Oleh : Z. Saifudin
Perppu Cipta Kerja adalah tamparan Presiden terhadap MK. Menampar sekaligus bersikap otoriter. Menampar sekaligus bersifat anti kritik. Presiden idealnya patuh pada MK. Bukan justru mengajak perang terbuka pada lembaga negara terhormat seperti MK.
Perppu Cipta Kerja dimaknai subjektif. Asal suka saja. Tidak mau konfrontasi dengan nalar publik. Itulah otoriter yang dihaluskan dan dipaksakan. Itulah tanda Presiden telah menginjak dengan kejam dan sadis harga diri hukum Indonesia. Sengaja menjatuhkan marwah MK. Meremehkan konstitusi negara.
UU Cipta Kerja (No. 11 Tahun 2020) resmi disahkan pada tanggal 2 November 2020. Dengan metode penyusunan UU berupa omnibus law saat itu menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sejak awal dan baru kali ini digunakan oleh Indonesia dalam penyusunan sebuah UU. Mayoritas banyak yang memberikan kritikan baik atas dasar metode maupun substansi norma hukum yang ada dalam UU tersebut.
Dengan metode omnibus law, ada sekitar 79 UU dikodifikasi menjadi 1 produk RUU. Ada sekitar 1200 an pasal. Ada revisi dalam UU yang pernah ada. Ada penambahan dan penghapusan. Bahkan ada norma hukum baru yang tercantum dalam RUU tersebut. Secara umum ada 11 point atau klaster atau pengelompokan dari bidang tertentu.
Sejumlah gugatan uji materi di MK dilakukan berbagai kalangan. Pada akhirnya MK pada tanggal 25 November 2021 memberikan keputusan yang bersifat “inkonstitusional bersyarat”. Pembuat UU dianggap melakukan kesalahan berupa cacat formal. Tidak mengikuti kaidah siklus prolegnas. Tidak mendengarkan aspirasi publik. UU dibuat terlalu cepat. Tanpa prosedur yang jelas. MK memberikan jeda waktu maksimal 2 tahun sejak putusan agar ada perbaikan sesuai arahan dari sifat putusan MK tersebut.
Sedikit flash back tentang putusan MK yang telah memberikan pertimbangan dan putusan terkait uji materi atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ada 4 hakim MK yang bersikap dissenting opinion yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Perdebatan tersebut menunjukan adanya dialektika akademis dalam memaknai UU Cipta Kerja. Ada ruang perbedaan pandangan.
Jika dicermati sudut pandang para hakim MK adanya perdebatan negara hukum atau tidak dalam hal positivistik atau progresif. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 setebal 448 halaman telah menguraikan sejumlah perdebatan norma hukum. Cara pandang dan perspektif hakim MK masing-masing juga dapat dicermati. Termasuk arah dan tujuannya. Pun juga perspektif berpikir para hakim MK.
Tanpa ada wacana dan tiba-tiba pemerintah melalui Presiden mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. Perppu dianggap secara otomatis membatalkan putusan MK. Apakah Perppu ini akan mendapat persetujuan dari DPR?. Mengingat koalisi Parpol pemerintah masih mayoritas?. Apakah saat sidang paripurna DPR tertanggal 10 Januari 2023 akan ketuk palu memberikan kesepatakan?. Kita tunggu bersama.
Pemaknaan Perppu
Posisi dan letak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam jenjang hierarki sejajar dengan UU. Kekuatan hukum dari jenjang hierarki sebuah aturan dapat ditelaah dalam Pasal 7 ayat (1) dari UU No. 12 tahun 2011 jo UU No. 15 tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (UU tentang PPP). Pemaknaan redaksional “....kegentingan yang memaksa....” (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) memang merupakan Hak Prerogatif dari Presiden.
Sifat Prerogatif bukan berarti atas dasar tolak ukur subjektif. Bukan berarti bersifat individual personal dari Presiden. Atas dasar dari jabatan Presiden sebenarnya sudah menghilangkan subjektivitas sebagai tolak ukur dalam mengeluarkan Perppu. Kepentingan umum wajib menjadi skala prioritas.
Selain dasar konstitusi, MK sendiri melalui putusan MK No.138/PUU-VII/2009 telah memberikan 3 (tiga) indikator Perppu dapat dikeluarkan. Hal ini atas dasar adanya pertama kali Perppu menjadi objek di MK pasca adanya Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang KPK.
Substansi pentingnya adalah adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak, adanya kekosongan hukum dan jika berpotensi besar atas kekosongan hukum tersebut dengan proses legislasi normal perlu waktu lama. Ketiga tolak ukur ini menurut pandangan Penulis berlaku komulatif. Bukan alternatif diambail 1 (satu) varian saja. Nanti justru akan berpotensi adanya pemaknaan subjektif dari Presiden.
Memaknai dan membaca konstitusi tentunya dengan objektif, bijak dan rasional. Tidak boleh asal memberikan tafsir tanpa adanya basis argumentasi hukum yang kuat. Grand design sebagai tolak ukurnya harus berdasarkan kepentingan umum.
Pemaknaan Perppu atas dasar “noodberordeningsrecht” dari Presiden untuk kepentingan rakyat. Kepentingan bangsa dan negara. Bukan atas dasar kepentingan pragmatis dan oportunis saja. Apalagi untuk kepentingan pribadi/dan atau golongan. Apalagi jika ada indikasi pesanan tertentu. Jika kita cermati, Presiden mengeluarkan Perppu ini salah satunya atas dasar dampak perang Rusia-Ukraina sangat tidak tepat. Terlalu dibuat agar terlihat objektif saja.
Putusan MK
Menarik bagi Penulis untuk dicermati dan telah menjadi perdebatan publik adalah dalam amar putusan MK atas UU Cipta Kerja atas pokok perkara permohonan (hal. 416-417). Pada point ke-3 ini paling penting berbunyi “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Fakta hukum ini sangat jelas. Akan tetapi, anehnya dengan adanya Perppu No. 2 Tahun 2022 dianggap menggugurkan dan bahkan membatalkan adanya putusan MK tersebut. Inilah kekacauan jalan berpikir atas alasan Perppu tersebut dikeluarkan.
Pada redaksional inilah sifat dan sikap dari MK menilai UU Cipta Kerja. Penegasan jeda waktu hanya 2 tahun dan jika melebihi akan inkonstitusional dengan sendirinya (point ke-5 dan 6). MK juga memberikan warning keras aturan turunan (PP dan Perpres) jika dilihat dari atribusi dari UU Cipta Kerja tidak boleh dikeluarkan lagi (point ke-7). Sampai saat ini, ada 45 PP dan 4 Perpres. Bahkan dapat dimaknai revisi pun tidak boleh. Revisi adalah dapat dimaknai membuat aturan baru.
Dalam putusan MK tersebut bisa dikatakan MK mengambil jalan tengah. Tidak mengabulkan seluruhnya atau dengan tegas juga tidak menolak permohonan. Jalan tengah yang dilakukan oleh MK yaitu dengan memberikan putusan yang bersifat “Inkonstitusional Bersyarat”.
Hal itu juga masih debatable. Paling tidak, sikap MK ini tidak banyak membuka celah open legal policy saja untuk diserahkan memaknai pada lembaga legislaif. Melainkan penegasan ada cacat formil terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Konsep “Inkonstitusional Bersyarat” merupakan bagian dari sejumlah sifat putusan MK yang telah dikeluarkan selama ini. Selain itu ada juga sifat “Konstitusional Bersyarat”. Bisa jadi ini adalah pilihan terbaik dari alternatif tidak baik yang ada. Bisa juga sebagai solusi atas jalan kebuntuan. UU Cipta Kerja diberikan ruang dengan jaminan “bersyarat”.
Selama 2 tahun jika pemerintah dan DPR tidak dapat melakukan revisi, maka dengan sendirinya dan secara otomatis UU Cipta Kerja akan “Inkonstitusional”. Otomatis tidak berlaku lagi. UU sebelumnya akan berlaku kembali. Prasyarat inilah merupakan win-win solution dari putusan MK. Sekali lagi, anehnya jalan pikir Presiden sangat bertolak belakang dengan adanya Perppu No. 2 Tahun 2022. Padahal waktu masih ada.
Sikap Presiden
Sikap dan sifat Presiden ini membuat gempar publik. Dianggap berpotensi melakukan perbuatan tercela dengan menentang dan tidak patuh pada putusan MK. Pihak pemerintah dari tindakan Presiden tidak mau ambil pusing. Ingin jalan pintas saja dengan menerabas dan memotong sebuah aturan hukum.
Bisa jadi atas dasar norma hukum dari redaksional sebagai prasyarat adanya impeachment atau pemakzulan dari “....perbuatan tercela....” (Pasal 7A UUD 1945) dapat dijalankan. Jika dijalankan sebenarnya, tidak menjadi persoalan. Biar menjadi warning saja agar Presiden lebih bijak dalam mengeluarkan kebijakan.
Walaupun mengingat proses ini sangat kecil kemungkinan terjadi. Pemberi nilai dan izin pertama atas pemaknaan perbuatan tercela adalah dengan adanya minimal 2/3 anggota DPR yang setuju dan hadir dalam sidang (Pasal 7B ayat (3) UUD 1945). Untuk diteruskan di MK guna ditindak lanjuti untuk dilakukan pemeriksaan. Hasil akhir jika ada dugaan tersebut, baru MPR menggelar sidang guna menjatuhkan sanksi pada Presiden.
Celah pintu pertama adalah melalui DPR. Jelas sangat tidak mungkin bakal memberikan persetujuan. Mengingat, peta koalisi Parpol mayoritas ada di tangan pemerintah. Kita berharap Presiden memberikan pernyataan resmi kepada publik agar sedikit mendapat pencerahan. Paling tidak bisa meminimalisir adanya perdebatan publik.
Analisa dan Alternatif Solusi
Pemaknaan dari sifat “inkonstitusional bersyarat” dengan jelas memberikan arahan agar ada UU baru. Diawali RUU dengan melibatkan keterlibatan publik. Bukan Perppu. UU baru yang diperlukan soalnya ada cacat formil atas UU Cipta Kerja. Langkah mengeluarkan Perppu adalah tidak tepat. Tidak taat putusan MK. Belum lagi persoalan norma hukum yang ada dalam tiap pasal-pasal yang ada. Idealnya dapat dikritisi bersama. Agar dampaknya tidak banyak membawa kerugian bagi masyarakat.
Presiden kurang peka atas kekuatan politik yang dimiliki. Padahal ada mayoritas di DPR. Kalau pun dengan adanya RUU pasti akan mendapatkan persetujuan dari DPR. Dengan diawali RUU ini akan tampak lebih elegan dan masih patuh pada putusan MK. Terlepas berbagai isi pasalnya itu persoalan lain. Perppu yang telah dikeluarkan ini merupakan tindakan kejam dan banyak kerugiannya. Dampak terhadap rusaknya hukum akan mendarah daging dalam sejarah ketatangaraan Indonesia.
Dalam sistem check and balances baik dalam pengambilan kebijakan dari eksekutif dan legislatif, khususnya dari pihak Presiden dalam mengeluarkan Perppu juga berlaku “objektive wording”. Pengawasan dan menilai subjektivitas dari Presiden perlu diuji lagi oleh DPR.
Ini memang proses politik. Sangat sulit mengukur tolak ukur yang akan digunakan oleh DPR itu nantinya. Konstitusi juga telah memberikan arahan atas hasil pengawasan dan penilaian DPR jika dianggap Perppu tidak layak, Perppu juga dapat dicabut dan tidak berlaku (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945).
Kita berharap walaupun itu sangat kecil DPR menolak Perppu tersebut. Andaikata, DPR memberikan persetujuan langkah terakhir hanya ada di MK. Khusus objek berupa Perppu ini masuk dalam wilayah MK sejak 2009 dan MK dapat memberikan tafsir. Bahkan membatalkannya. MK dalam menyikapi ini harus berani mengambil sikap menolak. Itu juga akan linear dengan sifat dan putusan MK yang telah dikeluarkan.
Jika sampai Perppu tersebut diterima dan tidak dibatalkan semua, ini sungguh aneh. MK dapat dikatakan tidak konsisten terhadap putusan MK sebelumnya. Hakim MK perlu keberanian soal ini. MK secara kelembagaan dan hakim MK tidak boleh diintervensi. Harus lepas dari segala teknan dari pihak man pun. Mari kita kawal dan awasi bersama.
*Penulis adalah Pengamat Muda Hukum Tata Negara, Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners, dan sering disapa akrab Mas Say.