Oleh : FX. Purnomo
- 34 Skenario Film dari 34 Puisi Esai di 34 Provinsi
Membaca berita yang heboh di bulan Desember 2021 soal The Swedish Academy, panitia Nobel Sastra, yang mengundangkan komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia, saya teringat momen di tahun 2018.
Saat itu, kami para penulis skenario film diundang untuk bertemu dengan Denny JA. Jumlah kami tujuh orang.
Sebelum Denny JA masuk ke dalam ruangan, kami sempat berbisik-bisik. Apakah gerangan maksud dan tujuan Denny JA mengundang kami yang memang berkarir sebagai penulis skenario film. Sebagian dari kami, termasuk saya sendiri juga seorang sutradara dan produser film.
Denny pun berkisah panjang lebar tentang jurang yang semakin menganga di dunia penulis. Ujarnya, kini hadir dua dunia penulis yang jaraknya semakin lebar.
Pertama, dunia penulis pada umumnya. Lahirnya internet dan meluapnya informasi membuat nilai ekonomi sebuah tulisan atau buku berkurang. Publik dimanjakan oleh begitu banyak informasi yang membanjir. Hampir semua dapat diperoleh gratis.
Umumnya penulis tak lagi bisa hidup semata dari karya tulisnya. Mereka terpaksa harus juga bekerja di tempat lain untuk survive. Sulit sekali bertahan hidup di masa kini jika hanya mengandalkan tulisan.
Tapi di sisi lain, setiap tahun majalah Forbes menyiarkan Top 10 penulis yang paling kaya. Omzet buah karya para penulis ini setahun umumnya di atas satu triliun rupiah.
Mereka antara lain JK Rowling (penulis novel Harry Potter), Stephan King (penulis novel Mr Mercedes), dan Michael Dobbs (penulis novel House of Cards).
Mengapa penulis itu kaya raya? Ujar Denny, itu karena karya mereka terkoneksi dengan industri hiburan. Karya mereka menjadi film layar lebar atau serial TV.
Ini point penting Denny, “Mereka kaya raya karena karya teks sastra diubah menjadi audio visual yang komersial, melalui jaringan televisi dan bioskop.”
Tegas Denny, “Puisi esai akan membuat sejarah. Selama ini hanya novel atau cerpen yang menjadi bahan film layar lebar. Saatnya puisi juga menjadi bahan film yang bagus.”
“Sebanyak 34 puisi esai dari 34 provinsi akan diubah menjadi 34 skenario film. Isi dari puisi esai ini local wisdom yang ada bumbu kisah cinta dari 34 provinsi. Ini akan menjadi serial film pertama dalam sejarah yang semuanya berasal dari puisi. Tepatnya puisi esai.”
“Dengan menonton 34 serial film ini, publik akan menyelami batin Indonesia dari Aceh hingga Papua.”
Saya dan teman-teman penulis skenario film terpana dengan gagasan besar Denny JA. Skenario film berdasarkan puisi? Bisakah?
Selama sekitar satu tahun, akhirnya 34 naskah skenario film berdasarkan 34 puisi esai rampung sudah. Naskah 34 skenario itu sudah siap difilmkan.
Puisi esai memang mudah diterjemahkan ke dalam skenario film. Selain karena alur ceritanya berdasarkan pada kisah-kisah nyata dalam keseharian, ada pula kenikmatan tersendiri menyusun cerita-cerita yang realistis yang bersumber dari kearifan lokal.
Dalam memvisualisasikan puisi esai pun lebih nikmat karena penuh dengan tata artistik yang tak harus menguras imajinasi.
Itu dikarenakan penataan set filmnya adalah dunia realita dan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping terlibat dalam penulisan 34 skenario film berdasarkan puisi esai, saya juga terlibat membuat film pendek berdasarkan delapan cerpen esai karya Denny JA.
Di era pandemi, dengan keterbatasan tatap muka karena protokol kesehatan, saya akhirnya mampu visualisasIkan delapan cerpen esai Denny JA kedalam film pendek berdurasi masing-masing 20 menit.
Delapan karya sastra Denny JA mengangkat jeritan batin di masa pandemik. Ujar Denny JA, 30 tahun dari sekarang, delapan film pendek kita menjadi karya yang berharga karena merekam suasana batin di era pandemi.
Berbagai isu diangkat Denny JA dalam film itu. Mulai dari kisah karantina di masjid, lebaran online, perjalanan ke Wuhan, Cina tempat asal mula virus corona.
Diangkat pula kisah warga yang mati karena kelaparan akibat memburuknya ekonomi. Juga kisah hancurnya pedagang kecil hingga para aktivis yang meminta menteri kesehatan mengundurkan diri.
Tak tanggung-tanggung, agar film pendek ini kuat, kami libatkan aktor dan artis kawakan. Mulai dari Christine Hakim, Reza Rahadian, Marini, Ine Febriyanti, Agus Kuncoro hingga Ray Sahetepy terlibat dalam audio visual karya sastra Denny JA.
Tapi dimana delapan film pendek ini diputar? Ujar Denny JA, kita manfaatkan gelombang media sosial. Delapan film ini bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, sejauh mereka memiiki akses ke Youtube.
Untuk karya Denny JA yang lain, kisah diskriminasi dalam buku puisi esai yang pertama: Atas Nama Cinta, itu juga sudah difilmkan. Yang terlibat dalam program ini adalah Hanung Brahmantyo.
Hanung sangat berhasil melahirkan film yang diangkat dari puisi esai Denny JA menjadi tontonan sangat bermutu, mendidik dan enak dinikmati.
Lima film garapan Hanung berdasarkan puisi esai Denny JA bekisah soal diskriminasi agama, ras, gender hingga orientasi seksual. Semua kisah ini dikembangkan berdasarkan kisah sebenarnya.
Keberhasilan Hanung memvisualisasikan puisi esai Denny JA tak lepas dari struktur cerita yang kuat yang dibangun Denny JA dengan mengedepankan nalar dan realita kehidupan.
Mampukah puisi esai dan cerpen esai bersaing di dunia cinematography secara mendunia ?
Adakah investor yang berani membiayai produksi film-film yang bersumber dari skenario-skenario yang diangkat dari puisi esai dan cerpen esai ?
Saya sebagai penulis, sutradara dan produser film merasa optimis dengan gagasan- gagasan besar Denny JA untuk berperan serta menyemarakkan dunia perfilman Indonesia.
Puisi esai dan cerpen esai yang akhir-akhir ini semakin digandrungi kaum melinial akan sanggup bersaing di kancah perfilman Indonesia jika dikelola dengan cermat dan baik.
Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi ladang baru untuk rekan-rekan pekerja audio visual.
Peletakan pondasi puisi dan cerpen esai yang dilakukan Denny JA sungguh akan menjadi ladang pekerja seni film jika nantinya puisi-puisi esai dan cerpen esai tersebut diangkat ke layar perak.
Harapan saya, dimasa yang akan datang muncul Denny JA, Denny JA yang lain dari kaum melinial, yang akan membawa puisi esai dan cerpen esai menjadi "bulan dan bintang" yang siap menerangi mayapada sastra dan film Indonesia.
Saya tak tahu, apakah akhirnya Denny JA benar benar terpilih menjadi pemenang hadiah Nobel sastra tahun ini, atau tahun depan, atau lima tahun lagi, atau hanya berhenti sebagai calon yang dinominasikan saja, tapi satu hal yang pasti.
Denny JA memiliki spirit seorang sastrawan entrepreneur yang mempunyai mimpi besar, memiliki karya yang inovatif, berani mengambil resiko dan memiliki leadership yang sangat kuat.
*Penulis adalah Penulis Skenario, Sutradara dan Produser Film, tinggal di Jayapura, Papua.