Oleh : Z. Saifudin
 
Mendukung sistem proporsional tertutup identik dengan berpikir tidak sehat. Menuju demokrasi yang sakit permanen. Melegalkan money politic. Memperjual belikan suara rakyat dalam kardus tertutup. Menolak proporsional tertutup adalah langkah waras dan berakal agar negara tetap sehat. Mari dukung proporsional terbuka. Suarakan proporsional terbuka.
 
​Polemik soal sistem pemilu kembali menjadi perdebatan publik. Pada objek dari sidang perkara No. 114/PUU-XX/2022 di MK menjadi sorotan berbagai pihak. Apalagi setelah pada tanggal 29 Desember 2022 Ketua KPU ikut memberikan statement ke publik. Pro dan kontra mulai muncul. Agenda pada sidang tanggal 20 Desember 2022 masih ditunda. Kembali dijadwalkan pada tanggal 17 Januari 2023. 

Hal ini disebabkan Presiden atau pemerintah dan DPR serta para pihak tidak hadir untuk memberikan keterangan. Fakta ini juga menjadi pemicu bola panas materi sidang di MK makin mendapat perhatian publik. Ada agenda tersembunyi seperti apa?. 

Mengapa sistem pemilu dengan proporsional terbuka dan tertutup masih dihembuskan ke publik?. Siapakah para pihak yang ingin mengambil keuntungan atas keadaan tersebut?. Apakah Ketua KPU berpotensi melanggar kode etik atas pernyataannya?. Ini adalah tugas kita bersama untuk terus mengawal fenomena kebangsaan dan bernegera tersebut.
 
UUD 1945 dan UU Pemilu
​Konstitusi merupakan dasar utama bagi proses penyelenggaran bernegara termasuk adanya pemilu. Pasca amandemen ke-3 konstitusi kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Konsep sovereignity belong to people adalah tentang rakyat. Tidak ada lagi sistem perwakilan. Tidak boleh diwakilkan oleh apa pun. Pemegang suara langsung oleh rakyat. Suara rakyat penentunya. Bukan diwakilkan. 

Konsep dan dogma ini juga berlaku bagi pilihan bernegara melalui sistem pemilu. Termasuk dalam memilih dan menentukan para wakil rakyat berupa caleg pada tingkat nasional berupa DPR (Pasal 19 ayat (1) UUD 1945) dan juga bagi DPRD (Pasal 18 ayat (3) UUD 1945). Parpol sebagai bagian sarana dan kendaraan politik saja. Tidak dapat mewakili suara rakyat secara kelembagaan.

​Dilematik dari pemaknaan redaksional “....sistem proporsional terbuka” (Pasal 168 (2) UU Pemilu) bagi caleg baik dari DPR dan DPRD (provinsi dan kabupaten / kota) menjadi objek dan bahan uji materi (judicial review) di MK. Tafsir dan pertimbangan dari MK kembali dipertanyakan. 

Sidang perkara No. 114/PUU-XX/2022 sekarang masih dalam proses di MK. Apalagi masih pada tahapan proses pemanggilan para pihak untuk diminta keterangannya. Dialektika dan perdebatan norma hukum masih akan terjadi. Paling menarik adalah ketika ada dissenting opinion antar para hakim MK. Arah pemikiran hakim MK dari celah itu akan dapat kita ketahui tentang pemahaman tentang sistem pemilu.
 
Putusan MK
​MK bukan saja sebagai the guardian of constitution. Akan tetapi, juga sebagai the guardian of democracy dalam mencapai tujuan bernegara. MK tidak berhak memberikan pilihan dan opsi dalam penentuan serta penggunaan sistem dalam pemilu. Pilihan sistem adalah kewenangan bagi positive legislator yaitu DPR. Bukan wilayah MK. Pada dasarnya, MK hanya memberikan arahan normatif saja. Bukan soal teknisnya tentang pilihan sistem pemilu.

Soal sistem pemilu ini, pada dasarnya MK telah memberikan rambu konstitualismenya pada putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 sebagai acuan saat pemilu tahun 2009. Jika ada pasal atau bagian dari pasal yang dibenturkan dengan batu uji dari UUD 1945 oleh para pemohon sama, maka MK tidak dapat membuat putusan baru. Putusan sebelumnya yang akan berlaku. Biasanya MK memberikan putusan yang bersifat open legal policy yang kebijakan teknisnya diserahkan pada legislatif sebagai pembuat UU.
 
Konstelasi politik
​Perbedaan pandangan antar Parpol mulai memanas saat ada wacana Perppu Pemilu. Pintu masuk disebabkan adanya provinsi baru di Papua menjadi dialektika awalnya. Materi lain ingin disisipkan. Termasuk nomor urut Parpol dalam pemilu. Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Pemilu resmi berlaku tertanggal 12 Desember 2022. 

Perppu ini khususnya akan dijadikan pedoman bagi KPU untuk membentuk KPUD dan aturan teknis lainnya pada wilayah pembentukan provinsi baru. Bagi Parpol tentunya juga akan menjadi tolak ukur agar memenangkan kontestasi di daerah baru tersebut.

Berkaitan dengan debat soal sistem pemilu, sementara ini hanya PDIP yang secara terbuka mendukung proporsional tertutup. Ada 8 Parpol lainnya masih ingin dengan sistem terbuka. Peta dan konstelasi politik antar Parpol tampaknya masih akan terus bergulir. 

Hal ini tentunya masih tetap akan menunggu hasil dari putusan MK. Jika MK memberikan perintah agar ada UU baru, tentunya perlu proses waktu lama. Apalagi tahapan pemilu sudah dimulai dari KPU. Ini tugas berat bagi anggota DPR.
 
Analisa dan Alternatif Solusi
​Sistem proporsional dalam pemilu baik terbuka dan tertutup pada hakikatnya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Sejak pilihan demokrasi Indonesia telah menetapkan pada sistem terbuka, maka wajib dan menjadi keniscayaan sistem terbuka adalah terbaik bagi hukum dan demokratisasi di Indonesia. Jika pada proses sistem terbuka masih terdapat kelemahan dan kekurangan bukan berarti lantas berpikir untuk mengganti sistem lain. Fakta ini adalah cara berpikir terbaik dan tidak solutif.

​Jika atas dasar adanya kelemahan dan kekurangan adanya sistem terbuka, maka idealnya kita pikirkan bersama agar lebih baik dan ada jalan terbaik untuk masalah tersebut. Dalam pandangan Penulis, sistem terbuka yang telah berjalan dan digunakan oleh Indonesia sekarang adalah pilihan terbaik. 

Ada komparasi sekitar 99% banyak kelebihan untuk kehidupan demokrasi dan bagi Parpol itu sendiri. Jika 1% merupakan masih ada kelemahan dan kekurangan, maka celah tersebut harus dicarikan solusinya. Jangan sampai berpikir terbalik. Jika kembali pada proporsional tertutup, maka akan ada 99% banyak kerugian bagi kehidupan demokratisasi Indonesia. Sebesar 1% saja bisa jadi ada kelebihan.

​Dalam pandangan Penulis, jika beranggapan bahwa 1% dari kekurangan atas sistem terbuka bahwa figur atau tokoh publik yang bermodal saja yang dapat terpilih disebabkan populer. Terkenal. Asalkan punya finansial dianggap dapat menang dalam pemilu. Kualitas tidak ada. Penting ada uang banyak. Lalu, jika pertanyaannya dibalik?. Apa jaminannya jika dengan proporsional tertutup tidak ada transaksi uang gelap?. Bukankah justru rawan dengan money politic?

Bisa dipastikan akan ada transaksional gelap dan deal politik antara calon legislatif dengan pengurus Parpol. Transaksi gelap tersebut tersembunyi dan minus adanya pengawasan. Perbuatan ilegal dan dianggap legal dan wajar dalam politik. 

Fakta ini justru akan memperburuk citra Parpol dikarenakan memberikan pendidikan politik yang tidak baik. Masyarakat justru atas nama Parpol tidak dapat terwakilkan suaranya pada tokoh yang dipilih. Rakyat hanya dijadikan alamat penggerus suara saja. Hasilnya berpotensi tipuan belaka. Pilihan tidak sesuai harapan. Selain itu masih banyak kerugian besar bagi bangsa ini jika dengan proporsional tertutup.

​Dalam kajian Penulis, selanjutnya adalah sistem terbuka patut dan wajib dipertahankan. Sistem terbuka akan memberikan ruang bagi Parpol agar tetap objektif dalam menentukan para caleg yang akan diusung. 

Sistem ini akan dapat memberikan ruang bagi Parpol memperoleh calon kader yang berkualitas. Parpol akan dapat terus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Hal terpenting adalah masyarakat atau voters tahu dan kenal caleg yang dipilih. Mereka akan tahu dan dapat mengukur atas pilihannya bisa ada harapan membawa kebaikan bagi wilayah dapil mereka. 

Masyarakat yang lebih tahu dan paham akan tokoh atau figur yang layak untuk menjadi caleg di daerahnya masing-masing. Bukan Parpol, akan tetapi masyarakat. Kerangka fundamental tersebut sebagai dasar bagian membangun demokrasi Indonesia sudah dapat dipastikan akan dapat membawa perubahan diawali dari daerah dan tentunya ke arah nasional.

​Dalam meminimalisir adanya celah kelemahan dari sistem terbuka, maka bagi KPU dapat tegas membentuk aturan teknis berupa PKPU agar proses seleksi baik administrasi dan profiling bagi caleg dapat dipublikasikan pada masyarakat. 

Dengan cara ini agar dapat terverifikasi kualitas caleg yang akan dipilih oleh masyarakat. Sudah tepat sebenarnya langkah KPU, mantan koruptor dilarang menjadi caleg. Cuma MK memberikan arahan tetap diperpolehkan dengan prasyarat tertentu. Syarat dari MK ini adalah tugas dari KPU untuk konsisten dipublikasikan agar masyarakat tahu. KPU juga berhak mencoret bakal caleg yang dinilai tidak layak dan melakukan pelanggaran berat.

Baik personal atau kelembagaan KPU, idealnya tidak banyak bicara yang bukan tupoksi kerjanya. Terkesan mendahului putusan MK. Nanti bisa berujung potensi adanya pelanggaran kode etik. KPU bekerja profesional saja. Apalagi jangan memberikan spekulasi dan asumsi seolah MK akan melegalkan proporsional tertutup. 

Padahal masih proses. Belum ada putusan. KPU bisa lebih fokus pada aturan teknis, tahapan dan alternatif kebijakan dalam menyambut pemilu serentak tahun 2024. Tidak terkesan masuk dalam pusaran politik yang bukan menjadi tugas dan wewenangnya.

​Pada sisi, pengawasan tentunya Bawaslu dan/atau pemantau lainnya agar obektif dalam melakukan pengawasan kepada para caleg. Khususnya mengantisipasi adanya serangan fajar berupa uang kepada masyarakat. Ini celah yang sulit terdeteksi. 

Merubah sebagian pola pikir masyarakat akan memilih yang akan memberikan uang adalah tidak tepat. Ini khususnya adalah tugas bersama semua pihak tidak hanya Bawaslu dan/atau pemantau lainnya. Pengawasan Bawaslu juga wajib disertai adanya aturan yang jelas dan tegas. Tindakannya juga harus tegas. Tidak tebang pilih.

​Bagi Parpol, sebagai pintu pertama dan utama akan adanya caleg idealnya lebih selektif pada para pendaftar bakal caleg yang akan mengggunakan partainya untuk maju sebagai caleg. Hindari transaski uang gelap dan transaksi deal politik atas nama uang. 

Parpol wajib objektif, rasional, jujur dalam memilih dan menentukan serta memberikan SK pada para caleg saat menggunakan partainya sebagai kendaran politik. Lakukan seleksi administrasi dan profiling agar diketahui integritas serta rekam jejak mereka. Dapat juga dilakukan fit and poper test bagi bakal caleg yang mendaftar. 

Hal itu dapat dilakukan dengan melibatkan para pihak sebagai tim seleksi. Baik dari akademisi, praktisi dan tokoh publik sebagai penentu 70% diterima atau tidaknya bakal caleg yang mendaftar. Sisanya 30 % kebijakan bagi Parpol. Persentase tersebut jangan dibalik.

​Bagi para pihak, tentunya semuanya sesuai kapasitas dan bidang masing-masing memiliki peran dan tugas untuk mengawal pemilu serentak tahun 2024 khususnya terhadap para bakal caleg yang akan maju agar berkualitas. Baik dari segi integritas dan intetektual keilmuannya. Walaupun sistem terbuka semua orang dapat menentukan pilihannya, akan tetapi juga wajib selektif. Tidak asal memilih.

Kita berharap MK tidak memberikan keputusan mundur, akan tetapi terus maju ke depannya agar sistem terbuka tetap digunakan. Agar masyarakat dapat memilih caleg terbaik bagi dapilnya dan tentunya kebaikan bagi pendidikan politik Indonesia.
 
*Penulis adalah Pengamat Muda Hukum Tata Negara, Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners, dan sering disapa akrab Mas Say.