Telusur.co.idOleh : Denny JA

Media sosial kita akan jauh lebih panas. Facebook, TikTok, Instagram, Twitter akan jauh lebih membara. Di internet, posting akan berlipat-lipat jauh lebih banyak, di YouTube, di WA grup, dan sebagainya.

Itu akan terjadi di tahun 2024, 10 bulan lagi. Itulah tahun panen raya politik. Tak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, dalam satu tahun terselenggara begitu banyak pemilu.

Tak hanya terjadi pemilu presiden, tapi juga pemilu untuk 580 anggota DPR. Juga pilkada, memilih kepada daerah, serentak, sekaligus  di 38 provinsi, 514 kabupaten dan kota madya.

Maka bersiaplah kita menghadapi Politics as Usual, politik seperti biasa. Akan begitu banyak tersebar berita hoax, berita palsu di antara berita yang benar. 

Akan beredar begitu banyak politik identitas, politisasi agama yang membelah, di antara politik yang mencerahkan dan menyatukan.

Inilah sisi gelap politik yang diwarnai oleh politik digital. Tentu saja jauh lebih banyak sisi terang dan berkah politik digital.
 
Transformasi digital juga secara intensif mengubah wajah politik praktis.

Kita bisa mulai dengan peristiwa politik digital yang paling hot. Sebuah berita dimuat di PBS News Hour, 18 Agustus 2020. (1)

Riset hampir setebal 1000 halaman selesai dirumuskan oleh Senat di Amerika Serikat. Selama 4 tahun riset ini dibuat.

Isinya mengkonfirmasi. Bahwa benar dalam pemilu presiden di Amerika Serikat di tahun 2016, Rusia terlibat mempengaruhi pemilu Amerika Serikat.

Politik digital membuka peluang agen Rusia bermain ikut memenangkan Donald Trump. Ini juga menjadi berita di banyak media.

Agen Rusia membuat ribuan akun palsu atas nama seolah-olah mereka orang Amerika Serikat. Mereka masuk ke negara bagian battle ground, yang menentukan kemenangan, mulai dari Colorado hingga New Mexico.

Saat itu lawan dari Donald Trump adalah Hillary Clinton. Agen Rusia ini masuk ke isu yang melemahkan Hillary, seperti isu Imigran, Terorisme, Muslim, dan Skandal sex suaminya Bill Clinton.

Secara garis besar volume intevensi Rusia dalam pilpres Amerika Serikat dihitung. Jaringan agen Rusia dianggap ikut menyebarkan sekitar 80 ribu posting yang diakses oleh 126 juta (60 persen) pemilih Amerika Serikat.

Peristiwa ini juga membuka mata kita soal berkah dan bahaya politik digital. 

Berbeda dengan media konvensional. Melalui media sosial, tim kampanye bisa langsung  mempengaruhi jutaan pemilih. Sementara media konvensional seperti TV atau koran, ada filter editor di sana. Di media sosial tak ada filter editor pihak ketiga.

Di media sosial, Tim Kampanye juga bisa melakukan micro targetkng. Di Facebook yang sama, misalnya, mereka bisa memilih komunitas untuk isu tertentu saja: terorisme, Imigran, dan sebagainya.

Di media sosial, mereka pun bisa menggunakan akun palsu. Begitu mudahnya memiliki akun di media sosial. Akibatnya agen Rusia bisa tampil seolah-oleh mereka warga Amerika Serikat.

Politik digital juga memberikan berkah yang tak pernah terjadi sebelumnya. Melalui akun pribadi di Instagram, sebagai misal, seorang politisi bisa tampil live, berkomunikasi real time dengan audiencenya di seluruh pelosok negeri.

Pertemuan berdialog langsung antara pemimpin dengan warga sangat penting untuk membangun ikatan emosional. Live di Instagram, misalnya, memberikan fasilitas itu. Pemimpin seolah jumpa langsung tatap mata, tanya jawab, serentak di seluruh negeri.

Internet juga membantu aneka pihak lebih cepat melakukan Fact Checker (Fact Checking). Berita apapun yang melintas, bisa kita bedakan ini hoax, berita palsu atau berita asli, cukup dengan Google Search.

Dan ini keistimewaan politik digital. Segala informasi itu bisa dibagikan secara lebih murah dan lebih cepat. 

Bayangkan mahalnya biaya media konvensional jika seorang politisi menyewa jam tayang televisi untuk live dua jam dengan audience dari Aceh sampai Papua. Kini sang politisi cukup hanya bayar pulsa saja karena Live seperti ini bisa dilakukan di Instagram.

Itulah kelebihan sekaligus bahaya dari datangnya era politik digital.

Politik digital akan pula sangat mewarnai pemilu dan pilkada Indonesia di tahun 2024.

Berdasarkan riset LSI Denny JA, Januari 2023,  pengguna media sosial sudah sangatlah banyak.

Top 3 platform yang paling banyak penggunanya adalah Facebook (52,5 persen), Instagram (31, 1 persen) dan TikTok (29,4 persen). Pengguna Twitter hanya 8,3 persen. 

Di tingkat dunia, secara demografi, profil pemilih pengguna internet media sosial lebih banyak di kalangan usia 50 tahun ke bawah (79 persen), pria dan wanita hampir seimbang, walau lebih banyak wanita (75 persen), lebih banyak penduduk kota (73 persen), pendidikan dan penghasilan tinggi (SMA ke atas, 5 juta rupiah sebulan ke atas) 72 persen.

Bagaimanapun imbauan diberikan, politik akan terjadi seperti biasa. Politics as Usual. Hoax, berita palsu, dan politisasi agama akan meluas di tahun politik 2024.

Politik digital memudahkan dan membuat penyebaran hoax dan politik identitas menjadi murah. Ini semua dilakukan dengan persepsi bahwa hoax dan politik identitas itu akan membantu kemenangan calon pemimpin tertentu di segmen pemilih tertentu pula.

Mereka yang peduli terhadap meluasnya dan massifnya hoax, berita palsu dan politisasi agama di ruang publik dapat mengimbangi. 

Yaitu dengan memposting  berita yang meluruskan, dan mengoreksi di internet secara cepat dan massif.

Berita pengimbang itu dapat muncul cepat di Google Search melalui Fact Checker. Pemerintah selaku wasit pemilu harus peduli mengembangkan secara massif fasilitas Fact Checker.

Begitu kompleksnya politik digital tapi penting, topik ini menjadi bagian dari Mini MBA Marketing Politik. Ini kelas yang dibuat kerjasama antara LSI Denny JA, SBM ITB, dan Koenci.

Politik digital dalam pemilu kita berlakukan seperti menerima setangkai bunga mawar yang berduri. Kita nikmati bunganya, namun hati-hati dengan durinya.

CATATAN

1. Laporan Senat Amerika Serikat mengkonfirmasi keterlibatan Rusia dalam pemilu presiden AS di tahun 2016.

https://www.pbs.org/newshour/amp/politics/senate-panel-finds-russia-interfered-in-the-2016-us-election

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, dan Penulis Buku.