Oleh : Nur Kholis
“Kemuliaan, keagungan, dan kehormatan bagian terpenting bagi sebagian besar manusia. Untuk mencapainya, seseorang akan berusaha dengan berbagai cara, tergantung persepsinya. Jika kemuliaan, keagungan dan kehormatan adalah materi, maka diukur oleh seberapa besar kekayaannya, serba tinggi kekuasaannya.
Disinilah perebutan, konflik, bahkan perang antar manusia yang terjadi. Jika semuanya adalah tata nilai, moralitas, maka untuk memperolehnya dengan kasih sayang, penuh kebijaksanaan, dan merangkai nilai-nilai kemanusiaan. 7 Ramadlan 1442 H / 19 April 2021 M,” mengutip kata Prof. Maftukhin (Rektor IAIN Tulungagung).
Semua makhluk, termasuk manusia, oleh Tuhan diberi potensi "keinginan, kecenderungan” untuk memiliki (to have) dan mencintai wanita, anak, harta, benda yang mewah, dan kendaraan (QS al-Imran/3: 14). Kepemilikan terhadap hal-hal demikian, secara inderawiyah merupakan sumber kemuliaan, kagungan, dan kehormatan. Setiap saat orang selalu berpikir bagaimana mendapatkannya; ada yang mecapainya secara wajar, sesuai aturan. Dan, sebaliknya ada yang mendapatkannya dengan cara yang tidak wajar, bahkan menabrak semua aturan (menghalalkan semua cara).
Selain itu, Tuhan juga memberi manusia potensi untuk mampu mengontrol, mengelola kecenderungan-kecenderungan tersebut sesuai norma-norma yang berlaku (agama dan sosial). Mereka lebih menjadikan potensi tersebut sebagai instrument untuk menjadi (to be) diri yang semakin baik.
Hanya ada dua pilihan, menjadikan kemuliaan, keagungan, dan kehormatan sebagai; alat atau tujuan. Jika menjadikannya sebagai alat, maka memilikinya secara wajar dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat bagi diri, keluarga, dan kebanyakan orang. Sementara, jika memilikinya dijadikan sebagai tujuan, maka memiliki dan mencapainya mungkin bisa secara tidak wajar, dan pemanfaatannya untuk nafsunya. Pilihan ini banyak tergantung pada bagaimana persepsi seseorang terhadap kemuliaan, keagungan, dan kehormatan ini.
Oleh karena itu, merestrukturisasi persepsi tentangnya menjadi suatu keniscayaan. Tentu, ini subyektif, tergantung bagaimana pengetahuan, kesadaran, dan orientasi hidup masing-masing individu. Karena pada dasarnya, semua kemewahan dan kehormatan demikian adalah sarana bagi Tuhan untuk melakukan seleksi alamiah kebaikan dan keburukan manusia (QS al-Taghabun/64: 14-15).
Semua komponen dan unsur-unsur material, dan energi di bumi ini, termasuk manusia beserta pikiran-pikiran dan kepemilikannya tunduk pada prinsip-prinsip garis edar bumi. Artinya, semua benda dibatasi oleh ruang dan waktu. Jika meminjam konsep teorinya, Einstein, bahwa bumi dan isinya hanya bergerak secara inersia di ruang waktu yang terdistorsi oleh lintasan heliks. Sehingga kemuliaan, keagungan, dan kehormatan individu manusia hanya sebatas ruang dan waktu edar dirinya masing-masing.
Kemuliaan individu satu dibatasi oleh kemuliaan individu lainnya. Keagungan individu satu dibatasi oleh keagungan individu lainya. Dan, kehormatan individu satu dibatasi oleh kehormatan individu lainnya. Selain itu, semuanya juga dibatasi oleh waktu (usia, periodesasi) masing-masing. Dengan demikian, kemuliaan, keagungan, dan kehormatan hanyalah relatif dan subyektif.
Kemuliaan, keagungan, dan kehormatan di dunia ini sangat terbatas, sedangkan kemuliaan, keagungan, dan kehormatan di akhirat bersifat tidak terbatas. Setiap sumber daya yang terbatas, yang diperebutkan oleh banyak orang cenderung menimbulkan konflik-konflik. Pada era nomaden, orang-orang berimajinasi bahwa kehadiran pemimpin komunitas akan menghasilkan kedamaian, begitu juga di era kerajaan, dan negara modern. Kuncinya untuk tidak konflik, bukan pada faktor kepemimpinan, tetapi pada perebutan sumber daya yang terbatas. Ini adalah kesalahan persepsi manusia modern.
Oleh karenanya, merubah persepsi dari perebutan yang terbatas ke perebutan yang tidak terbatas perlu dikembangkan. Sehingga setiap individu orang mendapatkan kemuliaan, keagungan, dan kehormatan hakiki. Ujung-ujungnya adalah lahir tardisi saling menghormati, dan menyayangi bukan malah konflik.
Berkeinginan untuk memiliki kemuliaan, keagungan, dan kehormatan adalah hak setiap individu. Karena hak, maka setiap individu diperbolehkan untuk berjuang mencapainya. Bahkan, Islam menganjurkan agar umatnya memilikinya dan dilarang meninggalkan keturunan yang lemah (QS al-Nisa’/4: 9). Hendaknya kemuliaan, keagungan, dan kehormatan didedikasihkan untuk membantu dan memuliakan lainnya. Dedikasi demikian akan melahirkan sikap saling menolong, dan menimbulkan kasih sayang di antara manusia.
Orientasi kepemilikan kemuliaan, keagungan, dan kehormatan yang benar akan menghasilkan kebaikan pula bagi orang-orang di sekitarnya. Banyak orang-orang yang mendapatkan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas, menjadi pemimpin yang adil, pemimpin yang penuh kasih sayang pada rakyatnya, dan menghasilkan ketentraman masyarakat atau komunitasnya.
Potensi akal yang diberikan Tuhan kepada semua manusia berkembang secara wajar sesuai stimulan-stimulan yang beragam masing-masing individu. Keragaman stimulan inilah yang kemudian membedakan perkembangan potensi itu antar individu. Ada individu yang mengalami perkembangan dengan sangat cepat, sedang, dan lambat. Perbedaan perkembangan potensi diri individu mengakibat perbedaan keinginan kemuliaan, keagungan, dan kehormatan.
Selain itu, juga berbeda waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keinginan tersebut. Disinilah letak rahasianya, untuk mengurangi salah satu penyebab konflik diantara individu manusia. Untuk mencapai finis keinginan membutuhkan waktu yang berbeda diantara individu manusia, tetapi semuanya pasti akan mencapai finis itu, meskipun waktu dan kualitas/level pencapaian keinginan berbeda.
Setiap individu manusia memiliki garis edarnya masing-masing, persis seperti penciptaan Tuhan lainnya; planet angkasa, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tumbuh, berkembang, dan bergerak secara dinamis mengikuti aturan cosmis. Pergerakan, perjuangan, dan pencapaian kehendak diri yang tidak sesuai aturan cosmis tersebut, tentu akan bertabrakan dengan material lainnya. Semua tunduk pada aturan, mereka dipersiapkan untuk mampu memenej potensi, kehendak, dan aturan sehingga pergerakan, perjalanan, dan pencapaian masing-masing tujuan menimbulkan irama yang berintonasi indah.
Pergerakan yang melahirkan cinta, kasih sayang, dan saling memberi ruang agar tidak ada yang berhenti secara terpaksa pergerakannya. Itulah keindahan pergerakan yang sesuai alur rotasi masing-masing, tanpa menimbulkan konflik, gesekan, dan penganiayaan terhadap lainnya (QS an-Nuur/24: 41).
*Penulis adalah Dosen IAIN Tulungagung.