Oleh : Rachman Sabur

Ketika akhir Desember 2021 viral berita The Swedish Academy, panitia nobel, mengundang komunitas puisi untuk mencalonkan sastrawan Indonesia, saya pun berlagak menjadi anak milineal.

Saya mencoba mencari di google (googling) aneka nama sastrawan Indonesia untuk tahu seberapa banyak berita soal mereka. Ini hasilnya:

1. Pramoedya Ananta Toer 4.350.000

2. Putu Wijaya 1.760.000

3. Taufiq Ismail 1.690.000

4. Sapardi Djoko Damono 914.000

5. Ahmad Tohari 461.000

6. Goenawan Mohamad 312.000

7. Sutardji Calzoum Bachri 84.100

Bagaimana dengan Denny JA? Ternyata jumlah perolehannya 11.600.000 !

Jadi, dilihat dari pencarian google, urutannya adalah sebagai berikut:

1. Denny JA 11.600.000

2. Pramoedya Ananta Toer 4.350.000

3. Putu Wijaya 1.760.000

4. Taufiq Ismail 1.690.000

5. Sapardi Djoko Damono 914.000

6. Ahmad Tohari 461.000

7. Goenawan Mohamad 312.000

8. Sutardji Calzoum Bachri 84.100

Puisi esai sendiri dalam pencarian google berjumlah 1.780.000. 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa, isu puisi esai dan nama Denny JA cukup mendominasi pemberitaan dan pembicaraan di media daring, termasuk media sosial. 

Pemasaran dan promosi Denny JA dan Komunitas Puisi Esai memang gencar dan hampir tak putus-putus. Tapi adanya pro dan kontra terhadap puisi esai maupun terhadap kiprah Denny JA di dunia sastra memberi sumbangan signifikan pada besarnya hasil pencarian nama Denny JA di google. 

Disengaja atau tidak, para penyerang dan penghujat Denny JA memegang peranan penting dan cukup menenentukan pada dahsyatnya gaung nama Denny JA dan puisi esai di dunia maya.

Andaikata Panitia Nobel melakukan tindakan seperti saya, dan saya yakin hal ini akan mereka lakukan sebagai tindakan awal, maka hasil googling mereka akan sama dengan hasil googling saya. Silahkan ditafsirkan sendiri apa maknanya.

Komunitas Puisi Esai sudah merespon undangan The Swedish Academy dengan mengajukan Denny JA sebagai calon penerima Nobel Sastra tahun 2022. Tentu hal itu masuk akal dan dapat dipahami.

Denny JA lah penggagas puisi esai dan dia pulalah penulis puisi esai yang pertama, sebelum kemudian puisi esai merebak ke mana-mana, bahkan sampai ke Malaysia dan sekitarnya. 

Kalau surat resmi dari panitia Nobel itu diberikan kepada Teater Payunghitam agar mencalonkan seseorang, hampir pasti dan ini masuk akal, sayalah yang akan dicalonkan. 

Namun karena surat itu tidak dilayangkan ke Teater Payunghitam dan saya bukan seorang sastrawan melainkan aktor dan sutradara, maka sayapun senang-senang saja bahwa ternyata yang diajukan Komunitas Puisi Esai adalah tokoh puisi esai, yaitu Denny JA.

Denny JA dan Komunitas Puisi Esai-nya selama beberapa tahun terakhir ini gila-gilaan mengadakan berbagai kegiatan lebih dari komunitas manapun di Indonesia. 

Kegiatan-kegiatan meliputi Lomba Menulis Puisi Esai (kurang lebih 10 buku antologi dihasilkan). Mereka juga mengundang para penyair dan penulis yang disebut penyair kondang untuk menulis puisi esai dan dibukukan (kurang lebih 5 buku antologi).

Komunitas ini mengajak sejumlah intelektual dan aktivis menulis puisi esai (belasan buku), hingga membuat gerakan besar puisi esai yang menggerakkan para penulis dari seluruh provinsi di Indonesia. 

Bersama mereka menulis puisi esai sampai terkumpul dari masing-masing provinsi 5 puisi esai panjang yang mengungkap persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan sejarah dan kegelisahan di masing-masing provinsi tersebut. 

Semua gerakan ini kelihatannya dengan sengaja dan sadar dipromosikan besar-besaran dengan berbagai cara, terutama dengan internet dan sosial media. 

Maka, di era milenial seperti sekarang ini, gema gerakan puisi esai, maupun nama Denny JA sebagai penggagasnya, bisa dikatakan hampir menguasai isue sastra beberapa tahun terakhir ini. 

Tanggapan miring, serangan, maupun hujatan baik terhadap puisi esai maupun terhadap Denny JA pribadi, justru semakin menyemarakan dan membuat nama Denny JA makin kinclong, bersinar dan bergema keras.

Saya tertarik untuk membicarakan salah satu kegiatan di antara banyak kegiatan yang dilakukan Denny JA dalam memasyarakatkan puisi esai, yaitu Lomba Vlog review buku puisi esai Denny JA. 

Lomba ini diadakan untuk para remaja siswa SMA/sederajat dan siswa SMP/sederajat.

Mengapa saya tertarik membicarakan masalah ini? Saya memiliki kegelisahan sendiri, yaitu kegelisahan di dunia teater. Disadari atau tidak dunia teater makin lama makin muram dan tidak sesemarak dulu. 

Pertunjukan teater makin kurang, baik karena kelompok teater makin menyusut maupun terutama karena kurangnya kesempatan dan peluang bagi kelompok teater untuk manggung. 

Kurangnya kesempatan itu akibat kurangnya tempat manggung, kurangnya fasilitas, dana, perhatian pemerintah, dan lain-lain.

Selain itu, jumlah penonton tidak banyak berubah, masih yang itu-itu juga. Dulu majalah Sastra Horison telah membawa sastra ke sekolah-sekolah (SMP/sederajat dan SMA/sederajat) di seluruh Indonesia. Kaum remaja kemudian menjadi kenal dan mulai menyukai sastra. 

Saya tidak heran jika banyak penulis muda maupun pembaca muda sastra adalah hasil dari kelilingnya Horison ke sekolah-sekolah. 

Program itu saya dengar sudah lama berhenti.

Saya merasa bahwa teater juga harus dipikirkan untuk tampil dan manggung di sekolah-sekolah agar para remaja Indonesia melek teater dan belajar akrab lalu suka dan mencintai kegiatan menonton teater. Sampai sekarang, cita-cita itu belum terlaksana. Hambatan utama tentu saja keterbatasan dana.

Denny JA yang tidak punya hambatan dana, ternyata juga dengan puisi esainya mulai masuk ke sekolah-sekolah. Dia mengadakan lomba review buku-buku puisi esainya. 

Lomba itu terbuka buat seluruh siswa SMP maupun SMA dan yang sederajat. Tidak tanggung-tanggung, dia membuang gaya lama dan menggunakan gaya baru yang akrab dengan generasi milenial. 

Dia tidak membuat lomba review tertulis melainkan lomba review dalam bentuk vlog. Karuan saja lomba semacam ini disambut para remaja karena relate dengan kehidupan mereka. 

Vlog pun bebas, bisa dibuat dengan kamera serius maupun dengan HP mereka masing-masing. Para remaja itupun bisa membuat Vlog dengan berbagai gaya mereka, ada yang bergaya kritikus-kritikusan, ada yang bergaya penyiar TV, ada yang bergaya seperti pengamat, serta ada yang bergaya selebritis. 

Pendeknya, anak-anak muda bisa mereview buku puisi Denny JA dengan gaya yang diimpikan generasi milenial, lalu mereka tayangkan di youtube. Mereka yang ingin melihat hasilnya, silahkan tonton Vlog tayangan mereka. 

Memang ada sejumlah tayangan yang berkesan amatir, tapi tidak kurang juga yang gayanya “maut” dan enak ditonton.

Semua ini memang terjadi sebelum pandemi. Adanya pandemi Covid-19 membuat semua kegiatan luring dibatasi dan bahkan hilang. Yang paling menderita tentu teater.

Sayang Denny JA tidak melanjutkan kegiatan ini. Akan sangat baik jika setelah Covid berlalu kegiatan semacam ini diadakan lagi secara rutin. 

Akan lebih mantap lagi kalau selain lomba vlog, puisi esai tersebut dipentaskan dalam bentuk teater dan masuk juga ke sekolah-sekolah.

Kembali ke Denny JA dan pencalonan Hadiah Nobel. Bukan saja komunitas puisi esai Indonesia yang berbangga, komunitas sastra Indonesia, dan bangsa Indonesia umumnya patut bangga dengan adanya undangan terhormat itu.

Sebelumnya, sastrawan Pramudia Ananta Toer pernah dicalonkan untuk meraih Nobel sastra. Di tahun 2022, pada gilirannya Denny JA dicalonkan untuk hal yang sama. 

Dasar pertimbangan munculnya undangan dari panitia Nobel tentu saja melalui kriteria yang ketat, dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang komprehensif menjadi bahan pertimbangan yang sangat serius dari para pemerhati sastra dunia. 

Meski begitu, googling juga akan dilakukan Panitia Nobel untuk mendapat gambaran seberapa terkenal nama orang yang diajukan itu di negaranya. Dan sejauh urusan googling, kita semua sudah tahu bagaimana hasilnya.

Denny J.A sendiri pernah menulis “Kapan Nobel Sastra untuk kawasan ASEAN?” di bulan Maret 2021. Esai itu bisa dianggap sebagai titik tolak bahwa, Denny JA dan Komunitas Puisi Esai mulai mempertimbangkan diri untuk memperluas sosialisasi puisi esainya ke tingkat global. 

Kita tidak tahu upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan Denny JA untuk mencapainya. Tapi, melihat kegigihan dan kekeraskepalaan dia yang tidak sayang mengeluarkan dana bagi sosialisasi puisi esai, saya tidak heran kalau panitia Nobel kemudian melayangkan undangan pada Komunitas Puisi Esai untuk mengajukan calon dari Indonesia.

Bagaimanapun, ikhtiar dan upaya Denny JA sendiri dalam mensosialisasikan puisi esainya, sebagaimana kita tahu, telah melalui proses perjalanan yang cukup panjang. 

Keseriusan dan totalitasnya melakukan “marketing” puisi esai sebagai genre baru, baik di Indonesia, maupun di negara-negara Asia Tenggara lainnya akhirnya mendapat hasil. 

Apalagi tema-tema puisi esainya sangat aktual dan kontekstual terhadap situasi dan keadaan politik, sosial, religi, dan kemanusiaan, baik secara nasional maupun isu global belakangan ini.

Salah satu keseriusan marketing puisi esai Denny JA yang layak dicatat adalah tindakannya mensosialisasikan dan mengkomunikasikan karya-karya puisi esainya melalui penerjemahan kedalam bahasa Inggris (Bahasa Dunia), sebagai upaya karya-karya puisi esainya bisa diapresiasi dan dikritisi oleh pengamat sastra dunia. 

Sementara itu, hanya sebagian kecil saja karya-karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris ataupun bahasa dunia lainnya. Sebagian besar karya sastra Indonesia belum dialihbahasakan ke bahasa Internasional. 

Maka, dialah satu-satunya yang semua, bukan satu dua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Dilihat dari puisi esai sebagai genre baru yang dia gagas, kemudian tema-tema hampir semua puisi esainya yang adalah tema-tema hot di dunia sekarang ini, seperti demokrasi, LGBT, pluralisme, keterbukaan agama, kesetaraan gender, bahkan pandemi Covid-19, maka pencalonan Denny JA di mata Panitia Nobel dan dunia internasional sangat mudah diterima. 

Apalagi dia dicalonkan dari salah satu negara Asean yang belum pernah mendapat Hadiah Nobel. Apalagi dia dicalonkan dari Indonesia, negara Asean yang merupakan negara Muslim terbesar di dunia. 

Isu kesetaraan gender, demokrasi, LGBT dan keterbukaan agama yang dibawanya tentu menjadi seksi.

Apakah dengan begitu dia akan mendapat Hadiah Nobel? Jalan menuju pemenang Nobel masih sangat panjang sekali. Seandainya mutu puisi esainya dinilai Panitia Nobel mengungguli karya sastra para saingannya, mungkin dia akan mendapat Hadiah Nobel. 

Hal ini tentu menggembirakan karena dengan begitu karya sastra Indonesia lainnya akan segera dilirik masyarakat dunia untuk ramai-ramai diterjemahkan dan dipasarkan secara global. 

Tapi, seandainya dia tidak menang, itu juga tidak apa-apa. Kita semua tahu, dicalonkan saja sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Dan di Indonesia, sampai hari ini, baru dua orang saja yang mendapatkannya, yaitu Pramoedya Ananta Toer dan Denny JA.

*Penulis adalah Aktor dan Sutradara Teater Payunghitam.