Telusur.co.idOleh : Novita Eka Wulandari

Sejak akhir tahun 2019, pandemi Covid-19 telah menghebohkan warga penjuru dunia. Bagaimana tidak? virus Covid-19 yang bermula muncul di kota Wuhan, Cina kini menjadi berakibat pandemi yang meluas di berbagai negara. Akibat dari pandemi ini, kebijakan yang berorientasi pada pembatasan aktivitas sosial diberlakukan pemerintah, lockdown istilahnya. Tujuan daripada kebijakan ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. 

Tepat pada bulan Maret 2020, Indonesia pun turut memberlakukan kebijakan pembatasan sosial yang dikenal dengan istilah lockdown. Beberapa waktu berjalan, kebijakan ini nyatanya menjadi boomerang yang malah berdampak pada sisi yang lain. Alih-alih untuk memulihkan sektor kesehatan, nyatanya malah menjadikan sektor ekonomi sebagai korban.

Indonesia, sebagai negara yang turut memiliki ketergantungan pada dunia global, turut merasakan pukulan ekonomi akibat pandemi. Berbagai negara di dunia seakan ingin melindungi dirinya dari bahayanya pandemi Covid-19 terhadap warga negaranya. 

Kebijakan lockdown skala global menjadi beban lain yang harus diselesaikan bersama dalam menghadapi guncangan ekonomi yang tidak stabil. Selama kurang lebih 3 tahun berjalan, pemerintah seakan dibikin pusing akibat pandemi, antara segera memulihkan sektor kesehatan atau menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah pandemi.

Guncangan Ekonomi kala Pandemi Covid-19

Mengacu dari data World Bank (2022), ekonomi global di tahun 2019-2020 mengalami resesi, yang dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi hanya sebesar -3,1 persen/ tahun. Selain dari indikator pertumbuhan ekonomi, sektor lain dari aspek ekonomi juga terlihat bahwa terdampak akibat pandemi. 

Misalnya saja sektor pengangguran, berdasarkan data dari ILO (2022), menyebutkan selama pandemi Covid-19 berlangsung, tingkat pengangguran secara global sebesar 5,5 persen di tahun 2019, meningkat sebesar 6,9 persen di tahun 2020, dan sempat menurun di tahun 2021 menjadi 6,2 persen. Besarnya angka pengangguran ini disebabkan karena terjadinya PHK besar-besaran di sektor formal dan informal.

Selain dari tiga indikator ekonomi tersebut, masih terdapat satu indikator yang dapat dijadikan penilaian akan kondisi ekonomi suatu negara. Tingkat inflasi secara global di masa pandemi Covid-19 turut terdampak akibat guncangan ekonomi yang terjadi. Pada tahun 2019, tingkat inflasi berdasar pada IHK (Indeks Harga Konsumen) sebesar 2,2 persen, dan kian menurun menjadi 1,9 persen di tahun 2020. 

Sepintas, rasanya penurunan nilai melegakan karena tingkat inflasi rendah. Akan tetapi, batas baik tingkat inflasi yang rendah adalah 2,5% hingga 4,5% (mengacu dari standarisasi Bank Indonesia). Artinya, dari data yang disebutkan World Bank tersebut, di tahun 2019-2020, ekonomi global sempat mengalami istilah yang disebut deflasi. 

Kondisi penurunan tingkat inflasi di bawah batas aman ini disebabkan karena tidak lain dan tidak bukan akibat menurunnya konsumsi masyrakat yang menyebabkan supply dan demand tidak ekuilibrium pada titik keseimbangannya, baik pada sektor jasa maupun barang. Masyarakat terbelenggu ketakutan akibat penyebaran virus Covid-19 hingga pada akhirnya memaksa masyarakat tidak banyak melakukan aktivitas jual beli di pasar bebas.

Pandemi Covid-19 Kini Telah Berakhir, Lantas?
Dua tahun telah berlalu, pandemi Covid-19 menyertai segi kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali pada sektor ekonomi. Tepat pada tanggal 5 Mei 2023, World Health Organization (WHO) menyatakan secara resmi bahwa pandemi Covid-19 telah selesai. 

Kini, Indonesia dihadapkan pada era baru, era pasca pandemi, bagaimana Indonesia memulihkan kondisi ekonomi di kala pasca pandemi? Berdasarkan data World Bank, pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi Covid-19 menjadi suatu tantangan tersendiri, di tengah situasi global yang tidak stabil. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pada akhir tahun 2021, mencapai angka sebesar 3,7%, kala itu Indonesia baru saja keluar dari gelombang varian Delta yang berlangsung pada bulan Juli-Agustus 2021.

Capaian positif tersebut, terus terbawa hingga triwulan pertama tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 5% (YoY). Tak berselang, pada akhir bulan Februari, konflik Rusia-Ukraina turut memukul kondisi ekonomi global melalui berbagai kebijakan pembatasan perdagangan internasional. Mau tidak mau bahwa Indonesia turut menerima dampak tersebut akibat ketidakstabilan politik global yang mempengaruhi pemulihan sektor ekonomi. 

Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kenaikan harga dan pengetatan keuangan dari sisi eksternal menjadi tantangan di kala usaha Indonesia sedang memulihkan ekonominya. Akan tetapi, dampak positif turut dirasakan Indonesia, dengan adanya konflik tersebut, nyatanya Indonesia menerima peningkatan nilai ekspor dan fiskal akibat perbedaan nilai tukar relatif Indonesia yang lebih rendah dibanding negara maju yang lain.

Terlepas dari bayang-bayang pandemi, bukan berarti Indonesia dengan leluasa dapat segara memulihkan dampak yang terjadi pada sektor ekonomi. Sejumlah lembaga multinasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, maupun lembaga ekonomi besar dunia telah menggambarkan bahwa ekonomi global akan mengalami perlambatan, kenaikan tingkat inflasi, bayang-bayang resesi, hingga kabar bahwa Amerika Serikat terancam gagal bayar hutang, yang tentu akan sangat berdampak pada skala ekonomi global.

Pada awal tahun 2023, World Bank memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini sebesar 2,9%. Angka proyeksi ini, masih lebih baik daripada hasil proyeksi dari International Monetary Fund (IMF), hanya sebesar 2,7%. Dalam catatan yang berbeda, Fitch Ratings, bahkan dengan yakin memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global tidak lebih dari 1,4 persen, sementara itu Moody’s memproyeksikan ekonomi global sebesar 2,3 persen. 

Dengan perkiraan ini, maka dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi global belum sepenuhnya menunjukkan kondisi yang baik. Meski lebih tepat disebut perlambatan ekonomi, kondisi ekonomi dunia cukup berat. Cukup jauh dari tren jangka panjang, yaitu rata-rata sekitar 3,8%. Angka ini menegaskan bahwa perlambatan ekonomi juga disertai dengan harga tinggi, sehingga sulit dilakukan langkah kontrasiklikal yang kuat untuk mendorong perekonomian dunia.

Meskipun berbagai proyeksi menegaskan bahwa akan terjadi resesi, namun kondisi ekonomi global di tahun 2023 diperkirakan masih lebih baik jika dibandingkan dengan krisis sebelumnya. Seperti pada tahun 2020, resesi terdekat yang pernah terjadi, ekonomi global sempat terkontraksi sebesar 3,0%. 

Dalam konteks resesi sendiri, ada perbedaan dalam mencermati resesi global dengan resesi suatu negara. Resesi yang lebih luas jika penurunannya signifikan. Belum tentu juga bahwa suatu negara yang mengalami resesi, akan terus mengalami kontraksi pertumbuhan ekononominya sepanjang tahun berjalan.
 
Ekonomi Indonesia 2023 : Antara Optimis dan Realistis

Lembaga keuangan dunia memproyeksikan bahwa perekonomian global akan menghadapi tantangan berat di tahun 2023 mulai terbukti. Di tengah melemahnya ekonomi global tersebut, Indonesia tetap menunjukkan capaian yang positif dan tumbuh secara resilien. 

Dalam bingkai kacamata Pemerintah Indonesia sendiri, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 sebesar 5,3%. Terbukti dari data outlook pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Terlepas dari bayang-bayang optimisme, tetap waspada dan perhatian pada segala kemungkinan yang ada.

Kendati kondisi ekonomi global yang melambat, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menunjukkan tren pertumbuhan positif di sepanjang tahun 2023. Outlook perekonomian nasional menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia dapat didorong melalui peningkatan permintaan domestik, baik dari konsumen maupun sisi investasi. 

Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian adalah di samping daripada rasa optimisme tersebut, masih terdapat kemungkinan dalam jangka menengah dan jangka panjang yang terjadi bahwa akan adanya penurunan pendapatan masyarakat karena hilangnya sumber pekerjaan ketika pandemi. 

Dampak tersebut nyatanya belum sepenuhnya dapat dipulihkan dalam waktu singkat. Mengingat kala pandemi, begitu banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan sehingga mempengaruhi penurunan tingkat pendapatan per kapita dan berdampak pada pola konsumsi masyarakat.

Dalam menyongsong pemulihan dan peningkatan ekonomi Indonesia, selaras pada tujuan tersebut, beberapa lembaga keuangan di Indonesia turut mencermati akan hal ini Bank Indonesia, sebagai salah satu garda terdepan Indonesia dalam menjaga kestabilan ekonomi di Indonesia, turut mengambil peran dalam hal ini. Melalui bauran kebijakannya, menggabungkan dua ramuan antara Pro-Stability dan Pro-Growth, rasanya menjadi sebuah jalan terobosan yang tepat. 

Dalam kerangka kebijakan tersebut, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk memastikan likuiditas pasar keuangan Indonesia akan berlebih sehingga akan memadai untuk menghadapi gejolak global yang masih akan terjadi dan tren suku bunga tinggi. 

Tidak hanya melalui bauran kebijakan tersebut, Bank Indonesia juga memberikan kebijakan insentif uang muka (down payment) yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kredit properti dan otomotif.

Selain dari sisi Bank Indonesia, pemerintah bersama Kementerian Keuangan turut menyusun strategi dalam mencari jalan keluar (exit strategy) dari bayang-bayang resesi ekonomi. Upaya dalam kebijakan fiskal turut diperhitungkan bagaimana Kementerian Keuangan melakukan penghematan anggaran di seluruh pos belanjanya hingga mencapai 24,5 trilliun. 

Kebijakan ini turut dipertegas dengan upaya meningkatkan anggaran subsidi, khusus pada sektor energi. Perlu diperhitungkan bahwa kondisi global saat ini kurang bersahabat pada sektor energi, akibat dari konflik Rusia-Ukraina. Harapannya tentu, melalui kebijakan ini, Indonesia dapat meredam risiko terburuk dari terjadinya krisis sosial akibat dampak kenaikan harga energi dunia.

Dengan segala kemungkinan yang menjadi bayang-bayang saat ini, tentu Indonesia tetap perlu mewaspadai. Di kala usaha untuk memulihkan ekonomi pasca dampak pandemi, rasanya menjadi suatu hal yang cukup berat bagi Indonesia untuk bagaimana tetap tumbuh secara resilien. Mengukur antara batas optimis dan realistis, tampaknya menjadi pola pikir yang logis. 

Pemerintah harus terus berfokus dalam menjaga pertumbuhan ekonomi untuk memulihkan dampak pandemi dan menghindarkan diri dari ancaman krisis. Sinergitas dalam upaya menjaga stabilitas tentu perlu dukungan dari segala bauran kebijakan yang berorientasi dalam pencarian jalan pintas. Harapan seluruh masyarakat agar ke depan kondisi ekonomi Indonesia dapat segera membaik dan menunjukkan capaian yang berkualitas.
 
*Penulis adalah Mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga (2022) dan Santri Biyadikal Khair.