Telusur.co.id - Oleh : Zuhairi Misrawi
Denny JA dalam puisi esainya yang sangat apik mampu menjelaskan secara gamblang derita dan nestapa kaum Ahmadiyah di NTB, 2006-2022.
Setelah reformasi, Indonesia masih menyisakan sejumlah agenda besar untuk memastikan hak asasi manusia benar-benar ditegakkan. Hal tersebut menjadi amanat konstitusi, yang sejatinya perlu mendapat perhatian serius, bahkan harus diprioritaskan.
Denny JA dalam buku puisi esai, Jeritan Setelah Kebebasan, menjelaskan secara gamblang tantangan, masalah, dan agenda genting yang harus direspons secara konstitusional pula agar Indonesia menjadi taman sari toleransi dan perdamaian, sebagaimana tertera dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Nenek moyang kita sudah mengingatkan, pada hakikatnya negeri ini mempunyai kekhasan dari aspek kebinekaan, baik dalam aspek agama, ideologi politik, suku, maupun bahasa. Kebinekaan menjadi kekuatan untuk membangun bangsa.
Sebab itu, konstitusi kita memberikan arah dan tujuan yang sangat jelas dalam berbangsa dan bernegara agar kita semua menjadikan hak asasi manusia sebagai pedoman dalam merawat kebinekaan.
Masalah besar yang harus dipecahkan adalah hak-hak kaum minoritas, kaum lemah, dan kaum terpinggirkan. Salah satu yang mendesak untuk mendapat perhatian adalah perihal hak konstitusional warga Ahmadiyah.
Diskriminasi dan persekusi yang dihadapi warga Ahmadiyah menjadi masalah serius, yang harus dipecahkan sesuai dan secara konstitusional.
Saya mendampingi Ahmadiyah sejak tahun 2006 hingga sekarang ini. Selama kurang lebih 16 tahun bersama dengan Ahmadiyah, saya menjadi saksi mata perihal diskriminasi dan persekusi yang menimpa mereka.
Tidak hanya itu, saya juga mendampingi Ahmadiyah untuk membangun kesadaran konstitusional, bahwa Bhinneka Tunggal Ika dan hak asasi manusia harus diperjuangkan agar ditegakkan oleh para pemangku jabatan dan kepentingan di negeri itu.
Selain itu, kita perlu membangun aliansi bersama dengan berbagai elemen bangsa untuk memperjuangkan, menegakkan, dan membumikan konstitusi. Intinya, diskriminasi dan persekusi terhadap Ahmadiyah merupakan pelanggaran hukum, kejahatan, dan haram terjadi di negeri yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dan hak asasi manusia.
Denny JA dalam puisi-puisi esainya yang sangat apik dan menyentuh ini, mampu menggambarkan dan mengisahkan secara gamblang perihal nestapa dan derita Ahmadiyah sejak tahun 2006-2022.
Semua puisi yang esai yang ditulisnya, Rama Menjemput Kematian, Mahama Tak Minta Suaka ke Australia, Kami Ikhlas Dikubur Hidup-Hidup, Sambut Derita Bagai Tamu Agung, Sihir di Tatapan Mata Ibu Tua Itu, dapat menggambarkan kondisi objektif Ahmadiyah dalam 16 tahun terakhir.
Tidak menutup kemungkinan, derita tersebut masih akan terus membayang-bayangi mereka hingga tahun-tahun yang akan datang.
Denny JA memilih Transito, tempat penampungan warga Ahmadiyah korban kekerasan, dikriminasi, dan persekusi di kota Mataram, sebagai saksi bisu penderitaan mereka dalam 16 tahun terakhir itu.
Menurut saya, pilihan pada Transito sangat tepat, karena tempat ini menjadi dalil sahih dari semua jeritan yang dirasakan warga Ahmadiyah.
Saya beberapa kali berkunjung ke Transito, menyapa dan bercengkrama dengan mereka.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Transito, saya hanya bergumam, “Andai derita ini menimpa saya, maka saya tidak akan bisa setegar warga Ahmadiyah. Mereka benar-benar sabar menerima takdir. Mereka dipersekusi dan diusir dari tempat tinggal, dan mereka sabar menghadapi cobaan.”
Sebagai rasa simpati dan empati saya pada warga Ahmadiyah, untuk salat Jumat, saya memilih untuk salat bersama mereka di Masjid Transito daripada salat Jumat di Masjid Raya Hubbul Wathan, Islamic Center Mataram yang sangat megah itu.
Hati saya memberontak. Selama warga Ahmadiyah masih tinggal di Transito, saya akan memilih salat bersama mereka. Keberpihakan dan kepedulian saya pada warga Ahmadiyah sangat nyata.
Derita bertahun-tahun warga Ahmadiyah di Transito diuraikan secara gamblang oleh Denny JA dalam puisinya, Kami Ikhlas Dikubur Hidup-Hidup.
Apa yang dituturkan Majdi, seorang wartawan yang meliput kondisi warga Ahmadiyah di Transito betul-betul menyentak hati kita. Ia melihat dan merasakan penderitaan yang sangat luar biasa, karena selama 16 tahun mereka ditelantarkan tanpa perlakuan manusiawi.
Berikut rintihan warga Ahmadiyah itu:
“Jika kami dianggap menodai agama, jebloskanlah kami ke dalam penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak- anak, lahir dan batin, ikhlas dipenjara.”
“Jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami di ruang penjara, maka galikanlah bagi kami, Bapak Walikota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda, maupun anak-anak, siap, dan ikhlas dikubur hidup-hidup.”
Ya, itulah kira-kira suara getir, sedih, dan pilu warga Ahmadiyah. Mereka diusir dan ditelantarkan di negerinya sendiri hanya karena perbedaan paham keagamaan.
Padahal mereka juga membaca syahadat, salat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan haji, sebagaimana warga muslim lainnya.
Meskipun demikian, warga Ahmadiyah memilih melawan kekerasan, pengusiran, diskriminasi, dan persekusi dengan cinta. Mereka mempunyai pedoman hidup, Love for All, Hatred for None. Lawanlah kebencian dengan cinta.
Mereka menerima secara tulus dan sabar tinggal di Transito. 16 tahun lamanya.
Maka dari itu, menurut saya, Transito menjadi semacam monumen Love for All, Hatred for None yang benar-benar nyata bagi warga Ahmadiyah.
Melawan kekerasan dengan cinta. Kesabaran, ketulusan, dan cinta tak bertepi yang dicontohkan warga Ahmadiyah telah membuka kesadaran publik yang lebih luas, termasuk kisah Majdi dalam puisi esai Denny JA, yang mungkin dulu antipati terhadap Ahmadiyah. Tapi setelah melihat langsung terhadap anak-anak Ahmadiyah, ia berubah seratus persen, terbuka hatinya untuk membelikan mereka kentuky fried chicken.
Saya kira, Denny JA dengan menulis puisi-puisi esai tentang kasus kekerasan, diskriminasi, persekusi, dan pengusiran Ahmadiyah di Transito dan beberapa daerah lainnya, ia laksana Majdi yang membuka kesadaran kolektif kita semua warga bangsa, lebih-lebih manusia, agar kita menebarkan cinta pada sesama, dan mengubur kebencian.
Love for All, hatred for none.
*Penulis adalah Putra Madura, lahir di Sumenep, 5 Februari 1977. Ia dikenal sebagai Cendekiawan Nahdlatul Ulama. Menulis banyak buku, artikel, dan kolom. Di antaranya, “al-Quran Kitab Toleransi”, “Pandangan Muslim Moderat”, “Mekkah”, “Madinah”, “Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari”, dan lain-lain. Aktif menjadi narasumber di berbagai forum nasional dan internasional. Saat ini, ia ditunjuk Presiden Jokowi sebagi Duta Besar RI untuk Tunisia).