Telusur.co.idOleh : Denny JA

Akan datang satu masa. Itulah hari ketika umat islam di seluruh dunia memiliki kalender global hijriah yang sama. 

Sejak tahun itu, muslim di Arab Saudi, di Amerika Serikat, di Indonesia dan di berbagai pelosok dunia merayakan Idul Fitri sebagai selebrasi global di tanggal dan hari yang sama, sebagimana umat Nasrani merayakan Natal.

Katakanlah, berbulan-bulan sebelumnya, umat Islam sudah tahu, di seluruh dunia Idul Fitri di tahun itu akan jatuh, misalnya, di tanggal 3 Mei, di hari rabu.  

Maka umat Islam di Indonesia merayakan Idul Fitri di waktu Indonesia tanggal 3 Mei hari rabu. Umat Islam di Arab Saudi juga merayakan Idul Fitri di waktu Arab Saudi kala menunjukkan tanggal 3 Mei juga di hari rabu.

Muslim dan muslimah di seluruh dunia bersama merayakan hari kemenangan, bertakbir bersama, silahturahmi, saling kunjung, social gathering, pada momen hari dan tanggal yang sama.

Imajinasi itu lahir begitu saja setelah mengalami berkali- kali dua versi lebaran dalam dua hari yang berbeda.

Di tahun 2023, ketika berbuka puasa di hari ke 29, kita tahu Muhammadiyah sudah memutuskan hari raya Idul Fitri esok hari (Jumat, 21 April 2023). 

Sementara yang lain, di hari buka puasa ke 29 itu, masih belum pasti, apakah kementrian agama melalui sidang isbat akan juga memutuskan hari Raya di hari yang sama, jumat 21 April 2023, ataukah Sabtu 22 April 2023?

Akhirnya selesai magrib diketahui kementrian agama Indonesia memutuskan melalui sidang isbat, hari raya Idul Fitri berbeda dengan versi Muhammadiyah. Sidang Isbat memutuskan hari raya Idul Fitri 2023 jatuh di hari Sabtu 22 April 2023.

Perasaan saya bercampur-campur setiap kali menyaksikan perayaan hari raya Idul Fitri di Indonesia dalam dua versi, dalam dua hari yang berbeda. 

Satu sisi, ada rasa bangga melihat luasnya toleransi atas perbedaan melaksanakan hari raya. Sisi lain ada rasa prihatin.  

Dunia Islam sudah berusia 1500 tahun. Apa iya di era global dan manusia sudah menciptakan artificial intelligence seperti sekarang, tapi dunia muslim ini belum berhasil menciptakan sistem kalender global bersama agar bisa merayakan Idul Fitri di tanggal dan hari yang sama?

Terenyuh saya mendengar kabar satu keluarga di pamekasan, Jawa Timur. Akbar merayakan Idul Fitri hari ini karena ia warga Muhammadiyah. Tapi ia tak bisa sepenuhnya gembira bersama keluarga dan anak dan orang tuanya. 

Itu karena istrinya Akbar warga NU tulen. Ia tak merayakan Idul Fitri bersamanya. Istrinya ikut hari raya versi NU (dan pemerintah) di esok harinya. 

Hari itu Akbar juga tak bisa silahturahmi lebaran ke Ayah kandungnya, karena Ayahnya juga warga NU.

Akbar dan istri dan Ayahnya memang berlapang dada menerima perbedaan itu. Bukankah berbeda hari untuk lebaran sudah terjadi beberapa kali.

Tapi pasti pula menyelinap di lubuk hati. Kebahagiaan mereka akan lebih total jika bisa merayakan hari lebaran bersama satu keluarga: ayah, ibu, suami, istri, anak dan tetangga.

Yang mengalami situasi seperti Akbar ini banyak sekali di Indonesia.

Hal yang sama terjadi pada dunia muslim di seluruh kawasan. Muslim di Arab Saudi dan Amerika Serikat merayakan Idul Fitri di hari Jumat 21 April 2023. Tapi Muslim di Malaysia dan Australia merayakan Idul Fitri di hari sabtu, tanggal 22 April 2023.

Kita bangga melihat luasnya toleransi atas perbedaan itu. Tapi sekaligus juga prihatin atas perbedaan waktu tersebut.

Perlukah dan mungkinkah suatu hari kelak umat Islam di seluruh dunia mengembangkan kalender hijriah global, sehingga jauh lebih cepat mengetahui, dan bisa bersama di tanggal dan hari yang sama merayakan Idul Fitri?

Jawaban sederhananya sebagai berikut. Secara keilmuan di era sekarang sangat mudah membuat kalender bersama secara global bagi seluruh umat Islam di muka bumi.

Sangat mudah sekali untuk mengetahui kapan hilal di muka bumi ini muncul sebagai syarat datangnya 1 syawal, hari raya Idul Fitri.

Bukankah jadwal sholat di seluruh dunia juga bisa dan sudah disusun dengan mudahnya? Kapan jadwal sholat di Arab, di Cina dan di Indonesia bisa ditentukan hingga angka jam, menit dan detik, untuk bulan depan misalnya.

Bukankah jadwal sholat jumat di seluruh dunia, kawasan muslim bisa bersepakat menyelenggarakannya di hari yang sama, hari jumat waktu setempat?

Ilmu pengetahuan sudah sampai di tahap itu. Bahkan kapan akan terjadi gerhana matahari 50 tahun mendatang, ilmu pengetahuan bisa menghitungnya dengan presisi yang tinggi. Dapat diketahui pula di daerah mana gerhana matahari 50 tahun mendatang bisa dilihat.

Cukup kita ketik saja di Google. Kurang dari satu menit, Google memberi tahu. Bahwa gerhana total matahari di tahun 2073, lima puluh tahun dari sekarang, akan terjadi di tanggal 21-22 Febuari. Lengkap pula dituliskan di negara mana total gerhana matahari itu bisa dilihat.

Soal belum adanya kalender global hijriah disebabkan bukan di level ilmu pengetahuan. Tapi itu ada  di level pilihan interpretasi aturan, dan di level ego nasionalisme, atau ego organisasi kemasyarakatan.

Padahal semua perbedaan itu berangkat dari aturan yang sama, hadis Nabi Muhammad:

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal.
Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)
menjadi 30 hari".

Masalahnya bagaimana cara melihat hilal itu? Haruskah dengan mata telanjang? Atau bisa dibantu oleh teknologi supercanggih seperti teleskop dan satelit?

Dengan datangnya ilmu pemgetahuan, yang di era hidup Nabi ilmu itu belum ada, bolehkah hilal itu dihitung secara kalkulasi matematis dan astronomis saja?  Bukankah secara keilmuan gerak benda alam raya hingga 50 tahun ke depan sudah bisa diketahui?

Bisakah diterapkan apa yang disebut dengan transfer imkan rukyat? keterlihatan atau kemungkinan terlihat hilal di suatu tempat di muka bumi diberlakukan (ditransfer) ke seluruh dunia?

Bisakah bumi secara keseluruhan dilihat sebagai satu kesatuan matlak (zona waktu saja)?

Bumi sebagai satu matlak, sehingga apabila di suatu tempat di mana pun di muka bumi telah terjadi imkan rukyat, sudah terlihat hilal, maka itu dipandang berlaku bagi seluruh kawasan muka bumi?

Upaya merumuskan kalender global bersama umat Islam sudah diserukan sejak puluhan tahun lalu. Di tahun 1958, seorang ahli hadis sangat terkemuka dari Mesir bernama Ahmad Muhammad Syäkir sudah menyatakannya. Ia hidup di tahun 1866-1939 M.

Menurut Syakir, memiliki kalender global bersama bagi umat Islam di seluruh dunia adalah keharusan. Bukan saja kalender itu berguna secara sosial tapi juga memiliki implikasi hukum Islam sendiri. 

Antara lain, kalender itu bisa menentukan secara global agar awal dan akhir ramadan di seluruh dunia jatuh di tanggal dan hari yang sama. Tidak seperti sekarang yang jatuhnya hari Idul Fitri di hari yang berbeda.

Pandangan ini juga bersandar pada hadis Nabi:

"Puasa itu adalah pada hari [semua] kamu berpuasa, dan idulfitri itu adalah pada hari [semua] kamu beridulfitri, dan iduladha itu adalah pada hari [semua] kamu beriduladha".

Hadis ini mengandaikan ada satu waktu ibadah yang sama untuk seluruh dunia. Namun waktu yang sama hanya bisa dirumuskan jika umat islam memiliki kalender hijriah global yang juga sama.

Berbagai pertemuan internasional sudah dilakukan untuk menyusun kalender global hijriah umat Islam. Beberapa pertemuan penting bisa dicatat.

Tahun 2016, Badan Urusan Agama Republik Turki menyelenggarakan Seminar Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah.

Sudah ada pertemuan di tingkat menteri negara yang mayoritasnya muslim dalam rangka kalender global bersama. Juga pertemuan ahli falak dunia muslim beberapa kali dibuat untuk keperluan tersebut.

Kalender  global bersama umat Islam dunia hanya mungkin terjadi jika disepakatinya lima  prinsip
Ini. (1)

Pertama, diubahnya prinsip rukyat lokal menjadi rukyat global (Transfer Imkan Rukyat). 

Rukyat adalah melihat hilal atau bulan baru di ufuk, dengan menggunakan mata kepala secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong.

Selama ini, di dunia muslim hanya berlaku rukat teritori, misalnya per negara saja. Dengan sendiri, dengan metode rukyat lokal, tak akan pernah terjadi kesamaan waktu idul fitri. Rukyat di Indonesia pasti berbeda dengan rukyat di Arab Saudi, misalnya.

Karena dunia sudah menjadi satu, maka perlu diterapkan bersama rukyat global. Artinya, rukyat yang terjadi di satu tempat, ditransfer juga menjadi rukyat di tempat lain.

Kedua, kesatuan matlak bagi seluruh dunia.  

Matlak itu istilah (terminologi) bagi permulaan terbitnya hilal (bulan sabit) untuk menentukan awal Ramadhan. Ia juga digunakan  sebagai tanda berakhirnya pelaksanaan ibadah tersebut.

Apabila di suatu tempat di mana pun di muka bumi telah terjadi imkan rukyat, hilal sudah terlihat, maka itu dipandang berlaku bagi seluruh kawasan di muka bumi.

Ketiga, karena yang akan dicari bukan lagi waktu lokal per negara, tapi waktu global, maka melihat hilal diubah dari melihat dengan mata telanjang menuju melihat dengan perhitungan matematika dan astronomi.

Zaman sudah berubah. Karena sudah sangat maju, ilmu pengetahuan lebih bisa melihat dan memprediksi pergerakan benda langit ketimbang mata telanjang.

Ini yang disebut hisab. Itu perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.

Keempat,  dunia muslim juga perlu menerima apa yang disebut Garis Tanggal Internasional. 

Garis Tanggal Internasional memang hanya garis imajiner buatan manusia. Ia sama sama sekali tidak berlandaskan benda-benda langit ataupun rotasi bumi. 

Tapi Garis imajiner itu diperlukan untuk pembentukan awal sebuah hari. Ia juga berperan besar menyatukan seluruh dunia pada satu tanggal dari kalender Gregorian. 

Kalender Gregorian itu juga menjadi dasar dari kalender masehi yang luas dipakai di dunia, termasuk di Indonesia.

Kelima, empat prinsip di atas adalah prinsip keilmuan untuk membentuk kalender hijriah global. Namun empat prinsip itu berhenti di atas kertas saja. 

Agar prinsip itu berlaku, ia perlu disetujui dan dipraktekan serentak di beberapa negara mayoritas Muslim yang penting.

Misalnya, organisasi muslim besar dunia di Arab Saudi, Iran, Mesir, Indonesia, Malaysia, Tunisia, menyetujui dan langsung menerapkannya  bagi komunitas di negara masing- masing.

Secara perlahan, komunitas muslim di seluruh dunia akan mengikuti.

Terciptanya kalender global hijriah akan menjadi perkembangan penting dunia muslim. Selama 15 abad berdiri, umat Islam saatnya memiliki kalender hijriah global yang sama.

Dunia sudah menjadi global. Tak hanya diperlukan cara berpikir global, tapi juga waktu global yang sama.

Saat itu, kita tak lagi terenyuh melihat keluarga seperti keluarga Akbar di Jawa Timur. 

Di era kalender global hijriah itu nanti, siapapun, dengan kekasihnya, suaminya, istrinya, orang tuanya, anaknya, tak lagi merayakan Idul Fitri di hari yang berbeda. 

CATATAN

1. Prinsip Kalender Hijriah Global

https://pusattarjih.uad.ac.id/prinsip-prinsip-kalender-islam-global-menurut-prof-syamsul-anwar/

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, dan Penulis Buku.