telusur.co.id - Perguruan tinggi unggulan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, seperti kampus-kampus Ivy League dan universitas top lainnya seperti Stanford, MIT, UC Berkeley memang selalu sulit ditembus. Melandainya situasi pandemi di seluruh dunia membuat masuk ke kampus bergengsi ini menjadi lebih sulit, karena melonjaknya jumlah pendaftar ke kampus-kampus bergengsi ini.
Alhasil, angka rata-rata penerimaan pun menjadi lebih rendah. Dengan angka rata-rata penerimaan ke universitas-universitas bergengsi di Amerika Serikat dan Inggris mencapai titik terendah tahun ini, peluang siswa Internasional pun semakin mengecil.
Namun siswa-siswi internasional tidak perlu berkecil hati, karena dengan bimbingan konsultan pendidikan berpengalaman seperti Crimson Education, mereka dapat mempersiapkan diri dengan optimal sehingga mereka bisa memaksimalkan peluang diterima perguruan tinggi bergengsi di AS dan Inggris.
Dalam sesi interview khusus, Country Manager Crimson Education Indonesia, Vanya Sunanto menginformasikan, dengan jumlah aplikasi untuk Ivy League, Oxford, Cambridge dan universitas terkemuka dunia lainnya meningkat drastis. Salah satu contohnya adalah Jumlah calon mahasiswa yang mendaftar di Universitas Harvard yang meningkat hingga 43% (17.000 pendaftar tambahan) dari tahun sebelumnya yang hanya terdiri dari kurang lebih 40.000 pendaftar, sehingga tingkat penerimaan pun turun. Bahkan di beberapa universitas turun hingga di bawah 4%.
“Meroketnya jumlah pendaftar sangat memengaruhi kesempatan calon mahasiswa untuk diterima di universitas-universitas terbaik itu, sehingga persaingan menjadi jauh lebih ketat dan menampilkan profil yang menonjol di formulir pendaftaran menjadi lebih penting dari sebelumnya,” terang Vanya Sunanto. Jumat, (27/5/2022).
Transisi dari pandemi menuju endemi ternyata turut mengembalikan agenda pendidikan yang disiapkan orang tua bagi anak-anaknya, termasuk pendidikan tinggi di universitas terbaik di luar negeri sesuai minat dan bakat anaknya.
Sejumlah universitas bergengsi di AS dan Inggris mulai dari Harvard hingga Oxford, Stanford hingga Cambridge telah memiliki reputasi keunggulan mereka. Institusi-institusi ini mendominasi peringkat universitas top dunia berkat rekam jejak mereka dalam menyediakan pendidikan unggul bagi para mahasiswa dan masa depan profesional yang mengikutinya.
Saat mengumumkan angka rata-rata penerimaan mereka pada Ivy Day di akhir Maret lalu, delapan universitas Ivy League, Brown, Columbia, Cornell, Dartmouth, Harvard, Princeton, University of Pennsylvania, dan Yale, melaporkan tingkat penerimaan terendah dalam sejarah.
Tingkat penerimaan Harvard mengalami penurunan dari 4,9% pada 2020, lalu turun menjadi 3,4% pada tahun 2021, dan kini makin turun menjadi 3,19% pada tahun 2022, ini adalah rekor terendah sejak didirikan 386 tahun lalu.
Yale dan Brown juga melaporkan rekor tingkat penerimaan yang rendah dengan angka 4,6% dan 5.4%, sementara Universitas Columbia tidak berubah dari tingkat penerimaan 3,7% tahun lalu, yang merupakan rekor terendahnya pada saat itu. Hanya Dartmouth yang naik tipis dari tahun lalu di kisaran 6,24%.
Tiga sekolah Ivy League memilih untuk tidak mengumumkan tingkat penerimaan tahun ini. Princeton, University of Pennsylvania, dan Cornell mengatakan mereka berharap bisa menghilangkan tekanan pada mahasiswa yang disebabkan tingkat penerimaan satu digit.
Bukan hanya perguruan tinggi Ivy League yang saat ini menjadi semakin ketat persaingannya. Universitas-universitas top lainnya di AS dan Inggris tahun ini, seperti MIT, Stanford, Oxford, University College of London, UC Berkeley, California Institute of Technology (Cal-Tech) juga melaporkan rekor tingkat penerimaan yang rendah.
Di tiap universitas umumnya hanya terdapat sekitar 10% mahasiswa internasional di sebagian besar universitas top ini. Sehingga, berdasarkan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa, peluang pelajar Asia Tenggara termasuk Indonesia cukup kecil.
“Untuk mengantisipasi tingginya tekanan dan ketatnya persaingan dalam proses seleksi, calon mahasiswa perlu mempersiapkan diri semaksimal mungkin, jauh sebelum waktu pendaftaran dibuka untuk memanfaatkan peluang yang semakin kecil ini.
“Crimson Education adalah perusahaan pendukung penerimaan di dunia yang memandu siswa melalui setiap aspek strategi aplikasi AS dan/atau Inggris, termasuk mengidentifikasi universitas yang paling sesuai, dukungan pembuatan esai pribadi yang menarik, bimbingan mengikuti SAT/ACT dan bimbingan tes standar lainnya, bimbingan pemilihan pengayaan akademik yang tepat sehingga profil calon mahasiswa lebih menarik, dan persiapan wawancara,” beber Vanya Sunanto.
Mungkin terdengar cukup sulit untuk memenuhi persyaratan tersebut, namun bukan tidak mungkin pelajar-pelajar Indonesia mendapatkan tempat di kampus-kampus bergengsi ini. Banyak pelajar Indonesia yang cukup kompeten dalam bidang akademis. Dengan arahan dan bimbingan yang tepat sebelum mendaftar, peluang diterima terbuka lebar.
Yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan diri menghadapi proses seleksi yang sangat ketat, tidak hanya beberapa bulan sebelum seleksi dan pendaftaran saja. Untuk peluang terbaik, persiapan masuk kampus-kampus bergengsi di AS dan Inggris sebaiknya dimulai sejak calon mahasiswa duduk di kelas 9 (tahun terakhir SMP).
Sebenarnya mengapa persiapan masuk universitas-universitas unggulan di AS dan Inggris ini membutuhkan waktu yang cukup panjang?
Berbicara di hadapan para orang tua dari calon mahasiswa di Asia Tenggara, Benjamin Schwartz, mantan tim seleksi penerimaan mahasiswa di Dartmouth College salah satu universitas Ivy League di AS menjelaskan bahwa tidak cukup mengandalkan nilai akademis untuk menembus ketatnya persaingan memasuki universitas unggulan di AS.
“Nilai akademis (SAT, ACT dan transkrip akademis) hanya menentukan 40% dari total penilaian dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, selebihnya, 30% penilaian terhadap kegiatan pengayaan akademik dan kepemimpinan dan 30% lainnya dari hasil esai dan wawancara dengan kandidat. Jadi, mereka yang hanya mengandalkan nilai akademis selama sekolah tentu sangat kecil kemungkinannya untuk diterima,” ujar Benjamin Schwartz.
Hal senada juga diungkapkan Hannah Rowberry, mantan tim seleksi penerimaan mahasiswa di Oxford University.
“Meskipun berbeda dalam penentuan bobotnya, namun seleksi penerimaan di Inggris juga menggunakan pendekatan yang komprehensif dengan bobot 75% untuk akademis, 15% untuk pengayaan akademik, kepemimpinan dan inovasi, serta 10% untuk aplikasi, esai dan wawancara. Dengan formula semacam ini,sangat penting para calon mahasiswa mempersiapkan dirinya sejak jauh-jauh hari,” urai Hannah Rowberry.
Di sinilah peran Crimson Education sebagai sebuah institusi untuk membantu para pelajar mempersiapkan diri agar diterima di universitas-universitas impian mereka. Sebagai konsultan pendidikan tinggi, Crimson Education memberikan dukungan, informasi, serta arahan kepada para pelajar sehingga mereka dapat mempersiapkan diri secara matang dalam menjalani seleksi universitas.
Dengan bimbingan Crimson Education, calon mahasiswa-mahasiswi akan mendapatkan arahan dalam hal memilih kegiatan pengayaan akademik yang tepat dan bermanfaat, menemukan peluang menumbuhkan dan menyesuaikan minat mereka, membangun kisah unik mereka, menemukan sekolah dan program yang melengkapi kekuatan mereka, membantu para calon mahasiswa untuk menyusun profil yang lebih menarik, memutuskan jurusan yang tepat, menulis pernyataan personal, dan berlatih menghadapi wawancara, hingga mengelola tenggat waktu dan stres.
“Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Crimson Education untuk meningkatkan keberhasilan calon mahasiswa. Pertama, kami akan menyiapkan calon mahasiswa dengan berbagai program yang telah didesain untuk diikuti sejak setidaknya 3 tahun sebelum proses pendaftaran.
“Dengan mengikuti program yang dirancang Crimson Education sejak akhir kelas 9 (3 tahun sebelum pendaftaran Universitas), calon mahasiswa akan dibantu untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai mereka, memberikan rekomendasi dan saran universitas yang tersedia berdasarkan kecocokan minat dan bakat, membantu merencanakan alokasi biaya pendidikan, dan mendorong calon mahasiswa agar terlibat aktif di dalam kegiatan pengayaan akademik,” tambah Vanya Sunanto.
Selanjutnya Crimson Education akan membimbing calon mahasiswa mempersiapkan diri secara optimal, merencanakan proyek individual, mendorong mereka merasakan dunia kerja untuk meningkatkan skill kepemimpinan dan meningkatkan pencapaiannya, mencapai angka yang diharapkan untuk masuk ke universitas Ivy League.
Crimson juga akan membantu calon mahasiswa menulis UCAS, atau esai umum lainnya, mengerjakan esai tambahan yang diperlukan untuk perguruan tinggi tempat calon mahasiswa mendaftar, memperbaharui CV (Curriculum Vitae) sesuai standar dan membantu calon mahasiswa memeriksa segala persiapan dan kelengkapan yang dibutuhkan 1 bulan sebelum pendaftaran.
Hingga kini, Crimson Education telah berhasil membuktikan kinerja mereka sebagai konsultan pendidikan negeri bertaraf internasional yang profesional dan terpercaya karena telah membantu 494 calon mahasiswa masuk ke Universitas Ivy League, 166 calon mahasiswa ke Oxford dan Cambridge, lebih dari 3000 calon mahasiswa ke universitas top 50 di AS, dan lebih dari 1500 calon mahasiswa ke universitas top 10 di Inggris.
Dari Indonesia sendiri, telah lebih dari 50 orang mahasiswa diterima di universitas-universitas Ivy League, atau universitas top lainnya seperti UC Berkeley, MIT, University College London, dan kampus-kampus bergengsi lainnya.
“Dengan arahan Crimson Education, calon mahasiswa bisa meningkatkan peluang untuk diterima empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendaftar secara mandiri. Jadi orang tua calon mahasiswa tidak perlu mengubur harapan agar anak-anaknya menempuh pendidikan di universitas unggulan di AS dan Inggris, melainkan mempersiapkannya dengan optimal sejak jauh-jauh hari,” tutur Vanya Sunanto. (ari)