Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

Beberapa hari lalu, Times Higher Education mempublikasikan hasil pemeringkatan kampus 2021 di Asia.

Ternyata peringkat 10 kampus terbaik Indonesia semuanya di bawah Malaysia. University of Malaya dinobatkan sebagai kampus terbaik ke 49 jauh di atas UI di posisi 196.

Sementara itu, Universiti Teknologi Malaysia menempati posisi 150, sedang ITB jauh di bawahnya pada 310. ITS bahkan lebih rendah lagi di posisi 372.

Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran, Prof. Anshory Yusuf menyebut, situasi ini sebagai regresi, bukan lagi sekedar stagnasi di kampus-kampus Indonesia. 

Bukan bermaksud apologetik, kita mesti cermati realitas yg dipotret lembaga pemeringkat semacam THE sebagai werternisasi dibalik slogan globalisasi. 

Globalisasi pada dasarnya adalah proxy war dari neocortex war Barat atas the rest of the world untuk mempertahankan dominasinya. Salah satu amunisinya adalah standardisasi.

Satu strategi penggunaan weapon of mass deception ini dalam rangka melemahkan musuh adalah perankingan, terutama kampus. Sayang sekali banyak kampus ternama kita dan Malaysia justru tidak menyadari penyesatan ini.

Jika dicermati lagi, maka daftar 10 kampus terbaik di AS yang sekaligus menjadi tujuan para pesohor tetap saja L4 : lu lagi lu lagi. Dari Harvard sampai Princeton. Dari Stanford sampai MIT.  

Terbukti bahwa kampus, juga sekolah-sekolah favorit, di manapun adalah tempat terbaik untuk menyombongkan diri. Padahal banyak kampus seperti itu bukan tempat terbaik untuk belajar.  

Diskriminasi rasial masih mewarnai AS hingga hari ini, termasuk di kampus-kampus Ivy League. 

Sering luput dari analisisnya bahwa, variabel penentu prestasi kampus adalah mahasiswanya, bukan guru besarnya atau sarana dan prasarananya.  

Pendidikan adalah jasa yg mensyaratkan proses prosumsi : produksi dan konsumsi sekaligus. Tanpa mahasiswa, kampus manapun tidak berarti sepeserpun.  

Adalah mahasiswa yang menjadikan kampus itu hebat atau recehan. Tanpa mahasiswa terbaik, kampus tidak dapat menjadi yang terbaik dalam jangka panjang. 

Perankingan yang berpijak pada standard Barat adalah upaya untuk mempertahankan hegemoni kampus-kampus Barat untuk menarik mahasiswa-mahasiswa terbaik dari berbagai negara.  

Terjadi semacam braindraining dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju.  

Memang confidence terbukti unsur sukses yang penting. Kesombongan mungkin elemen penting dalam rasa percaya diri itu. Tapi sombong adalah karakter yang buruk. Perankingan adalah instrumen untuk memacu kesombongan, namun sekaligus untuk melestarikan perasaan rendah diri. 

Yang paling merusak dari perankingan adalah kompetisi yang obsessif yang berpotensi  menelantarkan kolaborasi sesama kampus domestik dan ASEAN.  

Kebijakan mutakhir yang melihat kampus sebagai kelanjutan persekolahan formal, dan melebur Kementerian Ristek ke Kemendikbud, telah membebani Kemendikbud dengan tugas berganda serta jangkauan kontrol yang makin unmanageable. 

Kegagalan persekolahan formal untuk menyediakan calon mahasiswa yang dewasa dan mandiri belajar telah membebani kampus untuk menutup-nutupi kegagalan ini. 

Kegiatan riset yang selama ini ditangani pejabat setingkat menteri, kini diserahkan pada pejabat setingkat dirjen dengan kewenangan yang jauh lebih terbatas. Apalagi berkembang kebijakan yang menjadikan kampus sebagai bagian dari birokrasi pemerintah.  

Kampus makin sulit disebut sebagai lembaga yang memiliki otonomi akademik yang dibutuhkan untuk menjadi simpul-simpul kreatif dan kesetiaan pada kebenaran sebagai basis moral bangsa sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 45.   

Ini bukan soal kesejahteraan dosen dan anggaran penelitian terbatas semata, tapi lebih soal disorientasi pendidikan nasional kita : terlalu terobsesi dengan mutu (berbasis standard, apalagi internasional) lalu menelantarkan relevansi personal, kultural dan spasial. 

Untuk mandiri, pendidikan seharusnya lebih mementingkan relevansi agar bermakna bagi peserta didik dan mahasiswa sehingga menghasilkan warga negara yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif serta berdampak lokal. Ini bisa disebut glokalisasi. 

*Penulis adalah CEO Rosyid College of Arts and Maritime studies (RCAM) yang beralamat di Gunung Anyar, Surabaya, Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (YPTDI), Pakar Teknik Kelautan, Anggota Komite The Royal Institution of Naval Arcitects (RINA) yang bermarkas di Inggris).