telusur.co.id - Buku Disabilitas dan Kekhawatiran memperpanjang tekanan stigmatik bagi Difabel. Karya tulis tentang disabilitas yang ditulis non-difabel berpotensi keliru dalam menampilkan karakter tokoh difabel. Demikian ujar M. Aan Mansyur dalam peluncuran buku Ishak Salim berjudul “Keluar Dari Hegemoni Pencacatan” di Baruga Anging Mammiri, Makassar. Senin, (28/6/2021).
Aan menyatakan bahwa, saat ini ada beberapa karya sastra yang ditulis non-difabel tapi sudah dengan perspektif benar. Banyak penulis, ketika menuliskan tentang difabel tak beda seperti industri tontonan menampilkan difabel sebagai objek inspirasi.
“Hal ini memang menjadi paradoks ketika banyak penulis menulis disabilitas tapi dengan perspektif yang keliru. Jadi, melimpahnya karya sastra terkait disabilitas berpotensi menambah tekanan bagi difabel dan menghambat perubahan sosial yang lebih inklusif,” jelasnya.
Selain Aan, hadir 3 aktivis difabel yang juga mengusung gagasan aktivisme berpengetahuan. Mereka adalah Ekawati Liu (mahasiswi S3 Deakin University), Nur Syarif Ramadhan (Peneliti PerDIK) dan Nabila May Sweetha (penulis PerDIK). Eka dalam talkshow yang dipandu oleh Andi Sri Wulandani lebih banyak menyorot bagaimana kampus, khususnya di Australia meneliti disabilitas.
Ia menyinggung bahwa, penelitian-penelitian difabel saat ini lebih banyak dipengaruhi pemikiran Barat, ketimbang dan dukungan pendanaan yang tak lepas dari kepentingan politik Barat.
“Penelitian berbasis lokal, dengan konteks pergerakan, harus menjadi lebih utama untuk terus dilakukan demi mendapatkan gambaran peta persoalan yang dihadapi difabel,” lugas Eka.
Buku 'Keluar Dari Hegemoni Pencacatan' merupakan karya disertasi dari penelitian Ishak Salim atas pergerakan difabel yang dengan apik menjelaskan rentetan fenomena disabilitas, baik dari aspek kesejarahan, kebijakan, pergerakan, sampai pada produk pengetahuan yang menjadi alat merebut kekuasaan.
Adapun Nur Syarif Ramadhan, ia mengupas soal bagaimana pengetahuan pergerakan difabel diproduksi, diadopsi, dan diadaptasi dalam kerja pengorganisasian.
Ia mencontohkan beberapa program PerDIK merupakan lanjutan dari pengetahuan sebelumnya yang sudah diproduksi aktivis difabel. Proses adaptasi ini menjadi positif karena di sisi lain, PerDIK juga mereproduksi pengetahuan yang sudah diterapkan itu dalam karya tulis baru.
Sebagai orang muda, Nabila yang baru diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin menilai bahwa, saat ini ketersediaan sumber bacaan yang digital nyaris mudah diakses oleh siapapun.
Namun, akses anak muda difabel masih lebih banyak pada karya yang menjual mimpi atau karya-karya yang menjual inspirasi. Menurut Lala, hal ini mengkhawatirkan, karena sebenarnya remaja difabel bisa mengakses tulisan yang lebih berkualitas.
Metode hybrid
Peluncuran buku ini berlangsung secara hybrid. Dalam ruangan Baruga Anging Mammiri, terdapat sekitar 70-an undangan. Ada seratus orang diundang menghadiri peluncuran dan talkshow ini. Di sisi lain, dari Zoom, ada sekitar 50-an partisipan.
Kegiatan ini berupaya memenuhi standar inklusivitas dan ada dua penerjemah bahasa isyarat yang bertugas saat itu. Selain itu, ada pula juru ketik bertugas memberi akses teks bagi tuli atau pirsawan yang jaringannya lemah sehingga suara tak begitu jelas.
Selain talkshow, peluncuran buku ini disertai dengan pemotongan tumpeng oleh penulis dan juga Ketua Yayasan PerDIK didampingi oleh Direktur PerDIK, Abd Rahman dan Kepala Suku Penerbit PerDIK, Daeng Maliq. Keduanya adalah difabel visual. (ari)