Telusur.co.idOleh : Ita Fatia Nadia 

Puisi Esai Denny JA ini adalah recalling memori suara perempuan korban kekerasan untuk menciptakan kesadaran kolektif.

“Segerombolan pemuda menyeramkan. Mereka membawa pentungan. Ada yang bawa golok. Sejak di jalan mereka sudah teriak: “Hei, Cina. Keluar kalian. Kalian jadi kaya. Kami miskin.” 

“Duaaaaarr” Gerbang berhasil mereka dobrak. Li Wei ketakutan. Ia segera matikan lampu. Ia tutup gorden. Itu masih sore hari menjelang magrib. Tapi justru aksi Li Wei ini terlihat. 

Mereka meyakini rumah ini ada penghuninya. Pintu masuk pun didobrak. Mereka masuk ke ruangan. Li Wei sembunyi di bawah kolong ranjang. Tapi mereka berhasil menemukannya. “Jangan, jangan,” ujar Li Wei. Aku punya uang. Ambil saja uangku. Ambil saja barang-barang.” 

Mereka tertawa. Golok pun di dilengketkan ke leher Li Wei. “Jika melawan, aku gorok lehermu. Aku cungkil matamu.” Li Wei seketika lemas. Ia seolah hilang ingatan. Yang ia ingat, rasa sakit. Bergantian lima lelaki itu memperkosanya. 

Li Wei hanya bisa menangis. Setelah puas memperkosa, rombongan itu pergi. Ada yang membawa TV. Ada yang mengambil komputer. 

Semalaman Li Wei menangis. Awalnya ia terpikir bunuh diri. Pisau tajam itu sudah ia dekatkan dengan nadi tangan.” (Denny JA, “Jeritan Setelah Kebebasan,” hal. 29-30)

Nukilan cerita di atas adalah puisi esai yang ditulis oleh Denny JA dalam bukunya “Jeritan Setelah Kebebasan: Drama Koflik Primordial Setelah Reformasi di Lima Wilayah dalam 25 Puisi Esai.” 

Puisi esai tersebut menceritakan seorang perempuan Tionghoa yang diperkosa ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, yang mengiringi mundurnya Suharto sebagai Presiden RI.

Puisi esai ini adalah recalling memory suara perempuan korban kekerasan, yang mempunyai arti transformatif dari pengalaman pribadi untuk menciptakan kesadaran kolektif dan ruang bersama yang berpegang pada hati nurani dan kejujuran.

Pemerkosaan Mei 1998: Alat Teror untuk Penundukan dan Meredam Gejolak Politik
Perkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998 bukanlah bentuk pemerkosaan yang selama ini dipahami masyarakat, didorong oleh nafsu dan bertujuan memuaskan libido. 

Pola pemerkosaan seperti ini jauh lebih mengerikan dibanding pola pemerkosaan pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari metode dan alat yang digunakan tidak lazim untuk merusak vagina korban. 

Biasanya pelaku bergerak dalam kelompok dan melakukan perkosaan disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan.

Tindakan seperti itu biasa dilakukan sebagai bentuk teror. Teror yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai alat politik untuk menundukkan lawan baik individu maupun komunitas. 

Perilaku teror yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan ini adalah perilaku dari pandangan misoginis dan patriarkis maskulin, yang menempatkan perempuan sebagai milik dari laki-laki dan penggunaan kekerasan sebagai alat untuk menjawab konflik.

Mengapa tubuh perempuan? Karena tubuh perempuan dalam sistem budaya patriarki adalah “simbol” dari reproduksi sosial dan budaya, “milik” komunitas, etnik dan keluarga, sebagai penanda kehormatan dan martabat suatu komunitas. Sehingga, nilai dan martabat suatu kelompok ditentukan oleh kepemilikan dan penguasaannya terhadap tubuh perempuan itu. 

Oleh sebab itu serangan terhadap perempuan tidak semata-mata ditujukan untuk melukai dan menghancurkan perempuan. Tetapi dirancang untuk menyerang kehormatan dan martabat kelompok lawan, yang akan menentukan reaksi balik dari kelompok yang diserang.

Inilah lingkaran kekerasan berbasis gender, yang menjelaskan bagaimana tubuh perempuan dijadikan “alat” dalam konflik. Dan memberikan keabsahan untuk balas dendam, yang akan menjadikan perempuan kembali sebagai sasaran kekerasan dalam setiap konflik. 

Dapat dikatakan bahwa, kekerasan terhadap perempuan di dalam situasi konflik, bukan sebagai dampak, tetapi merupakan kekerasan sistemik berdimensi gender.

Penuturan kembali pengalaman perempuan adalah upaya membangun ingatan kolektif perempuan penyintas kekerasan oleh negara. Juga upaya untuk menyingkap struktur ketidakadilan dan kekuasaan politik yang menggunakan kekerasan, dan telah menyebabkan jatuhnya korban. 

Pengalaman kekerasan para perempuan penyintas tersebut merupakan kisah-kisah traumatik dan bertahan hidup bagaimana mereka mengatasi ketidakadilan dan stigmatisasi yang berlanjut. 

Narasi tersebut diharapkan akan membuka “ruang” sejarah baru untuk kebenaran dan keadilan.

Penuturan kembali kisah berbasis pengalaman korban adalah upaya penting yang berfungsi untuk: Pertama, mengambil bagian persoalan dan realitas yang selama ini sudah dimaknai secara sepihak oleh penguasa. 

Kedua, memaknai kembali bahasa korban untuk menjadi sumber penyusunan kembali sejarah. 

Ketiga, menciptakan ruang bersama yang berpegang pada hati nurani. Keempat, penerimaan kembali akan kebenaran untuk memulihkan tatanan sosial dan budaya yang terbelah akibat konflik. 

Kelima, memutus rantai impunitas dengan mendorong tumbuhnya kesadaran kolektif akan struktur yang adil dan praktik-praktik kekerasan yang berasal dari pengalaman korban.

Penulisan pengalaman perempuan-perempuan korban ini merupakan upaya untuk menghentikan “politik pembungkaman”, yang lazim digunakan oleh para pelaku kekerasan sebagai alat teror agar korban dan masyarakat dicengkam rasa takut. 

Cerita dan puisi menjadi salah satu cara untuk menghadirkan korban dan memecah kebisuan.

Memanggil kembali, “recalling memory,” adalah upaya untuk menciptakan “ruang sejarah” berdasarkan tuturan pengalaman korban, yang merupakan elemen penting untuk penyusunan kembali masa lalu yang tidak adil. 

Bagi perempuan korban kekerasan, metode “recalling memory” menjadi penting untuk membawa perempuan masuk ke dalam ruang sejarah yang adil, dan menjadikan suara mereka sebagai bagian dari catatan (sejarah) tertulis, untuk merevisi sejarah yang maskulin dan tidak adil.

Buku Denny JA ini mempunyai dua makna: Pertama, untuk menerima kembali akan kebenaran dan keadilan, untuk memulihkan tatanan sosial, budaya dan politik yang terbelah akibat konflik dan kekerasan. 

Kedua, untuk mengembalikan hak warga negara khususnya kaum perempuan atas peristiwa masa lalu yang menimpa negerinya, lewat sejarah dan narasi dari korban. 

Karena sejarah menghubungkan masa lalu ke masa depan sebagai window of opportunity. 

*Penulis adalah Komisioner Purna Bakti Komnas Perempuan 1998-2006, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS).