telusur.co.id - Di tengah hiruk pikuk bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19, berbagai hal yang mencengangkan mencuat ke permukaan publik. Salah satunya adalah ikhwal RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini merupakan salah satu dari sekian banyak RUU yang terpaksa harus “diintervensi” oleh pemilik kedaulatan tertinggi dalam demokrasi kita, rakyat Indonesia.
Adapun Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, dan DPR sepakat mengubah pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).
Sebelumnya, berbagai ormas Islam melancarkan protes terhadap pembahasan RUU HIP, dan pengubahan menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) jika substansinya mereduksi lima sila di Pancasila menjadi satu sila yang tercantum dalam Pasal 7, dan tidak dimasukannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI.
Menanggapi polemik RUU HIP, Anggota DPR RI Komisi III Fraksi Partai Gerindra, Rahmat Muhajirin mengatakan, Pancasila ialah landasan falsafah negara dan ideologi bangsa. Justru yang dibutuhkan saat ini dan masa depan, ialah kebijakan atau aturan yang bisa mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
"Secara hukum misalnya, setiap hukum yang akan diturunkan atau dikeluarkan sebagai kebijakan negara baik di pemerintah pusat ataupun di daerah harus mencerminkan nilai-nilai dari sila-sila yang ada dalam pancasila tersebut namun, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata masyarakat.
Masyarakat saat ini semakin liberalis, hedonis, egois individualistis juga materialistis. Sangat jauh dengan nilai-nilai Pancasila yang menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” terang Rahmat saat dihubungi via telepon. Selasa, (21/7/2020).
Rahmat Muhajirin menambahkan, RUU HIP yang semula ditujukan untuk memperkuat eksistensi dan implementasi konkret nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuai reaksi dan resistensi dari masyarakat.
“Dari berbagai isu yang mengemuka terkait penolakan RUU HIP, saya menilai setidaknya ada tiga potensi konflik di dalamnya, yaitu: (1) konflik ideologi, (2) konflik norma, (3) konflik kepentingan,” imbuhnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra ini juga berharap pemerintah, DPR, serta partai-partai politik tidak mengusulkan dan membentuk produk hukum perundang-undangan yang dapat menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat.
Ia pun menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara dan kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengingat adanya potensi konflik kepentingan dalam RUU HIP. Menafsir original intent RUU HIP memang tidak terbatas hanya membaca konsideran menimbang saja, perlu pembacaan komprehensif terhadap pasal-pasalnya. Paham serta pandangan dan gagasan yang tertuang dalam Pancasila akan terus terukir sebagai fakta sejarah serta akan terus diingat dan diimplementasikan.
“Saat ini pemerintah sudah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP, tetapi bukan berarti RUU HIP tersebut resmi dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020. Kritik konstruktif-substantif perlu terus disuarakan agar RUU HIP tersebut tidak menyelisihi nilai-nilai luhur Pancasila juga seiring-sejalan dengan suara masyarakat,” tandas Rahmat Muhajirin. (rif)