda mengalami kesulitan keuangan sehingga harus mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN).

“Pemerintah Inggris mendapatkan bantuan data dari Indonesia yang dijadikan sebagai bukti saat melakukan DPA. Oleh karena itu, sebagai victim state bahkan assisting state karena telah membantu penyidikan, Indonesia seharusnya berhak atas kompensasi dari Pemerintah Inggris,” tandas Cahyo kepada pejabat dari Home Office dan Serious Fraud Office.

Selain membicarakan mengenai kompensasi atas penggunaan data dari Indonesia yang dijadikan bukti oleh Pemerintah Inggris, pertemuan tersebut juga membahas Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana / Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) dari Pemerintah Inggris kepada Pemerintah Indonesia serta tindak lanjut atas permintaan ekstradisi yang diajukan oleh kedua pihak. 

Mengingat belum terdapat perjanjian bilateral mengenai ekstradisi antara Indonesia dan Inggris, maka permintaan ekstradisi dilakukan dengan membentuk perjanjian Ad Hoc dimana Pemerintah Indonesia telah mengirimkan draft perjanjian tersebut.

Sementara itu, pejabat dari Home Office dan Serious Fraud Office menyampaikan, akan segera menyarankan Secretary of State for the Home Department untuk menjawab surat dari Menkumham Republik Indonesia dan menindaklanjuti permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia. 

Selanjutnya, kedua pihak sepakat untuk melakukan komunikasi intensif yang membahas mekanisme dan hal teknis lainnya. Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Inggris, Pemerintah Indonesia siap untuk membantu dan memfasilitasi sejumlah permintaan bukti-bukti dan keterangan saksi yang diperlukan oleh Pemerintah Inggris dan secara paralel Pemerintah Inggris diharapkan membantu Indonesia untuk mendapatkan haknya sebagai victim state dalam kasus Airbus.

Usai pertemuan, Cahyo menegaskan posisi Pemerintah Indonesia yang telah menunggu selama lebih dari dua tahun atas kesepakatan yang dicapai oleh Pemerintah Inggris dan Airbus melalui mekanisme DPA. 

Untuk diketahui, kesepakatan melalui DPA tersebut membuat Pemerintah Inggris tidak melanjutkan proses penuntutan terhadap Airbus setelah pihak Airbus membayar sejumlah uang kompensasi kepada Pemerintah Inggris. Apabila Indonesia berhasil mendapatkan kompensasi dari Inggris, maka dapat dimanfaatkan untuk membantu penyelamatan Garuda Indonesia sebagai aset negara. 

“Pemerintah Indonesia berharap pertemuan dengan Home Office dan Serious Fraud Office dapat ditindaklanjuti dengan tindakan nyata dari Pemerintah Inggris sebagai bentuk kerja sama yang baik di bidang penegakan hukum antara kedua negara,” tambahnya. (ari)