Oleh : Irsyad Mohammad

Desember 2021 ditutup dengan berita yang cukup viral. Panitia Nobel, The Swedish Academy (The Nobel Committee) secara resmi mengundang perwakilan komunitas puisi esai Indonesia untuk menominasikan sastrawan Indonesia.

Komunitas sastra Indonesia terpana dengan berita itu. Luas diketahui bahwa publik atau individu manapun tak bisa mencalonkan kandidat untuk Nobel Sastra. 

Dalam prosedur resmi, yang hanya dipertimbangkan oleh panitia nobel sastra adalah mereka yang secara khusus diundang The Swedish Academy. Sedangkan panitia nobel memiliki kriteria yang sangat ketat mengenai siapa yang diundang.

Setiap tahun panitia Nobel hanya mengundang sekitar 300 tokoh/komunitas di seluruh dunia. Komunitas puisi esai Indonesia sungguh mendapatkan kehormatan undangan itu. Denny JA segera dicalonkan memenuhi undangan.

Dalam sejarah Nobel Sastra sejak 1901, sudah 120 tahun, tak pernah satupun sastrawan Asia Tenggara yang memenangkan Nobel Sastra. Bahkan untuk dicalonkan secara resmi saja, Indonesia hanya pernah mencalonkan dua sastrawannya saja: Pramoedya Ananta Toer, dan untuk tahun 2022: Denny JA.

Pertanyaan mengapa? Mengapa hanya Pramoedya dan Denny JA?

Bulan maret 2021, Denny JA menulis esai soal hadiah nobel sastra. Saat itu, ia baru saja menerima penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia (Badan Bahasa dan Pemerintah Sabah).

Saya cuplik esainya yang penuh data. Judul esainya: Kapan Nobel Sastra untuk Kawasan ASEAN?

Denny pun mungkin tak menduga, sembilan bulan setelah esai itu, kini ia sendiri yang secara resmi dicalonkan. Di bawah ini cuplikan tulisan Denny JA.

“Sejak 1901 hingga 2020, sudah 117 tokoh mendapatkan penghargaan Nobel Sastra. Mengapa tak satu pun dari 117 tokoh itu berasal dari kawasan ASEAN?

Perancis menyumbangkan pemenang Nobel Sastra paling banyak: 17 tokoh.  Pemenang Nobel Sastra pertama di tahun 1901 dari Perancis: Sully Prudhomme.

Nama sastrawan itu tak lagi banyak dibicarakan. Tapi pemenang dari Perancis yang lain masih terdengar: Albert Camus (1957), dan Jean Paul Sartre (1964).

Amerika Serikat menyusul di tempat kedua: 12 tokoh. Antara lain: Pengarang Lagu Bob Dylan (2016), John Steinbeck (1962), dan Ernest Hemingway (1954).

Inggris di tempat ketiga menyumbangkan 11 tokoh. Termasuk yang menerima Nobel Sastra: Perdana Menteri Winston Churchill (1953), Pemikir dan Aktivis Sosial Betrand Russel (1950) dan TS Eliot (1948).

Cukup banyak juga pemenang Nobel Sastra dari Jerman. 10 tokoh. Misalnya: Gunter Grass (1999).

Swedia selaku negara pemberi Nobel, menyumbangkan 8 tokoh. Misalnya Tomas Transtomer (2011).

Lima negara di atas, jika digabung, menyumbangkan 58 tokoh dari 117 Nobel Sastra. Sekitar 50 persen pemenang dari lima negara itu.

Mengapa tak ada sastrawan ASEAN yang pernah mendapatkan Nobel? Bukankah  10 negara ASEAN ini, dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, hingga Burma, total penduduknya, 661 milyar, banyak sastrawan berbakat?

India menyumbangkan satu sastrawannya: Rabindranath Tagore (1913). Jepang punya Yasunari Kawabata (1968). Chili menyumbangkan sastrawannya Pablo Neruda (1971). 

Columbia punya Gabriel Garcia Marquez (1982). Bahkan Nigeria juga pernah mendapatkan Nobel Sastra: Wole Soyinka (1986). Mesir memiliki Naguib Mahfouz (1988). Turki pun punya Orhan Pamuk (2006).

Kekayaan kultural Negara ASEAN tidaklah kalah. Sastrawan yang lahir di kawasan ini cukup banyak. Kurangkah bakat mereka? Atau yang kurang adalah diplomasi budaya untuk meyakinkan panitia Nobel?”

Merespon pertanyaan Denny JA di atas, saya meyakini. Yang membuat belum adanya sastrawan Asia Tenggara mendapatkan nobel sastra semata soal diplomasi budaya. Termasuk dalam diplomasi budaya itu tersedianya banyak karya sastawan itu dalam bahasa Inggris.

Panitia Nobel juga memiliki kendala bahasa. Mereka tak bisa leluasa mengamati karya dalam bahasa yang tak mereka pahami. Bahasa Inggris menjadi semacam password untuk menarik perhatian panitia Nobel.

Pramoedya dan Denny JA memiliki keberuntungan. Soal kualitas sastra kedua sastrawan ini dapat diperdebatkan. Namun tak bisa dibantah, banyak karya mereka berdua yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Lebih dari 100 karya puisi esai Denny JA, baik dalam bentuk buku, ataupun film dan video berdasarkan puisi esai, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Setidaknya karya itu diberi substitle bahasa Inggris.

Dengan sendirinya tak ada kendala bahasa bagi elit sastrawan dunia untuk menikmati ataupun mengkritisi puisi esai.

Menyediakan karya dalam bahasa Inggris itu hal elementer dalam diplomasi sastra era global. 

Pramoedya dan Denny JA juga memiliki persamaan lain yang menambah daya pikat. Pramoedya menjadi seksi karena proses Ia mencipta. Di pulau buru, tempat Ia dibuang karena pilihan politiknya, Pramoedya melahirkan banyak karya sastra.

Sementara Denny JA seksi karena Ia berhasil menciptakan hal yang tak mudah: genre baru dalam puisi. Yaitu puisi esai.

Terlepas pro dan kontra soal ini, kini puisi esai sudah resmi diakui dan masuk dalam kata baru Kamus Bahasa Indonesia. Komunitas puisi juga  terbentuk. Bersama mereka menciptakan lebih dari 150 buku yang semuanya berdasarkan puisi esai.

Bahkan kini puisi esai meluas ke Asia Tenggara. Sudah terbentuk pula komunitas puisi esai Asia Tenggara berpusat di Malaysia. Presidennya Jasni Matlani, penerima SEA Write tahun 2015.

Pesan sosial dari berbagai puisi esai Denny JA juga sangat kuat. Ia menyuarakan isu hak asasi manusia di negara populasi muslim terbesar: Indonesia.

Tiga hal ini yang membuat Denny JA akan sangat dipertimbangkan oleh panita nobel di tahun 2022. Di samping ia berhasil menciptakan genre baru puisi esai dan meluas ke luar negaranya, juga karena pesan hak asasi manusia di negara muslim terbesar, Denny JA juga berasal dari Asia Tenggara, yang sudah 120 tahun belum pernah memenangkan Nobel.

Seandainyapun di tahun 2022 Denny JA belum terpilih, ia sudah tercatat sejarah. Ia akan dikenang sebagai satu dari hanya dua sastrawan Indonesia yang pernah secara resmi dicalonkan hadiah Nobel.

Ini sudah istimewa bagi Denny JA, yang hidupnya tak hanya di dunia sastra. 

Legacy Denny JA juga sudah tinggi selaku founding father profesi konsultan politik di Indonesia. Ia juga dikenang sebagai orang pertama yang lukisan NFTnya laku 1 milyar rupiah di Indonesia. Denny juga sudah tercatat memecahkan rekor dunia pendidikan politik terbesar Guiness Book of World Record.