Telusur.co.id - Review Pemikiran Denny JA Soal Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
Oleh : Dr. Budhy Munawar-Rachman
(Hal yang baru pada pemikiran Denny JA soal agama adalah gabungan yang sempurna pendekatan sains dalam isu-isu sosial keagamaan dan spiritualitas.)
Inti buku Ahmad Gaus AF ini, Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (2023), menggambarkan bergesernya pemahaman agama dalam masyarakat: dari kebenaran mutlak menuju kekayaan kultural milik bersama.
Ini terutama sedang terjadi di negara-negara maju, tapi juga menjadi visi yang akan terjadi di Indonesia, khususnya kelak ketika Indonesia menjadi negara maju, sejahtera dan bahagia.
Buku Gaus ini menguraikan pikiran-pikiran Denny JA. Saya akan mengulasnya sedikit di sini, karena keterbatasan halaman yang tersedia, hanya ide-ide yang paling penting saja.
Menurut Denny JA, pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tidak lagi menganggap agama penting dalam kehidupan masyarakatnya.
Ada tiga data riset dari lembaga kredibel yang selalu dirujuk untuk membuat kita semua belajar menjadi manusia yang lebih baik. Yaitu, riset tentang kebahagiaan manusia (World Happiness Index), riset tentang kesejahteraan manusia (Human Development Index), dan riset tentang persepsi korupsi (Corruption Perception Index).
Riset-riset ini kemudian dihubungkan dengan riset mengenai seberapa pentingnya agama bagi masyarakat.
Kesimpulan Denny JA dari referensi silang riset-riset ini adalah bahwa negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi, yang negaranya paling bersih dari korupsi, yang kualitas pembangunan manusianya paling tinggi, mayoritas warganya tidak menganggap agama itu penting bagi hidupnya.
Begitu pun sebaliknya: negara yang mayoritas warganya menganggap agama itu penting atau sangat penting, tingkat kebahagiaan penduduknya, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan kualitas pembangunan manusia di sana, hanya di papan tengah hingga di bawah rata-rata.
Buku Gaus ini mengetengahkan data bahwa di era google, di era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0, banyak riset mendalam telah dikerjakan. Banyak hal diukur dan dibuatkan index-nya. Banyak ranking dikonstruksi.
Tingkat keberagamaan banyak negara juga bisa diukur melalui survei opini publik. Tingkat korupsi banyak negara juga bisa disusun berdasarkan judgement para ahli. Tingkat kebahagian warga negara bahkan bisa diindekskan. Tingkat kecerdasan individu, juga bisa diperingkat.
Khusus soal dunia agama, ketika aneka indeks, measurement, dan peringkat itu diuji silang, kita mendapatkan pemahaman baru yang sederhananya kita ringkas ada korelasi antara anggapan pentingnya agama dan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Semakin tinggi tingat anggapan bahwa agama itu penting, semakin kurang sejahtera dan bahagia masyarakatnya. Ini kesimpulan buku Gaus dari uraiannya tentang pemikiran Denny JA.
Kesimpulan ini menantang anggapan selama ini bahwa agama akan membawa pada kemaslahatan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Nyatanya dari studi Denny JA, penghayatan dan anggapan bahwa agama penting, atau sangat penting seperti di Indonesia, tidak membawa masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Dari sini, apakah rekomendasinya sebaiknya tingkat kepentingan agama diturunkan sedemikian rupa, sehingga bisa memberi ruang untuk tumbuhnya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat?Atau kita menafsirkan ulang peran agama dalam kehidupan sosial kita?
Jawaban pertanyaan ini akan kita bahas di bawah nanti, dengan menunjukkan rekomendasi Denny JA.
Implikasi Temuan Ilmu Pengetahuan tentang Fakta Agama
Tapi apakah fakta-fakta seperti itu mengubah keyakinan pemeluk Yahudi, Kristen, dan Islam? Menurut Denny, seperti digambarkan Gaus, ternyata tidak, atau tidak perlu.
Agama adalah soal keyakinan. Agama-agama masih bertahan ribuan tahun hingga saat ini, dan dipeluk oleh miliaran manusia. Agama adalah lompatan iman yang menyeluruh.
Bagi penganut agama yang yakin, bahkan fakta sejarah yang salah tidaklah mengganggu. Umat Kristen meyakini fakta Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Umat Islam meyakini Fakta Nabi Isa (Yesus) tak mati disalib.
Umat Yahudi dan Kristen meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak. Umat Islam meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail.
Ini dua fakta yang berbeda. Pasti salah satu fakta itu salah. Ternyata kesalahan fakta sejarah tetap bisa diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia, dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun.
Ini suatu paradoks dalam keberagamaan antariman sekarang ini, yang perlu disikapi dengan penuh toleran saja, tanpa klaim-klaim kebenaran sepihak.
Di sinilah Denny menawarkan kearifan sebagai jalan untuk melihat keanekaragaman sebagai kekayaan kultural milik bersama.
Pada tahun 2013, Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir. Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.
Di samping dirayakan oleh umat kristiani, kini Natal juga dirayakan oleh 81 persen umat non-Kristen di Amerika Serikat. Hussein Allouch, tokoh muslim di Denmark, juga mengundang para sahabat dari berbagai keyakinan datang ke rumahnya, merayakan Natal.
Tak ada kata saling mengkafirkan satu sama lain atau mendaku keyakinannya lebih suci dan benar dibandingkan keyakinan di luarnya.
Apa yang bisa dibaca dari data itu?
Denny JA menggambarkan bahwa agama rupanya sudah mulai tak lagi didekati dengan pendekatan benar atau salah. Tahap teologis yang eksklusif itu sudah lewat. Mereka mendekati agama sebagai kekayaan budaya saja.
Dan kekayaan budaya itu milik semua manusia. Salah satu kekayaan budaya yang memberi kontribusi untuk kehidupan kemanusiaan adalah perihal intisari agama, yang sekarang biasa disebut sebagai “The Golden Rule”, yaitu prinsip-prinsip kebajikan.
Prinsip-prinsip “The Golden Rule” ini tertulis di semua kitab suci agama besar. Bahkan prinsip-prinsip kebajikan juga menjadi ajaran utama filsafat Stoa, yang sudah ada tiga ratus tahun sebelum kelahiran agama Kristen, dan 900 tahun sebelum kelahiran agama Islam.
Kebajikan adalah nilai yang berharga. Nilai lain hanya punya arti jika dilihat dari efeknya bagi kebajikan. Semua harta, kekuasaan, pengetahuan, tindakan menjadi berarti jika ia membawa kebajikan.
Jika membawa keburukan dan kejahatan, maka harta, kuasa dan pengetahuan harus dianggap berbahaya.
Salah satu prinsip “The Golden Rule” yang sangat relevan untuk kehidupan bersama kemanusiaan kita adalah adalah prinsip “power of giving”. Berikan apa yang kaubisa untuk menolong orang lain, untuk menumbuhkan orang lain, untuk membahagiakan orang lain.
Lakukan prinsip ini terutama kepada mereka yang tak beruntung. Ini harta karun yang ada di semua agama besar. Dirimu hidup dari apa yang kauambil. Tapi dirimu bahagia dari apa yang kauberi. Derma atau pemberian tak selalu berarti materi. Tapi yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Prinsip ini ada di begitu banyak agama dan aliran spiritualitas.
Prinsip “The Golden Rule” lainnya adalah prinsip “The oneness” (kesatuan). Prinsip segala hal itu satu. Apakah kita meyakini Tuhan itu ada atau tidak, apakah Tuhan itu dalam bentuk personal God, impersonal God, para dewa, atau kita memahami dengan perspektif deisme, panteisme, agnostisisme.
Semua keyakinan itu tak bisa membantah bahwa ada sesuatu di luar Yang Maha Luas, dan Maha Misteri. Menurut Denny JA, inilah dasar ontologi “The Golden Rule” itu, yang telah diekspresikan dengan 4.300 jenis ritual yang dibawa oleh 4.300 agama.
Ataupun ia bisa pula dirasakan melalui kontemplasi yang hening. Inilah prinsip kesatuan dan kesalingterhubungan dari segala yang ada.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, dengan aneka prosedur yang ketat, ilmu mengeksplorasi banyak hal. Termasuk yang dieksplorasi adalah hubungan tiga prinsip spiritualitas di atas dengan kebahagiaan dan hidup bermakna.
Begitu banyak riset yang dilakukan. Menurut Denny berulang dan sah membuktikan betapa prinsip kebajikan itu membuat hidup manusia menjadi bahagia dan bermakna.
Riset juga membuktikan, betapa power of giving, hidup yang bersedekah, berderma, membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Riset juga membuktikan. Betapa rasa bersatu (“the oneness”) juga membuat hidup bahagia dan bermakna.
Betapa ritual agama, seperti pergi ke gereja, ke masjid, ke kuil, meditasi, kontemplasi, sejauh yang dibayangkan itu Yang Maha Kasih, Yang Maha Sayang, akan membuat hidup lebih bahagia dan bermakna.
Ini tiga berlian biru yang ditemukan dalam samudra spiritualitas. Ribuan agama, aliran filsafat, sudah pula diriset oleh ilmu pengetahuan bertemu di tiga berlian biru itu.
Denny JA menyebut tiga harta karun di samudra spiritual itu sebagai “Spiritual Blue Diamonds.”
Demikianlah Denny JA ini, mengajarkan kepada kita bahwa agama tak perlu didekati sebagai doktrin benar dan salah. Tapi agama mesti dihidupi sebagai dokumen peradaban.
Mereka yang meyakini agamanya sebagai satu satunya kebenaran mutlak tetap hadir, keyakinan “hanya agama saya yang benar,” itu tetap tumbuh dan dihormati.
Tapi mereka yang tak lagi percaya pada agama itu, tetap bisa menikmati agama itu sebagai kekayaan kultural belaka. Sama seperti mereka menikmati kekayaan adat istiadat.
Inilah kearifan baru yang ditunjukkan Denny dan diulas dalam buku Gaus ini, yang akan semakin banyak diyakini di era google. Mereka memandang, menghormati, dan menikmati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama.
Sehingga negara modern perlu menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama saja, yang selalu terjadi di masa lalu. Ruang publik yang dinetralkan dari dominasi satu agama menjadi solusi jalan tengah.
Jika tidak, akan terjadi pertarungan tiada henti, bahkan berdarah berebut menjadi agama penguasa tunggal ruang publik.
Dalam ruang publik, public policy, roda ekonomi, roda politik, roda teknologi adalah dunia perdebatan.
Menurut Denny, itu adalah ruang di mana kita bisa saling berbantah untuk mendapatkan solusi lebih baik untuk lebih banyak warga negara. Itu ruang yang selalu berubah.
Ruang perdebatan adalah ruang riset empirik. Ruang itu tak bisa disandarkan kepada kepercayaan atau agama. Justru ruang publik itu harus menghidupkan keraguan.
Itu sebabnya semakin ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama, ia akan lebih mudah bahkan untuk membuat lebih banyak warga negara lebih bahagia.
Apakah ini berarti peran agama tak lagi penting di zaman modern? Jawabnya tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan. Jalaluddin Rumi yang sangat populer di dunia Barat karena menafsirkan agama secara universal, rupanya telah membantu Denny JA mendapatkan tafsirnya yang menyatukan manusia, bukan membelah.
Tafsirnya mengajak pada kedalaman, mengontrol kebersihan perilaku dari dalam. Tafsir agama jenis Jalaluddin Rumi ini, menurut Denny JA, tak hanya membawa kebahagiaan otentik bagi individu.
Tapi tafsir ini juga fungsional bagi ruang publik di dunia modern, yang semakin netral dari dominasi satu agama.
Di sini menariknya tawaran Denny JA, seperti diuraikan dalam buku Gaus AF ini, yakni mencari tafsir agama yang ramah pada keragaman melalui renungan spiritual.
Misalnya dari Rumi, Sufi yang, sekali lagi, banyak memengaruhi Denny JA, yang terkenal dengan bukunya, Matsnawi, buku paling terkenal di dunia muslim, terutama di Persia yang sering disebut kitab kedua setelah Alquran.
Ia mengatakan, Agamaku adalah cinta, dan setiap hati adalah rumah suciku. Rumi mewakili tiga figur sekaligus. Ia membawa kedalaman renungan dari seorang Buddha, keluasan filosofis seperti Plato, yang ia tuangkan dalam bahasa yang indah seperti Shakespeare.
Jadi ia gabungan dari Buddha, Plato, dan Shakespeare. Yang juga kuat pada Rumi adalah ia membawa satu humanisme yang universal. Puisi-puisi Rumi di Amerika, bahkan dibaca tak hanya di masjid, tapi juga di gereja dan juga universitas.
Puisi-puisinya tidak hanya dibaca oleh sastrawan, tidak hanya dibacakan oleh mereka yang suka puisi, tapi dibacakan oleh para guru besar, bahkan artis Hollywood.
Rumi sekarang dimaknai melewati tembok-tembok itu dan memberikan pesan seolah-olah semua kita ini adalah satu Homo Sapiens, satu bumi, dan satu spritualitas. Hingga ia mengatakan agamaku adalah cinta, dan semua orang membutuhkan cinta, apapun agamanya, apapun negaranya.
Ia katakan pula “setiap hati adalah rumah suciku, adalah rumah ibadahku” yang memiliki pesan mendalam, karena pada dasarnya setiap manusia, apapun agamanya, apapun negaranya, apapun etniknya, memiliki rasa sepi yang sama, rasa senang yang sama, dan ia bisa disentuh oleh siapa pun yang membawa renungan humanisme universal.
Banyak tokoh sufi, filsuf, atau pemikir muslim terkemuka lainnya, yang juga telah memberi pengaruh pada pemikiran sosial-spiritual Denny.
Mulai dari Rabiah Adawiyah, Jalauddin Rumi, Syam E Tabrizi, Fariduddin Attar, Hafidz Al Shirazy, Ibn Arabi, Ibn Al Farid, Hakim Sanai, Oemar Khayyam, Hazrat Inayat Khan, hingga Muhammad Iqbal, sampai Kahlil Gibran.
Sumbangan Denny JA
Denny JA bukan nama baru dalam dunia penulisan dan pemikiran sosial. Ia adalah seorang sarjana dan pengamat politik yang tajam.
Di dunia politik bahkan, ia dikenal sebagai tokoh yang selalu tajam dalam analisis politik. Tetapi dalam dunia puisi dan sastra, kehadirannya terhitung belum lama. Namun, namanya cepat berkibar, dan kehadirannya selalu menginspirasi, terutama karena syair-syairnya berupa puisi esai, selalu bermuatan kritik sosial.
“Puisi Esai” adalah genre baru dalam dunia puisi yang diciptakan oleh Denny, dan telah mendapat pengakuan para ahli sastra di Indonesia dan luar negeri.
Denny JA memberikan kontribusi yang luar biasa dalam dunia pemikiran sastra. Sastra di tangan Denny JA menjadi lebih memasyarakat dan terlibat dengan isu-isu sosial kontemporer.
Sastra ala Denny JA tergolong unik dan murni karena ia mempunyai style yang berbeda dengan kebanyakan karya sastra yang ada. Misalnya, di setiap puisi yang diciptakannya, ada isu sosial yang berbasis peristiwa nyata.
Ia menyelipkan banyak pengajaran atau pesan-pesan sosial kepada masyarakatnya. Ini memperlihatkan bahwa, Denny JA bukan hanya seorang analis sosial yang hebat, seperti kita lihat dalam pemikiran agama di atas. Ia juga adalah seorang sastrawan yang luar biasa, yang telah menghasilkan puisi-puisi yang berkomitmen sosial, dengan gaya baru dan sangat terikat dengan konteks sosial di sekelilingnya.
Puisi tidak sekadar memilih kata-kata indah dan estetika kalimat bertipografi sastra. Tapi juga merekam jejak sejarah dan berbicara tentang realitas yang ada.
Karena itu, kepekaan sosial, kemahiran mengolah bahasa dan kecerdasan pikiran harus dimiliki penulis puisi. Hal-hal seperti itulah yang dimiliki Denny JA, menggabungkan keindahan kata-kata dengan makna spiritual dan sosialnya sekaligus.
Pemikiran sosial keagamaan Denny JA sangat unik dan berbeda dengan pemikiran keagamaan yang biasa dikembangkan oleh tokoh-tokoh agama di Indonesia.
Pemikiran keagamaan Denny JA berasaskan pada ilmu pengetahuan mutakhir dan refleksi spiritual yang abadi dan universal.
Kombinasi sains dan spiritualitas ini menjadikan Denny JA sebagai pemikir agama yang sempurna secara sosial dan spiritual. Pemikiran sosial yang inklusif dan toleran yang digerakkan wawasan spiritualitas universal.
Kalau tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Buya Syafii Maarif mengamini kompatibilitas agama-agama dengan norma-norma internasional baru, seperti demokrasi dan hak asasi manusia, Denny JA melanjutkannya dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang melekat pada agama-agama itu.
Sebuah relativisme yang sehat, untuk mengembangkan paham inklusi sosial baru, yang belum terpikirkan selama ini, yaitu mengembangkan penerimaan penuh pada yang lain, mendukung, merawat, dan merayakan perbedaan yang ada dengan penuh semangat.
Hal yang baru pada pemikiran Denny JA soal agama adalah gabungan yang sempurna pendekatan sains dalam isu-isu sosial keagamaan dan spiritualitas.
Selama ini sains dan spiritualitas selalu diperhadapkan. Sains menganggap omong kosong spiritualitas. Dan spiritualitas menganggap sains hanya sebagai level yang belum mendalam dalam memahami Tuhan, manusia, dan alam.
Denny JA dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran dari sains dan spiritual, menjadikan kita bisa menikmati hasil perkembangan sains, tanpa harus mencemoohkan spiritualitas sebagai omongan mitos.
Mitos dan logos dalam pemikiran Denny JA bisa berpadu secara sempurna. Inilah perjumpaan Timur dan Barat dalam pemikiran Denny JA.
Yang kita perlukan adalah perpaduan kecerdasan sains ala Einstein, dan kearifan ala Sang Buddha. Keduanya kita dapati dalam pemikiran sosial keagamaan Denny JA.
Budhy Munawar-Rachman. Seorang aktivis Dialog Antariman. Mendalami isu-isu pemikiran Islam, pluralisme dan kebebasan beragama.
Lebih dari 30 tahun bekerja dalam isu-isu tersebut pada Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Pusat Studi Islam (PSI) Yayasan Paramadina, dan The Asia Foundation (TAF).
Mendapatkan Pendidikan Studi Islam berguru langsung pada Nurcholish Madjid dan para dosen di Yayasan Paramadina, kemudian filsafat (S1, S2 dan S3) pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan spiritualitas India pada Brahma Kumaris World Spiritual Organization.
Sejak muda sampai sekarang aktif memberi diskusi, seminar dan pelatihan-pelatihan. Mengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, dan sebelumnya beberapa kampus lainnya, seperti Universitas Paramadina, UMM Malang, UIN Yogyakarta, dan UIN Bandung. Banyak menyunting, dan menulis artikel dan buku. Di antaranya Reorientasi Pembaruan Islam (2018), dan Karya Lengkap Nurcholish Madjid (Edisi Baru, 2022).
Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Dr. Budhy Munawar Rahman ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (CBI, 2023)
Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF