telusur.co.id - UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah diundangkan melalui Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 245 tanggal 2 November 2020. Bahwa diketahui bersama ada beberapa Pasal, Ayat yang tidak berkorelasi (pasal 5 tidak mempunyai ayat dan huruf dengan Pasal 6), definisi yang hanya pengulangan kata (Pasal 40)  dan pengulangan frasa kalimat dalam ayat satu ke ayat lain (Pasal 50).

Sekjen DPN ISRI, Cahyo Gani Saputro mengatakan bahwa, itu merupakan Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa sehingga atas hal tersebut sembari menunggu draf peraturan pelaksana, Pembentuk Hukum dan seluruh stakeholder dapat mempersiapkan bahan atau materi dalam mengawalnya. 

Memang terdapat beberapa catatan dalam pengesahan UU Cipta Kerja yaitu terlalu terburu-buru sehingga kurang maksimal dalam menyerap atau dengar pendapat stakeholder dan belum mengadopsi Metode Omnibus Law dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun memang UU Cipta Kerja di butuhkan dan mempunyai maksud yang baik dalam rangka mempermudah rakyat untuk berusaha atau memperpendek jalur birokrasi yang panjang, meningkatkan ekspor dan meningkatkan produksi rakyat ujarnya. 

Selain itu, Sekjen DPN ISRI ini menambahkan bahwa, dalam hal memudahkan berusaha juga harus ada titik tekan dalam perlindungan Usaha Mikro Kecil, yangmana bukan sekedar kemitraan usaha besar dengan mikro kecil namun pengaturan jumlah dan skala dalam wilayah pedesaan terutama haruslah BUMDes atau Koperasi sebagai pengelola. 

Menyoal "kekeliruan atau typo" dalam UU CK, Cahyo yang juga praktisi hukum ini mengatakan bahwa, dalam review dikenal ada 3 yaitu Judicial Review, Eksekutif Review dan Legislatif Review, bahwa dalam pernyataannya, jelas Presiden tidak akan mengeluarkan Perppu, dan saat ini UU CK sedang diuji oleh banyak Stakeholder di Mahkamah Konstitusi baik Uji Formal maupun Materiil. 

“Nah inilah yang dimaksud dengan Judicial Review dan saat ini pilihannya adalah Legislatif Review yaitu perbaikan atau perubahan melalui Pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Presiden,” bebernya melalui rilisnya. Jumat, (06/11/2020). 

Menurutnya, hal ini sangat tepat, karena yaitu pertama; UU CK telah diundangkan, sehingga ada kepastian hukum dalam dunia usaha dan investasi di Indonesia. 

Kedua, menunggu hasil Judicial Review Mahkamah Konstitusi Terkait permohonan dari berbagai stakeholder baik terkait formal atau pengakomidasi Metode Omnibus Law dalam UU PPP atau Materiil, muatan-muatan kepentingan atau aspirasi dari para stakeholder sehingga pertimbangan-pertimbangan dari Mahkamah dapat menjadi rujukan hukum saat perbaikan atau perubahan. 

“Ketiga, karena telah menjadi UU perlu dilakukan Sosialisasi dan aspirasi dari hasil sosialisasi tersebut menjadi bahan-bahan guna Peraturan Pelaksanaannya,” lanjutnya. 

Keempat, karena dirasa UU CK ini merupakan suatu terobosan hukum dan memperoleh respon yang sangat besar dari masyarakat, maka pemerintah melalui Kemenkumham atau BPHN membentuk Pokja guna Sosialisasi - Serap Aspirasi baik UU, persiapan Draf Pelaksana guna Didengar Pendapat kembali pada para stakeholder.  

“Apabila hal tersebut diterima oleh Pemerintah ataupun Pembentuk Hukum, akan menjadi solusi atau win-win solution atas persoalan reduksi atas suatu produk hukum,” tutup Cahyo Gani Saputro. (ari)