telusur.co.id - Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) di Garut dikritik karena dianggap tidak efektif. PSBB di Garut, khususnya di pusat kota, disebut lebih mirip penyekatan jalan saat Car Free Day (CFD).
Di hari ketujuh penerapan PSBB yang digelar sejak Rabu (06/5) lalu di 14 kecamatan di Garut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sebagian masyarakat mendukung kebijakan tersebut, namun sebagian lainnya justru mengkritik penerapan PSBB di Garut. Ada banyak hal yang menjadi sorotan.
Selain sanksi yang tidak tegas bagi pelanggar PSBB, penerapan PSBB di pusat kota juga jadi sorotan. Sebagian kalangan warga menyebut PSBB di pusat kota Garut lebih mirip penutupan jalan saat gelaran CFD setiap hari Minggu pagi.
Seperti diungkap salah seorang warga Garut, Ade Farhan (35). Ade mengatakan, PSBB di Garut tidak efektif dan mirip CFD.
"Saya melihat ini seperti Car Free Day. Sekarang kita lihat aja di kota. Kendaraan tidak boleh masuk ke kota, tapi orangnya boleh. Saya jadi berpikir apakah Pemda menganggap corona itu menular lewat kendaraan atau seperti apa. Ini jelas sangat konyol," ucap Ade. Seperti yang dilansir detik.com. Selasa, (12/5/2020).
Ade melihat masyarakat tetap santai belanja dan jalan-jalan di kawasan perkotaan Garut selama PSBB karena tidak ada sanksi yang diterapkan pemerintah bagi pelanggar PSBB.
Selain itu, Ade juga melihat ada fenomena baru yakni maraknya parkir liar di pusat kota.
"Jadi kan ini jalanan ditutup, otomatis mereka parkir di batas jalan yang ditutup itu. Ini jadi bisnis baru karena yang parkir itu tidak hanya satu dua kendaraan," terang Ade.
Ade menambahkan, dia menganggap PSBB yang diterapkan di Garut khususnya di pusat kota tidak efektif. Ade berharap Pemda bisa lebih tegas dalam penegakan aturan dan penerapan sanksi bagi pelanggar.
"Jangan sampai pemda hanya ikut-ikutan menjalankan PSBB saja," tutup Ade.
Dua Faktor PSBB Mirip CFD Versi Anggota Dewan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Garut Yudha Puja Turnawan angkat bicara soal permasalahan ini. Yudha menilai PSBB di Garut berujung mirip penyekatan jalan saat CFD karena beberapa alasan.
Pertama, kata Yudha, kurang berfungsinya Tim Gugus Tugas di tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa dalam mengedukasi masyarakat.
"Saya melihat tim gugus tugas penanganan COVID-19 ini belum efektif. Khususnya dalam hal edukasi kepada masyarakat," beber Yudha saat dikonfirmasi detik.com via telepon. Selasa. (12/5/2020).
Yudha mengatakan, edukasi tentang bahaya berkerumun yang masih kurang membuat warga nekat 'meluncur' ke pusat kota untuk sekedar bejalan-jalan atau membeli kebutuhan pangan.
Selain kurangnya edukasi kepada masyarakat, lambatnya bantuan diterima masyarakat menjadi alasan lain kenapa warga saat ini nekat berkerumun di pusat perkotaan Garut.
Yudha menjelaskan, bantuan yang lambat diterima masyarakat membuat mereka nekat turun ke jalan.
"Jaring pengaman sosial ini lambat. Bantuan yang lambat cair ini memaksa masyarakat untuk tetap berada di luar rumah," kata Yudha.
"Ini kan pada akhirnya tetap bagaimana orang yang berkecukupan panik dan pergi ke kota karena panic buying dan mereka yang tidak mampu terpaksa turun ke kota karena mereka tetap harus berada di jalanan untuk menyambung hidup," tutup Yudha.
Pemda Tak Mau 'Galak-galak'
Belum ada respons terkait hal ini dari Pemda. Namun, sebelumnya Bupati Garut Rudy Gunawan sempat memberikan komentarnya tentang ramainya pusat kota selama PSBB berlangsung.
Saat diwawancara wartawan Rabu (06/5) lalu, Rudy mengatakan kerumunan warga di pusat perkotaan tidak bisa dihindarkan.
"Memang kebiasaan-kebiasaan ini kita tidak bisa menghindari lah. Seperti yang berboncengan, itu karena kebutuhan," ucap Rudy.
Rudy mengatakan, pihaknya tak ingin 'galak-galak' kepada para pelanggar PSBB. Rudy mengatakan, pihaknya tidak mungkin menerapkan sanksi terberat berupa pidana kepada para pelanggar seperti dalam Undang-undang Karantina.
Petugas, sambung Rudy, saat melaksanakan PSBB di Garut melakukan tindakan yang sifatnya humanis.
"Sanksi itu kita sebenarnya ini adalah ketaatan terhadap kepentingan bersama. Jadi, kita lebih kepada humanis. Memberikan pemahaman," katanya.
"Kalau dilakukan proses penghukuman terberat, dengan kurungan, sebagaimana dalam Undang-undang Karantina, kita tidak," tutup Rudy.
Rudy sendiri sempat mengeluh karena masyarakat bandel tetap berkerumun di pusat kota. Saat Rudy melakukan pemantauan situasi pusat kota akhir April 2020 lalu, sejumlah orang bahkan malah berkerumun dan berbondong-bondong untuk berfoto dengan dia. (mso/ari)