Siswa di Desa pun Harus Bersiap dalam Revolusi Industri 4.0 - Telusur

Siswa di Desa pun Harus Bersiap dalam Revolusi Industri 4.0


Oleh : Nur Fitroh Febrianto

Pernah terbayang tidak jika suatu saat buruh tani di desa bakal tergantikan oleh mesin? Nantinya hanya ada satu operator yang menjalankan semua tugas buruh tani dalam satu mesin. Di Tuban, hal itu perlahan mulai dilakukan!. 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya secara tidak sadar telah mengubah cara pandang kita menilai sesuatu, kita dapat sebut era disrupsi. 

Sebenarnya cara memahami era disrupsi cukup sederhana, kita dapat melihat sekeliling kita bahwa banyak lulusan muda yang lebih memilih untuk bekerja pada sektor non-formal dibandingkan formal. 

Lebih memilih untuk membuka usaha sederhana melalui online dibandingkan bekerja penuh waktu dan penuh dengan tekanan. Era disrupsi ini sebenarnya cepat hadir dan mengancam siapapun yang belum siap. Pakar ekonomi menyebutnya fenomena Gig Economy.

Profesor Klaus Schwab, Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia menggambarkan, Revolusi Industri 4.0 ini berbeda dari sebelumnya, bahkan menantang kita tentang apa artinya menjadi manusia jika mesin dapat mengerjakan (The Fourth Industrial Revolution, 2014).

Lulusan Pengangguran

Sebenarnya Indonesia telah mempunyai beberapa program untuk mengurangi pengangguran, apalagi kemiskinan melalui beberapa tujuan andalan PBB atau Sustainable Development Goals (SDGs). Bahkan tujuan paling wahid yang dicantumkan adalah no poverty atau tidak adanya kemiskinan.  

Namun, faktanya kemiskinan di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Bahkan pada bulan Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan Maret 2019 sebesar 1,28 juta orang (BPS, 2020). Belum lagi lulusan pengangguran terbanyak dari sekolah yang notabene “Siap Kerja” yaitu SMK (BPS, 2019).  

Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya lulusan pengangguran di Indonesia, mulai dari internal pribadi siswa hingga eksternal sistem pendidikan maupun ekonomi.  

Namun, secara makro kita bisa melihat dari nilai daya saing kita di dunia dengan berbagai penilaian seperti inovasi, kesehatan dan pendidikan utama, hingga lingkungan makro ekonomi yang menunjukkan Indonesia di peringkat 50 dari 142 negara (World Economic Forum, 2019). 

Artinya kita sebenarnya belum siap dalam mengikuti persaingan global. Peringkat tersebut turun 5 digit dibandingkan tahun 2018 yaitu peringkat 45 dari 144 negara. Kita saat ini bisa mengambil kesimpulan bahwa, survive di era disrupsi saat ini kata kucinya adalah Daya Saing.  

Aplikasi Nilai Daya Saing dalam Pendidikan 

Pendidikan yang menempatkan daya saing sebagi pondasi utama tentunya tidak hanya menuntut siswa untuk mengerjakan soal-soal teoritis namun berfokusi pada ilmu terapan dengan mengasah bakat ataupun keterampilan yang dimiliki. Kita menyebutnya adalah keahlian teknis.  

Masih ingat ketika dahulu Pak Jokowi mengatakan akan mendirikan Fakultas Selfie? (www.kompas.co.id, 2015). Siapa sangka saat ini selfie dapat dikembangkan hingga mempunyai economic value melalui vlog.  

Kita bisa melihat YouTuber terkenal asal Amerika, Casey Neistat yang tidak lulus SMA, namun mempunyai kekayaan Rp 337 miliar dari hasil vlognya di akun YouTube bahkan hanya bermodalkan kamera dan kelancaran komunikasi.  

Ketika anak muda dari belahan dunia lain telah mengenal AdSense, Patreon, Afiliasi Link, dan Sponsor. Kita masih terjebak pada keinginan kita menjadi karyawan perusahaan.  

Siapkan Dirimu 

Masa depan merupakan ketidakpastian sehingga menapakinya dibutuhkan tekad dan keinginan yang kuat untuk disiplin dalam hal yang belum pasti sama sekali. Baik di desa maupun kota pasti akan merasakan disrupsi.  

Sebagai contoh di bidang pertanian, beberapa sekolah telah menyiapkan lulusan techno farm sebagai pengganti buruh tani konvensional. Di bidang usaha, lulusan techno preneur siap menggantikan para pedagang konvensional yang menjual dagangannya dipinggir jalan.  

*Penulis adalah Aktivis Ekonomi Pembangunan dan Pemulihan “Red District” Jawa Timur, Guru SMK Technopreneurship Muslimah Tuban, dan Founder “Isi Omah Official”. 


Tinggalkan Komentar