Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Media sosial telah melahirkan satu gelombang baru feminisme yang memberikan efek perubahan signifikan. Kaum feminis di Indonesia, dan aneka pihak yang peduli dengan kekerasan seksual dapat belajar dari kasus itu.
Itulah kesimpulan saya setelah membaca Harvard Business Review, Juli 2019. Jurnal itu mempublikasi hasil riset. Terjadi penurunan atas kasus Sexual Harrasment, dalam beberapa jenisnya di Amerika Serikat, tahun 2016-2018. (1)
Dalam riset itu terminologi kekerasan seksual diukur dalam tiga dimensi: pelecehan gender, perhatian seksual yang tidak diinginkan, dan pemaksaan seksual.
Pelecehan gender melibatkan perlakuan negatif terhadap perempuan yang tidak selalu bersifat seksual. Pelecehan itu mencakup komentar yang seksis, menceritakan kisah yang tidak pantas, atau menampilkan materi seksis.
Perhatian seksual yang tidak diinginkan mencakup beberapa perilaku. Misalnya, menatap, melirik, atau sentuhan yang tidak diinginkan.
Sedangkan pemaksaan seksual termasuk menyuap atau menekan perempuan untuk terlibat dalam perilaku seksual.
Dua data dibandingkan, dari riset di tahun 2016 dan 2018.
Pada tahun 2016, 25% perempuan dilaporkan mengalami pemaksaan seksual. Di tahun 2018 angka tersebut menurun menjadi 16%.
Perhatian seksual yang tidak diinginkan menurun dari 66% di tahun 2016 menjadi 25% di tahun 2018.
Yang menarik, menurunnya kekerasan seksual itu dihubungkan dengan gelombang besar sebuah gerakan di media sosial. Tentu saja gerakan jenis ini tak pernah terjadi sebelum datangnya media sosial.
Sebuah posting di Twitter ikut memulai lahirnya sebuah gerakan feminisme jenis ini.
15 Oktober 2017, seorang artis dan aktivis Allyssa Milano memposting di Twitternya. “Jika anda pernah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, jawablah dengan “Me Too.”
Konteks posting Allysa itu berita sangat heboh yang menimpa produser film Hollywood berpengaruh, Harvey Winstein. Harvey juga pemilik perusahaan film terkemuka, Miramax. Salah satu filmnya yang menang Oscar dan beredar di Indonesia: Shakespeare in Love (1999).
Satu persatu artis melaporkan. Bahwa dulu di masa muda dan awal karir, mereka diminta sejenis layanan seksual. Bahkan ada pula yang menyatakan ia diperkosa.
Berita ini menggemparkan publik di Amerika Serikat. Di era informasi seperti sekarang, berita itu pun mendunia. Apalagi ini menyangkut para artis terkemuka yang wajahnya sering kita lihat di layar lebar. Ramai-ramai mereka mengungkap dunia terselubung di Hollywood.
Allysa meyakini layanan seksual, kekerasan seksual terjadi di banyak tempat. Ia ingin memberi semangat kepada para korban untuk berani cerita pengalaman. Cukup dengan menjawab di Twitter #Me Too.
Tak ia duga, respon atas tweetnya begitu heboh. BBC melaporkan. Hanya dalam waktu satu hari, di hari itu juga, hastag “Me Too” digunakan lebih dari 200.000 kali.
Esok harinya, posting itu sudah di Retweet 500 ribu kali. Dan hastag “Me Too” sudah digunakan oleh 4,7 juta orang lewat 12 juta posting.
Facebook bahkan melaporkan 45 persen dari pengguna Facebook memiliki teman yang menggunakan hastag “Mee Too.”
Maka “Mee Too” pun menjadi gerakan.
WHO melaporkan. Sebanyak sepertiga wanita di dunia dalam hidupnya pernah mengalami pelecehan seksual. Kesamaan nasib itu pula yang membuat gerakan “Me Too” bergaung sangat cepat, dan meluas dengan kilat.
Siapa yang sebenarnya sangat awal sekali menggunakan slogan “Me Too” ini?
Tahun 2021 terbit buku berjudul Unbound; The Story of Liberation and The Birth of Mee Too Movement. Penulisnya adalah Tarana Burke.
Tarana yang menciptakan slogan “Mee Too.” Ia sendiri di usia 7 tahun mengalami kasus diperkosa. Tarana pun menjadi aktivis. Ia bertekad membantu mereka yang mengalami kekerasan seksual, terutama anak- anak.
Dua hal yang membuat kasus perkosaan itu tetap terjadi dan meluas.
Pertama, hadirnya kultur bisu. Para korban tak ingin kasus itu dilaporkan karena membawa aib keluarga. Itu juga akan membuat dirinya sulit mendapatkan jodoh karena ia korban perkosaan.
Sudah terbentuk persepsi yang panjang akarnya. Bahwa wanita korban perkosaan dianggap sudah tak lagi suci, tercela, dan sebagainya.
Kedua, hadir pula tradisi Victim Blaming. Sang pelapor yang malah disalahkan, bahkan dihukum. Apalagi jika pelaku yang dilaporkan itu orang yang punya kuasa atau dihormati.
Tapi dalam perjalanan hidupnya, Tarana juga menemukan titik cerah. Jika ada yang mulai berani bercerita kasus yang dialami, respon “Me Too,” membuat korban merasa tak sendiri. Mereka lebih terbuka untuk cerita.
Respon “Me Too” ternyata memiliki kekuatan seperti mantra. Ini ekspresi rasa empati. The power of empathy. Itu sangat dibutuhkan oleh korban pelecehan seksual.
Sejak tahun 2006, Tarana mengkampanyekan hastag “Me Too,” agar para korban berani tampil. Juga hastag itu membantu para korban lain untuk juga berani bersuara.
Di tahun 2017, Time Magazine memilih para individual korban yang berani bersuara. Persons of the Year diberikan kepada Silence Breakers.
Tarana Burke, Alyssa Milona dan artis Ashley Judd termasuk individu yang dianugrahi The Persons of The Year 2017 dari Time Magazine.
Di Indonesia, gerakan “Me Too” juga dihidupkan oleh aktivis. Tapi hasilnya belum mencolok. Kultur bisu dan Victim Blaming, di Indonesia jauh lebih kuat.
Tapi kita pun terperangah dengan berita di tahun 2022 tentang banyak kasus di pesantren. Di ruang tertutup itu, terjadi perkosaan para santriwati oleh para guru agamanya sendiri.
Kultur bisu di pesantren jauh lebih kuat. Jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual di dalam pesantren yang tak menjadi berita. Citra pesantren begitu ingin dilindungi.
Perkosaan massal di bulan Mei 1998 juga banyak yang belum terang benderang.
Ketika kultur individu belum terlalu berani menyatakan “Me Too, bahwa saya juga mengalami kekerasan seksual, maka negara harus hadir. Perlindungan hukum yang dibuat negara harus lebih ekstra.
Perkembangan penting itupun terjadi. Di tahun 2022, UU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dilahirkan. Ini kemajuan signifikan bagi perlindungan kaum perempuan untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Hari ini, kawan Esoterika, Forum Spritualitas kembali berjumpa. Ada yang bertanya: Mengapa forum antar agama ikut cawe-cawe urusan perlindungan perempuan?
Itu karena kita meyakini dan memilih. Kita memilih tafsir agama yang pro kepada Hak Asasi Manusia, yang pro kepada kemajuan wanita.
Karena itu kita kumpul tak hanya bersama merayakan hari agama. Tapi juga kita berkumpul untuk merenungkan peristiwa hak asasi dan kaum perempuan.
Kita sudah sampai di era media sosial. Akun di media sosial itu adalah senjata di dunia informasi. Sekecil apapun, kita dapat mendayagunakan akun media sosial itu, untuk mengurangi kekerasan seksual, ataupun ikut menyebarkan isu-isu pencerahan.
CATATAN
1. Menurunnya Kekerasan seksual karena “Me Too Movement.”
https://hbr.org/2019/07/has-sexual-harassment-at-work-decreased-since-metoo
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.