telusur.co.idMembedah Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google
 
Kembalikan agamaku
pada keramahan dan kesantunan
Kembalikan hidupku
pada kesyahduan dan keindahan

 
Penggalan puisi di atas dibawakan dengan iringan gitar (musikalisasi) oleh seniman Aan Nawi. Ia mengawali acara diskusi buku di Kantor Sekretarian SatuPena (Perkumpulan Penulis Indonesia) Jawa Tengah, di Jl. Taman Karonsih, Ngaliyan, Semarang. Sabtu (01/6/2023).

Tampil sebagai narasumber dalam diskusi tersebut adalah Ahmad Gaus. Ia penulis buku yang akan dibedah yang berjudul Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google (2023). Tampil pula Gunoto Saparie, cendekiawan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Wilayah Jawa Tengah. Gunoto juga koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Jawa Tengah.

Menurut Gaus, puisi karangan Gunoto Saparie di atas sangat kuat dan mewakili diskursus moderasi beragama yang saat ini sedang ramai disuarakan. 

Maka pada kesempatan itu, para pembicara secara khusus membahas isu moderasi beragama, salah satu bab di dalam buku karya Ahmad Gaus tersebut.

Dalam pembahasannya, Gunoto Saparie menegaskan, betapa banyak aspek kehidupan yang berubah dengan cepat di era industri 4.0 saat ini, termasuk kehidupan beragama. 

Lahirnya Artificial Intelligence (AI), big data, chatbot, dan Internet of Things (IoT), menjadi tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh bangsa kita. 

Sains dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendorong sikap terbuka dan moderat dalam beragama. Kalau tidak, agama akan kehilangan relevansinya.

Dalam buku yang sangat menarik ini, lanjut Gunoto, Gaus menguraikan pemikiran Denny JA yang menunjukkan bagaimana kompleksitas kehidupan keagamaan berubah di era disrupsi digital. 

“Data-data kuantitatif yang dikemukakan oleh Denny terjadi karena ada perubahan preferensi sumber informasi keagamaan yang tidak lagi konvensional, melainkan dari temuan sains, sehingga orang dituntut untuk bersikap terbuka terhadap berbagai sumber informasi. 

Ini sekaligus mendorong orang untuk bersikap moderat dalam beragama,” papar wartawan senior yang juga penyair puisi esai.

Data-data yang dimaksud oleh Gunoto ialah temuan-temuan survei terbaru yang dikemukakan Denny JA dalam buku yang ditulis oleh Gaus seputar indeks kebahagiaan, indeks pembangunan manusia, dan indeks persepsi korupsi. 

Semua negara Muslim memperlihatkan angka yang sangat buruk dalam hal kebahagiaan dan pembangunan manusia. Sebaliknya tingkat korupsi di negara-negara tersebut sangat tinggi.

Denny juga mengemukakan kisah-kisah seputar banjir Nabi Nuh, eksodus Nabi Musa dan kaum Yahudi, kelahiran Islam di Petra Yordania, dan lain-lain, yang disandarkan pada penelitian-penelitian historis dan arkeologis, bukan dari sumber kitab suci. Sehingga hasilnya berbeda. 

Temuan-temuan ilmu pengetahuan itu tidak mengubah keyakinan orang beriman. Tapi, ujar Gunoto, mendorong orang untuk menghindari sikap fanatik, dan melahirkan sikap moderat dalam beragama.

Cara Pandang yang Berbeda

Sementara itu penulis buku, Ahmad Gaus, melihat cara pandang yang berbeda antara Denny JA dengan para sarjana dan aktivis dalam menyikapi isu moderasi beragama yang akhir-akhir ini gencar disuarakan oleh pemerintah. 

Para sarjana dan aktivis pada umumnya mempersoalkan sikap resmi pemerintah dalam mengkonstruksi hubungan antar agama di tengah masyarakat. Alasannya, sudut pandang pemerintah dalam soal keagamaan biasanya konservatif.
 
Di masa lalu, pemerintah melihat pentingnya moderasi beragama untuk mewujudnya stabilitas dalam menunjang pembangunan. Kerukunan nasional merupakan modal utama bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan. 

Karena tujuannya stabilitas, maka wacana tentang hubungan antaragama dikooptasi oleh negara, dan menjadi bagian integral dari politik pemerintah. Itulah yang membuat sebagian sarjana dan aktivis bersikap skeptis terhadap kebijakan moderasi beragama saat ini.
 
Namun menurut Gaus, posisi Denny JA berbeda. Ia menyebut bahwa, langkah pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sudah tepat menjadikan moderasi beragama sebagai kebijakan publik (public policy). 

Mengapa? Berdasarkan data, Indonesia dinilai termasuk 11 negara terburuk dalam soal permusuhan sosial untuk isu agama. Dalam kasus ini Indonesia sejajar dengan Afghanistan, Srilanka, Sudan, Pakistan, Somalia, Bangladesh, dan beberapa negara lain yang dianggap terburuk dalam soal kesehatan kehidupan beragama. 

Cukup banyak buktinya, seperti pembakaran gereja, perusakan masjid milik jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah, pengusiran muslim Syiah seperti yang terjadi di Madura, dll.
 
Gaus menuturkan, negara harus hadir di tengah masyarakat dan konsisten menegakkan hukum. Setiap kekerasan terhadap keberagaman harus dihukum sehingga masyarakat melihat bahwa, negara memang konsisten dalam menciptakan kultur jera bagi pelaku kekerasan dan mendorong iklim kebebasan. 

Namun iklim kebebasan itu tidak boleh selamanya top down melainkan harus dibangun oleh masyarakat sendiri.
 
Karena itu Gaus sepakat dengan Denny JA bahwa keberpihakan negara pada moderasi beragama haruslah hanya sementara. Karena dalam jangka panjang negara harus netral agama. “Saya setuju dengan Denny bahwa untuk tahap sekarang kita masih dapat memaklumi langkah negara untuk memilih memajukan paham moderasi agama. 

Namun, sekali lagi, sifatnya hanya sementara saja untuk merespon kondisi darurat bahwa Indonesia sudah dinilai sangat buruk dalam isu permusuhan sosial (social hostility) karena perbedaan agama ataupun paham keagamaan,” pungkas Gaus.
 
Acara yang dipandu oleh Mohammad Agung Ridlo ini berlangsung meriah dengan munculnya beragam tanggapan dari para peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, wartawan, dan anggota Satupena Jawa Tengah. 

Selain itu, juga diramaikan dengan pembacaan puisi antara lain oleh Tina Nursari, Warsit MR, dan Fransisca Ambarwati.

Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah, Drs. KH Taslim Syahlan, MSi. yang hadir di acara tersebut menyambut gembira pelaksanaan bedah buku mengenai isu hubungan antaragama dengan kata kunci yang sangat kuat dari Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia. 

“Kami di Jawa Tengah sudah mengamalkan itu dalam kehidupan sehari-hari, dan terus menyuarakannya di tingkat akar rumput. 

Dan salah satu hasilnya, FKUB Jawa Tengah meraih penghargaan Harmony Award dari Kementerian Agama pada tahun 2021,” tegasnya.
 
Sembilan Pemikiran Denny JA

Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google, diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.  

Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas.

Yakni: Bab 1, Iman Berbasis Riset.  Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. 

Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi. Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.

Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:

1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal  peran agama  di masyarakat.
 
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
 
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
 
4. Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
 
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
 
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
 
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
 
8. LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
 
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
 
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku karangan Ahmad Gaus. 

Namun menurutnya, ia tidak mengklaim bahwa sembilan butir itu mewakili seluruh pemikiran Denny JA yang tersebat dalam ratusan karyanya. Buku ini hanya diniatkan untuk menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang terpenting, yang terkait dengan agama dan spiritualitas.

Link Buku Pemikiran Denny Ja soal Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama, edisi bahasa Inggris

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2217833391738084/?mibextid=S66gvF

Link buku: Tanggapan 11 Tokoh atas Pemikiran Denny JA soal Agama di Era
Google

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2215968395257917/?mibextid=S66gvF. (ari)