Revolusi Akhlak, Pembantaian 6 Aktivis FPI dan Peran HMI - Telusur

Revolusi Akhlak, Pembantaian 6 Aktivis FPI dan Peran HMI


Oleh : MHR Shikka Songge

Gemuruh Revolusi Akhlak yang dikumandangkan oleh Habieb Rizieq Shihab (HRS) setelah pulang dari pengasingannya di Timur Tengah sungguh merupakan fenomena politik yang mengejutkan.

Gemuruh itu berdampak seperti halnya terompet sangka kala yang membangkitkan orang-orang untuk segera sadar menyelamatkan diri atau melakukan reaksi perlawanan.

Mereka kaum sekuler, liberalis kaum kapitalis, berjuis, pemilik modal dan oligarki yang selama ini mengkangkangi dan menghalangi halangi implementasi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa dan ideologi yang menjamin kemakmuran bagi rakyat.

Pancasila menjadi ideologi Politik Pembangunan. Namun dalam prakternya seakan tak berdaya di tanah air. Pancasila hanya sebatas slogan kosong diucapkan oleh para pembesar, Pancasila kehilangan nilai magic.

Pancasila mestinya melahirkan kesatuan nasional yang fundamental, ternyata gagal. Warga bangsa terfragmentasi dalam berbagai kelompok kepentingan politik.

Pancasila justru menjadi sumber perpecahan karena tarikan kepentingan politik elit yang berkuasa. Pancasila juga gagal mensejahterakan ekonomi rakyat. 

Pancasila juga gagal mencegah tingkat korupsi yang tinggi oleh penyelenggara negara. Mestinya dengan Pancasila kualitas pemerintahan kita makin lebih confidiens dihormati dan disegani oleh dunia internasional.

Sadar atau tidak, posisi Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara saat ini berada pada titik nadir terendah. 

Revolusi akhlaq merupakan sebuah ikhtiar dakwah yang ingin menempatkan kembali posisi Pancasila sebagai azas dan ideologi bernegara. Dengan begitu Indonesia memiliki kiblat yang jelas untuk menghantarkan tujuan kemerdekaan.  

Dengan Pancasila tentu para penyelenggara negara punya nilai dan standart moral bernegara. Setidaknya perilaku dan kebijakannya menjadi terukur dan jelas manfaatnya untuk kehidupan publik. 

Desas-desus tentang kebangkitan PKI, karena agama terutama Islam dianggap sebagai penghambat utama pembangunan. Pihak tertentu akan sangat terganggu dengan Pancasila bila ingin melakukan sesuatu. 

Maka berusaha keras untuk mematikan gerak ideologi Pancasila. Gagalnya negeri ini mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi, bahkan negeri ini gagal mewujudkan kesejahteraan dan kemamuran karena ekonomi negeri ini dimonopoli atau dirampok oleh segelintir orang.  

Dimana hanya 1 % penduduk menguasai 70 % aset ekonomi nasional, berarti 99 % penduduk hanya mengelola 30 % dari total aset ekonomi nasional. Jelas tidak adil, diskriminatif dan penindasan. 

Olehnya, segeralah mereka orang-orang yang mengkangkangi istana merapikan diri jika tidak akan dijaring oleh arus besar gelombang revolusi akhlaq.  

Pembantaian terhadap 6 aktivis FPI menandakan hegemoni kapitalis, oligarki makin eksis dan mengakar. Karena negara tidak mungkin membunuh rakyatnya sendiri. Kecuali ada kekuatan ekstra negara yang melakukan tindakan yang super luar biasa itu. 

Saya kira spirit Revolusi Akhlaq mengundang kecemasan, yang menggetarkan dan menusuk jantung para pihak. Termasuk pihak istana yang sementara ini sedang dilingkari, dikerumuni oleh hegemoni oligarki, kaum borjuasi, pemilik modal, koalisi partai.

Semua itu terakumulasi menjadi mesin besar pengendali yang memacetkan operasi ideologi Pancasila untuk memartabatkan manusia Indonesia. 

Hilangnya nyawa 6 orang kaum muda aktivis FPI Pengawal HRS adalah menjadi tumbal pertama sebelum menuju tumbal yang sesungguhnya.  

Jika mencermati skenario dan kesaksian masyarakat di KM 50 dalam proses penguntitan, maka sesungguhnya yang menjadi target untuk dibunuh ialah HRS sebagai Imam Besar dan Pengusung Revolusi Akhlaq.  

Di sekitar area itu, ada orang baru seperti petugas yang hilir mudik. Negeri ini memang sudah terlalu takut, dan terlalu dalam dihegemoni oleh para kapitalis.  

Kemiskinan dan kemelaratan rakyat tetap menjadi dilema struktural selama hegemoni kapitalis dan kaum oligarki tidak dapat dikendalikan oleh negara.  

Negara pun sulit keluar dari lilitan dilema maut ini, karena memang sejak reformasi telah terjadi amendemen konstitusi yang memberi peluang hadirnya pengusaha hitam menguasai setiap pusat kekuasaan, dari pusat hingga daerah. Penguasaan aset seperti gurita terus menerus menciptakan ruang-ruang perampokan kekayaan nasional. 

Begitu kuatkah tekanan gurita kapitalis dan oligarki yang menguasai pusat pusat kekuasaan kapital, sehingga sampai dengan saat ini belum ada komentar pihak istana, Presiden RI selaku penanggung jawab ketertiban dan keamanan negara. Termasuk Menkopolhukam sebagai pengendali keamanan dan ketertiban masyarakat. 

Kenapa Presiden enggan berkomentar ? Bukankah beberapa saat terakhir dalam sidang kabinet, Presiden Joko Widodo mengingatkan kabinetnya bahwa, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Apakah warga FPI bukan warga NKRI ? 

Meninggalnya 6 orang aktivis FPI Pengawal HRS adalah suatu bentuk pembantaian yang sadis atas manusia. Perihal ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena polisi bukan eksikutor.  

Sadisme yang dilakukan oleh petugas kepolisian sungguh tidak merepresentasikan tugas kepolisian sebagai aparat penegak hukum dan perlindungan.  

Senjata yang melekat pada pinggang Polisi sejatinya untuk melindungi keselamatan rakyat, bukan untuk membantai rakyat secara keji. Menghilangkan nyawa orang dalam sebuah tragedi sama halnya mengambil alih urusan Allah, karena kematian hanyalah menjadi kewenangan Allah. 

Bila ada petugas kepolisian secara sistemik melakukan itu berarti ini bukan pristiwa mandiri. Tapi banyak rentetan dan banyak pihak yang mempengaruhi. 

Olehnya, diperlukan tim independen pencari fakta sehingga bisa membongkar tragedi pembantaian di Desember 2020 kelabu ini secara tuntas.  

Siapa-siapakah yang terlibat aktor dan dalang perlu dibongkar ke akar-akarnya. Tidak boleh ada penjahat hukum yang bebas dari dari jeratan hukum. 

Presiden Joko Widodo mana suaramu, jangan hanya berdiam diri mengurus dinasti politik namun mengabaikan nasib anak muda muslim mati secara keji di tangan polisi.  

Presiden Joko Widodo dipilih dengan biaya yang mahal untuk memimpin rakyat negeri ini terselamatkan dari pembantaian rakyat oleh fihak manapun. Aneh kan Polri di tangan Joko Widodo bisa membunuh rakyat secara sadis ? 

Noda hitam demokrasi terjadi 3 hari menjelang umat manusia memperingati hari HAM sedunia. Peristiwa ini semestinya juga mendorong pihak DPR RI Komisi 3 mengambil inisiatif untuk mengundang Menkopulhukam, Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, Panglima TNI dan Pangdam Jaya untuk diminta keterangan.  

Bila terjadi penyimpangan prosedur dalam operasi pengamanan maka semua pihak yang terkait diberhentikan dengan tidak hormat.

Dalam penegakan hukum di negara hukum, tidak boleh ada satu pihak pun yang semena-mena, termasuk Polri. 

PERAN KADER HMI 

Kader segelintir orang yang terdidik, terpelajar dan memiliki komitmen yang kuat pada visi dan misi organisasi, serta memiliki militansi mengawal visi misi untuk mencapai tujuan organisasi. 

Loyalitas dan kepatuhan kader HMI pada nilai nilai kebenenaran. Sepanjang itu benar maka itulah yang akan menjadi tujuan perjuangan kader HMI. Kader HMI tidak tunduk pada kekuasaan, selain kekuasaan itu membawa misi kebenaran.  

Kader HMI di manapun bertugas, ia selalu membawa misi kebenaran untuk mewujudkan peradaban umat dan bangsa. Bahkan rela meninggalkan tugas, jika tugas itu tanpa misi kebenaran di dalamnya.  

Olehnya, kader HMI juga tidak akan mencari makan pada kekuasaan yang tidak mengusung nilai-nilai kebenaran di dalamnya. Mengingat, dari makan dan minum pada sumber yang salah akan merusak cara berfikir dan cara tindak seseorang kader. Rusaknya militansi kader karena mengkonsumsi makanan dari sumber yang subhat atau bathil. 

Kader HMI hadir dalam institusi pemerintah maupun masyarakat sebagai bahagia dari tugas perkaderan untuk mewujudkan pranata kehidupan masyarakat yg berkeadilan sosial ekonomi.  

Seorang kader HMI mengabdi dengan iman, ilmu, dan amal yang membuat posisi kader lebih independen dan tidak bisa diintervensj oleh siapapun.  

Alumnus HMI dalam birokrasi negara berperan menciptakan terobosan politik, hukum, dan ekonomi agar bangsa tidak terkandas disandera oleh para bandit yang berkeliaran di sekitar kekuasaan. 

Kebathilan saat ini bertumpuk di istana negara. Istana dilingkari oleh hegemoni kapitalis, pemilik modal, kaum borjuasi, liberalis, sekuler menumpuk dan melingkari dan menyandera Istana. Karena di situlah sumber kehidupan. 

Kekayaan negara yang seharusnya menjadi sumber ekonomi konstitusional yang mensejahterakan rakyat, habis digarong oleh mereka para maling itu.  

Rakyat pun hanya mendapat bantuan dan subsidi, itupun dikorupsi oleh pejabat tinggi negara. Istana menjadi sumber ketidakadilan bagi negara ? Sejak awal Istana menjadi sumber kecurangan. 

HMI saat ini mendapat kepercayaan di elit  kekuasaan bisakah memimpin penegakan hukum ? membebaskan Indonesia dari kedzaliman dan ketidakadilan bernegara ? Kalau ada tunjukkan ?  

Bisakah kader HMI mewujudkan misi organisasi yaitu mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi rakyat, meskipun ketidakadilan itu sumbernya berada di Istana ? Dan apa anda tega melihat ibu-ibu di Papua hanya bisa menjual siri pinang, sementara Papua negeri penghasil tambang terbesar ? 

Apa yang dilakukan HRS dengan agenda Revolusi Akhlaq, adalah kelanjutan dari tugas profetik Nabi Muhammad SAW “innama buistu liutammima makarimalakhlaq”. Tidaklah aku diutus ke muka bumi selain menyempurnakan kemuliaan peradaban umat manusia. 

Nabi Muhammad SAW datang di saat runtuh puncak moral kemanusiaan penduduk kota Mekkah. Para pedagang kota Mekkah yang terdiri dari puak-puak Qabilah berlomba berdagang mencari keuntungan yang berlipat ganda, yang penting untung, apakah dengan cara yang bathil atau yang haq bagi mereka tidak penting. 

Perdagangan perbudakan menjadi fenomena yang mengerikan. Para tokoh Quraisy sering membunuh anak perempuan karena merasa aib atau malu jika punya anak perempuan. 

Jadi, bagi saya bahwa, perlawanan kepada HRS adalah bentuk ketakutan terhadap dampak gerakan revolusi akhlaq mulia yang tengah diusung HRS.  

Mereka yang sedang mencari makan, menggantungkan perutnya pada rezim ini menjadi antipati, kehilangan semangat hidup, mereka akan digulung oleh gelombang revolusi akhlaq mulia.  

Sebab, mereka mengira hanya Istana yang mengasih mereka makan. Karena itu, mereka menuduh HRS dengan berbagai tuduhan tidak proporsional. 

Polisi menjadi alat kaum kapitalis, borjuasi, oligarki untuk penegakan hukum Covid-19. Padahal, kerumunan pin terjadi secara massif sepanjang kegiatan politik Pilkada. Kerumunan di Pilkada kata Polisi ada UU, yes benar. Tetapi, UU tidak bisa menghentikan kematian karena Covid-19. 

Maka berhentilah memusuhi seorang tokoh pergerakan hanya karena takut akan gerakan revolusi akhlaq. Bila orang ketakutan terhadap Revolusi Akhlaq wajar saja, sebagaimana kehadiran Muhammad sebagai nabi di awal abad VII M menimbulkan ketakutan bagi setiap pemimpin Bani Quraisy.  

Hanya para faqir iman pengecut yang takut kehilangan harapan hidup, merasa bangga atas penetapan status tersangka HRS. Polda Metro Jaya begitu semangat menetapkan status tersangka HRS dan sejumlah aktivis hsnya karena soal kerumunan yang melanggar UU pandemi Covid-19.  

Kasus pelanggaran yang sama terjadi banyak terutama, berkaitan dengan Pilkada. Lihat kasus kerumunan di Solo Jawa Tengah tempat kemenangan Gibran. Masyarakat menyongsong kemenangan Gibran mengabaikan protokol kesehatan.  

Apakah Gibran, Tim Sukses, ikut dipanggil dan ditersangkakan ? Polda Metro Jaya begitu misterius menetapkan HRS sebagai tersangka adalah hal yang diskriminatif dan tidak adil. Kenapa demikian ? 

Kekejaman Polisi telah melampaui batas yang dibenarkankan oleh akal sehat dan konstitusi negara. Polisi telah bertindak di luar tugas konstitusional yang diberikan negara.  

Sehingga, diperlukan evaluasi reposisi peran polisi. Polisi tidak boleh langsung di bawah kendali Presiden, tetapi di bawah kendali Kemendagri.  

Karena, sementara kita merasakan bahwa, nampaknya saat ini polisi bukan lagi sebagai alat negara untuk penegakan hukum dan perlindungan rakyat. Melainkan polisi telah melakukan satu tindakan pembunuhan itu di luar prosedur yang dibenarkan.  

Orang tua mana yang tiba-tiba ketika melihat anak kandung disiksa, dihukum sampai mati oleh petugas negara yang bersenjata. Anak-anak itu bukan teroris, bukan preman, bukan pelaku kriminal. Mereka adalah generasi ahli ibadah, berakhlaq mulia, mereka aset masa depan umat bangsa negeri ini.  

Tentu akal sehat kita dan rasa kemanusiaan setiap kita terusik, terpanggil untuk peduli atas setiap penindasan dan ketiakadilan terhadap siapapun. Negara tidak boleh melanggar hukum, apa lagi menembaki warganya sendiri yang belum tentu bersalah. 

Polisi rugi apa atas kehadiran FPI di Tanah Air ? Polisi kehilangan kapling lahan cari makan ? Saya kira perlu didorong keluarga para mujahid untuk mencari keadilan lebih lanjut.  

Para pelaku kejahatan yang menembak 6 orang dari aktivis FPI tidak bisa ditolerir harus dihukum dengan hukum seberat-beratnya. Serta diusut tuntas sehingga terbongkar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.  

Maaf, saya bukan warga FPI, tetapi sebagai kader alumni HMI dan muslim, saya peduli dan terpanggil. Seorang muslim tidak boleh hanya berbangga dan senang pada kelompoknya sendiri, tetapi di sisi lain. membiarkan kelompok lain terdzalimi.  

Qullu hisbin bima ladayhim farihun. Kita jamaah besar di Tanah Air, tetapi tercabik-cabik dalam kelompok yang lemah, masing-masing bangga dengan kelompoknya sendiri, tetapi mengabaikan kelompok yang lain. 

*Penulis adalah Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES. 

Artikel ini telah tayang di https://www.knews.co.id/2020/12/revolusi-akhlak-pembantaian-6-aktivis.html?m=1dan jatim.telusur.co.id merevisi huruf-huruf dalam tulisan yang typo/keliru dan tidak lengkap.


Tinggalkan Komentar