telusur.co.id - Menanggapi wacana Peraturan Pemerintah (PP) soal Lockdown yang digaungkan Menko Polhukam RI, Mahfud MD pada video conferencenya di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat. Jumat, (27/3).
Menurut Ketua (Indonesia Voter Intiative for Democracy (IViD), Rikson Hatigoran Nababan, seharusnya guru besar hukum (Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P. -red) lebih paham dari sarjana hukum pinggiran seperti awak (Rikson -red).
“Lockdown, apapun tujuannya, secara langsung dan/atau tidak langsung, telah membatasi hak individu dan/atau kelompok. Terlebih seperti saat ini, hak yang dibatasi, bukan saja sekedar hak biasa, namun sampai pada HAM, seperti beribadah, berserikat berkumpul, dan seterusnya,” tutur pria yang menyelesaikan Magister Hukum-nya di Universitas Indonesia (UI). Jumat, (27/3/2020).
Oleh sebab itu, lanjut Rikson, karena sudah terjadi pembatasan hak, maka jawabannya bukan himbauan (seperti saat ini, tapi memaksa), atau Peraturan Pemerintah (PP), namun seharusnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
“Kenapa? Karena untuk membatasi hak, hanya dapat dilakukan melalui pengaturan setingkat UU (lihat konstitusi soal pembatasan hak, 28 huruf J). Loh bro, ada prasyarat untuk Perppu itu, seperti kegentingan,” imbuh Penggiat Demokrasi ini.
Lah, kalau soal kegentingan, lanjut Rikson, silahkan Presiden memerintahkan para pembantunya untuk merumuskan, apakah menurut mereka ini sudah genting atau masih belum.
“Jadi, menurut saya, itu guru besar sudah lupa waktu belajar Hukum Administrasi Negara (HAN), dan HAM,” tutup Rikson. (ari)