Telusur.co.idOleh : Ahmad Gaus AF
 
Pemikiran Denny JA soal agama terbentang dari soal filsafat hidup, kebebasan sipil, demokrasi di dunia Muslim, evolusi kepercayaan homo sapiens, puisi-puisi Jalaluddin Rumi, hingga lahirnya spiritualitas baru abad 21. 
 
Sebagian pemikirannya didasarkan pada hasil riset kuantitatif lembaga-lembaga bereputasi internasional, yang ditelusurinya dengan bantuan Google. Juga dari riset arkeologi, psikologi kebahagiaan, pembangunan manusia, hingga neuroscience. Sebagian lagi hasil riset dan penjelajahannya sendiri.
 
Kedua metode itu bertemu pada simpul yang sama, bahwa agama yang selama ini diyakini sebagai telah selesai pada dirinya sendiri ternyata malah  menyimpan kontradiksi. 

Ia bisa dipeluk dan diyakini secara membabi buta. Atau, ia bisa pula ditinggalkan sama sekali karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan sains. 
 
Agama tidak terlepas dari hukum besi perubahan. Kalau ia ingin tetap hidup maka ia harus menyesuaikan diri dengan arus perubahan yang sedang berlangsung. 

Agama yang diposisikan sebagai kebenaran mutlak hanya menampilkan wajah otoriter yang tidak cocok dengan trend kebebasan dan demokrasi yang semakin mendapat tempat di era sekarang.
 
Denny menawarkan jalan tengah. Daripada agama dipahami sebagai kebenaran mutlak yang akhirnya ditinggalkan oleh para pemeluknya yang "tercerahkan", atau berbenturan dengan klaim kebenaran mutlak agama lain, lebih baik melakukan transformasi pemahaman: Dari kebenaran mutlak menjadi warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia. 
 
Saya kira inilah pemikiran terpenting dari Denny JA yang akan memberi kontribusi pada peradaban masa depan. 

Kita tahu bahwa, paham agama sebagai kebenaran mutlak telah memberi sumbangan signifikan bagi perpecahan umat manusia. 

Sebab paham seperti itu secara alamiah menimbulkan rasa permusuhan dan bahkan kebencian kepada agama-agama yang berbeda. Permusuhan dan kebencian bisa ditransformasikan ke dalam tindakan kekerasan, diskriminasi, persekusi, dan aksi-aksi sejenis yang merusak tatanan masyarakat beradab.
 
Pemutlakan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Sebab yang mutlak hanya Yang Maha Mutlak. Paham manusia, termasuk pahamnya tentang Tuhan dan agama, hanya nisbi belaka. 

Paham ialah hasil penafsiran. Dan dalam agama, tidak ada tafsir tunggal setelah Nabi wafat. Yang tersisa ialah multi penafsiran, di mana satu sama lain saling berebut tafsir. 

Di ruang publik yang bebas hal semacam itu sah-sah saja. Justru ruang publik penting sekali diisi oleh kelompok progresif agar tafsir mereka menjadi arus utama dalam isu-isu krusial saat ini seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan diskriminasi LGBT. 

Perebutan tafsir itu sudah dilakukan oleh kalangan progresif di Amerika dan Eropa.
 
Dari sudut pandang ini, pemikiran jalan tengah Denny JA dapat diklaim menyelamatkan agama dari tafsir  yang penuh murka menjadi lebih humanis. 

Tapi berbeda dengan kaum sekularis dan ateis, Denny tidak menolak agama. Alih-alih, ia menyelami samudera agama dan mengambil mutiara yang tersimpan di dalamnya. 

Ia belajar dan mengambil banyak dari renungan-renungan ulama-penyair-sufi Jalaluddin Rumi yang memandang hati sebagai rumah Tuhan, dan diri sebagai miniatur semesta. Lahir kesadaran mengenai rasa menyatu (oneness) dengan keseluruhan. 
 
Berbeda dengan spiritualitas gerakan New Age, yang skeptis terhadap sains dan agama, Denny justru mengembangkan jenis spiritualitas yang didasarkan pada riset sains. Itulah yang disebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 yang sepenuhnya narasi ilmu pengetahuan. 

Denny mengambil intisari agama yang bersifat universal tanpa mereduksi keunikan setiap agama, apalagi mencampakkannya.
 
Agama tumbuh dalam budaya yang berbeda-beda di setiap negara, dan berdasarkan itu muncul tafsir yang sesuai dengan kebutuhan kontekstual. 

Berdasarkan itu Denny menyerukan agar umat Islam Indonesia, misalnya, mengembangkan tafsir mereka sendiri yang sesuai kebutuhan. Sebagaimana umat Islam di Eropa yang mengembangkan tafsir mereka sendiri. 
 
Singkatnya, pemikiran keagamaan Denny JA dapat diringkaskan dalam sembilan butir sebagai berikut : 
 
1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal  peran agama  di masyarakat.
 
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
 
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
 
4. Islam Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa.  Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
 
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada Laligo (kitab suci) yang dinikmati manusia masa kini sebagai sastra dapat juga terjadi pada agama lain.
 
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
 
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
 
8. LGBT itu isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
 
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
 
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai yang telah saya paparkan dalam buku ini. 

Saya tidak mengklaim bahwa sembilan butir itu mewakili seluruh pemikiran Denny JA yang tersebat dalam ratusan karyanya.

Sejak awal buku ini hanya diniatkan untuk menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang terpenting, yang terkait dengan agama dan spiritualitas. Dan itu pun, belum tentu saya berhasil melakukannya.

*Tulisan ini adalah epilog bagian dari buku: Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di  Era Google, karangan Ahmad Gaus AF, yang segera terbit, 2023.