Oleh : Rd. Yudi Anton Rikmadani
Undang-Undang Cipta Kerja telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan diundangkan dalam lembaran berita negara, maka dengan demikian UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menjadi sah secara hukum.
Namun disisi lain Undang-undang Cipta Kerja menjadi perdebatan dikalangan akademisi, para ahli, buruh, mahasiswa dan organisasi masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan pembuatan undang-undang tidak dilakukan secara transparan, pasal-pasal yang merugikan kaum buruh dan lain sebagainya.
Setiap pembahasan undang-undang harus diakui dari dahulu sampai sekarang banyak pihak-pihak yang mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik (political will) kepada politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, yang mengakibatkan adanya perbedaan dan penafsiran yang bertentangan dengan norma-norma.
Pembentukan hukum pada dasarnya merupakan fungsi melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif besama eksekutif, sebagaimana Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebelum Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, hal ini telah menimbulkan kegaduhan yang meluas baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Apalagi dalam era digital sekarang ini, semua berita-berita mengenai omnibus law cepat menyebar. Hal ini menjadikan permasalahan baik dikalangan akademisi, buruh, mahasiswa dan masyarakat.
Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan akan berdampak pengujian (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Hal ini pernah disampaikan oleh Mahfud MD yang mengatakan, “Jika masyarakat keberatan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, silahkan mengajukan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi”.
Uji Formil dan Materil Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi
Sistem hukum negara Indonesia sesuai amanah UUD 1945, setiap warga negara yang hak Konstitusisanya dirugikan akibat adanya Undnag-Undang, dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi apabila Undang-undang tersebut bertenatangan dengan norma-norma UUD 1945.
Melihat adanya kegaduhan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja baik sebelum disahkan maupun setelah disahkan, mengakibatkan akan terjadinya judicial rivieuw yang dilakukan oleh kalangan akademisi, buruh, mahasiswa, organisasi masyarakat dan lain sebagainya.
Pengujian Undang-Undang Cipta Kerja baik formil maupun materil memang pantas didukung agar Mahkamah Konstitusi secara obyektif dapat memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja ini bertentangan dengan norma-norma yang tertuang dalam UUD 1945, serta tumpang tindihnya peraturan-peraturan lainnya, serta pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja apakah sudah sesuai atau tidak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Saya membaca dan melihat Undang-Undang Cipta Kerja banyak kesalahan mengetik (typo) diantaranya dalam Pasal 6 yang berakibat kurang cermat dalam penyusunannya hal ini mengakibatkan perdebatan, dikarenakan proses pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan dengan terburu-buru yang mengabaikan asas kehati-hatian dan asas kecermatan.
Berkaitan dengan hal tersebut saya berpendapat ada 2 (dua) permasalahan yang timbul terhadap proses pengujian di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut :
1. Apakah proses Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja) bertentangan dengan norma-norma UUD 1945 dan sesuai atau tidak prosedur pembentukannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
2. Bagaimana prosedur dan cara memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja) yang salah ketik itu?
Argumentasi Hukum
Bagaimanapun juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sudah diundangkan dalam lembaran berita negara, dengan demikian Uundang-Undang Cipta Kerja sudah berlaku dan mengikat semua pihak. Jika Undang-Undang Cipta Kerja di Judicial Riview, akan menarik dan menambah wawasan ilmu pengetahuan, dikarenakan akan mucul argumentasi dan ilmu hukum baru.
1. Argumententasi tersebut akan muncul mulai dari akademisi, para pakar atau ahli, pemerintah, membahas permasalahan tersebut diatas. Argumentasi panjang dengan melibatkan pemikiran dari berbagai sudut pandang.
Jika melihat dari prosedur pembentukan undang-undang, jika landasan pemikiran dari arti sempit, maka Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja) tidak sejalan dan bertentangan dengan dengan norma-norma serta tidak sesuai dengan Undang- Undang Nomor 15 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jika yang digunakan landasan pemikiran dalam arti luas, maka akan muncul argumentasi dari pemerintah dan DPR dalam menjawab permasalahan prosedur pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja), selain prosedur Undang-Undang Cipta Kerja, argumentasi pengujian materil akan dibahas, tentunya yang diuji terkait dengan norma-norma di dalam UUD 1945.
Undang-Undang Cipta Kerja mencakup luas berkaitan dengan peraturan perundangan lainnya, sehinggga dikatakan Omnibus Law Cipta Kerja. Oleh karena itu kita tunggu argumentasi yang akan disajikan oleh Para Pemohon dan argumentasi dari Pemerintah dan DPR terkait judicial review baik formil maupun materil.
2. Argumentasi salah ketik (typo) dapat berpengaruh terhadap formil dan materil sebagaimana saya katakan tersebut diatas. Hal ini menjadikan argumen bagi Para Pemohon, dikarenakan bertentangan dengan asas kehati-hatian dan asas kecermatan, karena pembentukan Undang-Undang Cipta kerja terburu-buru.
Melihat dari kesalahan ketik (typo) seperti dalam putusan pengadilan, mungkin bisa diperbaiki dengan mudah tanpa melalui prosedur. Namun jika Undang- Undang Cipta Kerja banyak salah ketik (typo), sangat berpengaruh terhadap negara.
Bagaimana prosedur memperbaiki naskah syang salah ketik (typo), saya mengutip tulisan mantan Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahenda yang menyatakan, “Salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam undang-undang itu, maka Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu.
Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu.
Selama ini adanya salah ketik dalam naskah yang telah disetuji bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi.
Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke Presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke Presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg”.
Sehubungan dengan kesalahan ketik (typo) tersebut, tidak dimungkinkan Presiden untuk membuat Perpu atas kesalah ketik (typo) tersebut dan bahkan membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh karena itu kita tunggu argumentasi yang akan disajikan oleh Para Pemohon dan argumentasi dari Pemerintah dan DPR terkait permasalahan salah ketik (typo) begitu juga argumen Mahkamah Konstitusi.
*Penulis adalah Dosen Universitas Bung Karno.