telusur.co.id - International Monetary Fund (IMF) terus mendorong Indonesia untuk mencabut secara bertahap larangan ekspor bijih nikel. Padahal, hilirisasi merupakan program utama dari Presiden Jokowi untuk menaikkan nilai tambah harga dari suatu komoditas. Tentunya hal ini menjadi tanda tanya besar apa maksud terselubung dari IMF tersebut. 

Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI) yang menghimpun kurang lebih 200 BEM Ekonomi seluruh Indonesia menentang keras dorongan ini. Sebab, perlu diketahui bahwa, melalui kebijakan hilirisasi Indonesia pernah mencetak keuntungan hingga Rp 519 triliun. 

Badan Pimpinan ISMEI, Febrian Satria Hidayat melihat masa depan Indonesia akan menjadi negara besar, “Melalui nikel lah saya melihat ke depan Indonesia memiliki masa depan untuk menjadi negara besar,” ungkapnya. Minggu, (02/7/2023).

Seperti yang diketahui nikel memiliki peranan penting terhadap transisi energi yang dimana semua negara sekarang sedang menuju ke Net Zero Emission. Oleh karenanya, nikel akan menjadi salah satu komponen utama untuk menuju transisi energi. 

"Indonesia merupakan penghasil nikel nomor 1 di dunia. Selain itu cadangan nikel dalam negeri masih melimpah. Hilirisasi sudah merupakan kebijakan yang tepat untuk menaikkan harga suatu komoditas seperti nikel,” jelas mantan Ketua BEM Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini. 

Perlu diingat bahwa, IMF menjadi salah satu pemeran terhadap krisis yang terjadi pada tahun 98. "Dorongan IMF deindustrialisasi di tahun 98 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya huru-hara di Indonesia,” tegasnya

Di akhir, Febrian meminta IMF untuk tidak kembali mendorong Indonesia mencabut larangan ekspor bijih nikel. 

"Sebagai putra bangsa, ISMEI melihat bahwa, ada motif terselubung di balik hal tersebut, seperti yang terjadi di tahun 98. Oleh karenanya, ISMEI mengecam keras dorongan IMF dengan motif terselubungnya!,” tuturnya. (ari)