Oleh : Irine Hiraswari Gayatri

Puisi Esai Denny JA dalam buku Jeritan Setelah Kebebasan seperti ‘kotak Pandora’. Ketika membuka halaman pertama, untaian kata-kata akan menarik memori kita jauh ke dalam ‘masa lalu’ yang masih terasa dekat.

Rekam Jejak Kekerasan Pasca-Soeharto
Hampir tiga dekade, kenangan tentang sistem politik otoriter Indonesia yang mendapat tantangan berkelanjutan selama tahun 1998 dan mengakibatkan pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya masih abadi. 

Periode perubahan tersebut disambut gegap gempita oleh sebagian besar rakyat biasa yang ingin melihat reformasi politik dan ekonomi yang berarti.

Dua bulan setelah pemilihannya kembali untuk masa jabatan 5 tahun ketujuh pada bulan Maret, tekanan rakyat memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri demi Wakil Presiden pilihannya, B.J. Habibie. 

Di tengah gejolak setuju versus tidak setuju, Presiden baru segera mengumumkan serangkaian langkah untuk mengatasi masalah hak asasi manusia domestik dan internasional.

Faktanya, walaupun banyak warga mempertanyakan legitimasinya karena kedekatannya dengan Soeharto, Presiden Habibie segera membentuk kabinet dengan banyak pejabat di dalamnya berasal dari Kabinet Soeharto terakhir. 

Angin segar muncul dengan tanggapan Habibie untuk memajukan pemilihan parlemen selama 3 tahun, seraya mengadakannya di bawah undang-undang pemilihan yang direvisi, dan untuk menyelesaikan pemilihan presiden baru pada akhir tahun 1999. 

Selain itu, demokratisasi berlangsung setelah keluar izin pendirian partai-partai politik baru untuk membentuk dan mengadopsi sikap yang lebih responsif terhadap kelompok-kelompok yang menuntut peningkatan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Namun krisis ekonomi pun telah menimbulkan gesekan di antara kelompok- kelompok sosial dan etnis, dan ideologi. Dalam konteks ini berbagai studi tentang Indonesia menyoroti pula peran militer dan konsep "dwifungsi" yang memberi mereka peran politik dan sosial dalam pemerintahan. 

Misi utama dari aparat keamanan adalah pemeliharaan keamanan dan stabilitas internal. Kita menyaksikan bagaimana iklim pasca-Soeharto yang lebih terbuka memfasilitasi kritik dan tantangan pada doktrin dwifungsi dari mahasiswa dan kelompok sosial lainnya. 

Dengan tidak adanya perlindungan kelembagaan yang efektif, dan meskipun ada beberapa perbaikan sepanjang tahun, pendekatan yang cenderung militeristik telah menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Krisis ekonomi negara yang parah menyebabkan pengangguran besar-besaran, kekurangan pangan, dan penurunan standar hidup yang signifikan, serta peningkatan kejahatan, penjarahan, dan gejala kerusakan sosial lainnya. 

Kerusuhan besar sekitar tahun 1998-2001 di beberapa daerah mendorong tuntutan bagi Pemerintah untuk bertindak lebih efektif untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dan untuk mengembalikan kestabilan. 

Di berbagai pelosok Indonesia, studi-studi mengenai konflik menyoroti bagaimana ketidakpuasan sering terfokus pada keluhan pemilik tanah, terutama mereka yang dipaksa meninggalkan tanah mereka lewat konflik sumber daya alam. 

Hingga saat ini misalnya, eksploitasi sumber daya alam menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan dengan konsekuensi sosial yang merugikan.

Buku ini adalah artikulasi dari akumulasi pengalaman dan refleksi seorang aktivis, sastrawan, sekaligus akademisi. 

Puisi adalah medium untuk memahami seluk beluk dari konflik kekerasan dan dampaknya. Selama 40 tahun berkarya, Denny JA telah menulis banyak karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (28 buku fiksi, 15 karya nonfiksi, 13 film, 66 video animasi, 77 video opini (30 tentang ajaran Sufi + 18 video tentang Bekerja dari Rumah + 29 video tentang kemanusiaan), dan 83 buku berbahasa Indonesia (34 buku fiksi, 46 buku nonfiksi, 3 buku terkait).

Bagi saya buku “Jeritan Setelah Kebebasan” ini semacam ‘kotak Pandora’. Ketika membuka halaman pertama, untaian kata-kata akan menarik memori kita jauh ke dalam ‘masa lalu’ yang masih terasa dekat. 

Mengapa? DJA menuangkan rentetan peristiwa yang memunculkan efek ‘virtual’. Narasi-narasi dalam puisi esai yang ditulisnya menampilkan potret realitas yang sedih, pilu, dan mencuplik sedikit asa.

Antara 1999 dan 2000, kekerasan sektarian menyebar di beberapa provinsi dari kawasan Barat hingga timur Indonesia, yang menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu mengungsi. 

Di Maluku misalnya, apa yang dimulai sebagai konflik lokal antara migran dan penduduk asli atas batas-batas administratif, berubah menjadi perang agama yang mengadu domba muslim melawan Kristen dan terus mempengaruhi hubungan komunal lebih dari satu dekade setelah pertempuran berhenti.

Dirangkai berdasarkan kronika peristiwa seputar Reformasi 1998, Denny JA menuangkan perasaan dan pemahamannya tentang peristiwa konflik dan dampaknya. Dia menulis puisi untuk menyampaikan suara-suara yang “hilang” ketika konflik kekerasan terjadi. 

Keluarga dari pelaku kekerasan, suara saksi /korban tidak langsung konflik itu sendiri, suara aktor yang terlibat, suara keluarga pelaku kekerasan, bahkan, ‘suara’ dari peristiwa kekerasan itu sendiri. 

Salah satu aspek yang menonjol adalah fokus narasi pada tragedi kemanusiaan. Hal ini tertuang lewat interpretasi DJA terhadap ’suara’ lakon-lakon dalam puisi pada berbagai spektrum dinamika ketika konflik maupun dalam situasi pascakonflik yang masih menyisakan trauma.

Salah satu puisi yang memberikan impresi kuat karena penuturan jejak dari kaca mata lakonnya adalah narasi konflik etnis di Sampit. 

Saya membaca puisi tentang konflik etnis Di Sampit dengan rasa penuh kecamuk. Ketika peristiwa-peristiwa horor itu berlangsung saya adalah anak rantau di ibukota yang baru saja bekerja sebagai peneliti di LIPI. 

Sub bab tentang Sampit diawali dengan ikon foto tugu Perdamaian Sampit. Sub bab berjudul Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Suku Madura (halaman 62-99), bermuatan lima puisi esai.

Judul puisi esainya: “ Mengungsilah Dulu, Sayangku”, “Ayahku Menggali Kuburan Massal”, “Kakakku Berburu Kepala”,“Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang”, dan “Ulfah Mencari Ayah Kandung”. 

Dalam kelima puisi tersebut Denny JA cukup detail mengalihbahasakan rasa sedih, marah, dan kekerasan yang berlangsung. DJA seolah adalah saksi langsung dan tidak langsung yang menyampaikan sudut pandang ‘kesaksian’ dari peristiwa-peristiwa tersebut. 

Sebagai contoh, DJA menuangkan episode akibat konflik dari sudut pandang korban yang harus pergi dua kali dari Sampit, dalam konteks sesudah ‘perdamaian’ antara etnis Madura dan Dayak berlangsung. 

Puisi berikut ini menurut saya sangat subtil menceritakan rasa rindu, sedih, sesak, dendam, marah, asa, tak berdaya yang sangat mendalam dari dua lakonnya: Jazil, pemuda asal Madura, dan Sanja, perempuan Dayak.

“Mengungsilah Dulu, Sayangku” (hal. 62). 

Rasa yang ngilu,
pelan tapi dalam,
menyelinap di hati Jazil.
Suasana hening terbang,
dibawa angin,
memenuhi udara Kota Sampit, di satu sore tahun 2015. Sepi.
Juga sedih.

Empat belas tahun sudah,
Jazil pergi dari kota ini.
Kini, pertama kali, Jazil kembali.
Kembali ke Sampit.

Ia pulang.
Ia memberanikan diri.
Jazil pulang setelah berdiri Tugu perdamaian. Tugu suku Dayak dan suku Madura.
Jazil duduk di tangga.

Diambilnya secarik kertas, dari saku.
Catatan lama yang lusuh, dari tahun 2001, empat belas tahun lalu.
Ia baca kembali:

“Mengungsilah dulu, sayangku. Menjauh dari Kota Sampit. Semua sedang gila.
Ketika sudah reda,
kembali lagi ke sini, ke Kota Sampit.

Aku menunggumu. Kita menikah.” (Sanja, 4 Maret 2001)
Jazil terdiam.

Wajah Sanja, sang kekasih,
sudah menyatu di tulang sumsum.
Lalu Jazil menangis sesenggukan. 

Entah mengapa.
Dicoba ditahan.
Badan terguncang-guncang.
Kisah empat belas tahun lalu datang kembali. Konflik berdarah suku Dayak versus suku Madura.
Horor. Ngeri.

Puisi di atas sangat detail menelusuri perasaan Jazil, seorang pemuda yang ketika konflik berlangsung terpaksa meninggalkan Sampit kembali ke Madura, atas desakan kekasih hatinya, Sanja. 

Dengan terpaksa Jazil pergi walaupun terselip asa bahwa mereka akan jumpa kembali dan menikah setelah keadaan aman. 

Peristiwa berdarah yang memisahkan mereka ini masih terngiang di benak Jazil, sebab ketika dia kembali ke Sampit, empat belas tahun setelah konflik, hal pertama yang dilakukannya adalah membaca kembali surat Sanja yang selalu dia simpan. 

DJA melanjutkan lagi,masih dalam puisi panjang ini kronik peristiwa yang membingkai perjalanan cinta Jazil dan Sanja hingga titik perpisahan mereka:

Itu tahun 2001.

Usia Jazil 22 tahun.
Sanja, oh Sanja, gadis Dayak 20 tahun,
oh pujaan hati.
Bulan purnama depan, mereka menikah.

Rumah itu, pemberian ayah Jazil.
Mungil saja.
Tapi banyak pohon.
Berdua mereka rawat itu rumah.
“Ini nanti kamar untuk anak kita ya,” pinta Sanja.

Di ruang tamu itu, terpasang wajah Sanja.
Jazil sendiri yang melukisnya.
Cinta memenuhi itu rumah.
Kemesraan menempel di mana-mana, di plafon, di lemari, di meja.

Kasih sayang menggelantung di jendela, di pintu.
“Oh kedalaman kasih sayang, kau kupu-kupu yang selalu hinggap di hatiku.” Itulah yang dirasakan Jazil.

Saat itu, orang tua Sanja menerima Jazil.
“Saya tak tahu apakah masih ada darah Madura di tubuh saya,” ujar Jazil kepada Ayah Sanja, tokoh Dayak.
Lanjut Jazil, “Saya hanya mendengar.
Buyut saya dari Madura.
Tahun 1930, ia ikut transmigrasi ke sini.”
Tapi saya, ayah saya, kakek saya, lahir di sini, di Kalimantan Tengah.

Lalu meledaklah konflik itu.
Puncaknya 18-21 Febuari 2001.
Ratusan suku Madura tak hanya dibunuh suku Dayak, tapi juga dipancung kepalanya.

Sore itu, Jazil menjerit kencang sekali.
Ayahnya mati di tangan suku Dayak.
Jazil melolong.

Suaranya menyentuh langit:
“Tidaaaaaakkkkk!
Apa salahmu, Ayah?
Kau tak ikut konflik ini!”

Paman minta Jazil pergi dari Sampit.
“Tapi paman, aku akan menikah dengan gadis Dayak. Aku aman di sini.” Paman membentak: “Hei, kau mau mati?

Buka matamu. Lihat pak Hasyim. Istrinya juga orang Dayak. Ia juga dipancung!!”

Jazil tak terpengaruh.
“Cintaku lebih kuat dibandingkan seribu gunung, mengalahkan rasa takutku,”
Jazil yakinkan diri.
Sampailah momen itu.
kakak lelaki Sanja datang padanya, Menyampaikan secarik kertas itu.

Surat dari Sanja, memintanya mengungsi.
“Di mana aku bisa temui Sanja?,” tanya Jazil.
Sang kakak menjelaskan.
“Ini bukan waktu yang tepat.Bahaya bukan hanya buat Jazil.
Juga bahaya buat Sanja.
“Bahaya buat keluarga.
Kami akan dituduh berkhianat.”

Kakak Sanja menjelaskan. Ayah mereka juga berubah. Jazil tak lagi diterima.

Jazil orang Madura. Ayah Sanja tokoh Dayak. Bahaya di mana-mana.

Semua daun-dan ranting menjadi mata-mata. Mencari siapa pun orang Madura.
Juga suku Dayak yang membantu Madura. 

Itulah hari terakhir Jazil di Kota Sampit.
Ia mengungsi ke Jawa Timur,
naik kapal yang dikawal TNI angkatan laut.
Di tengah laut, di malam itu, di perjalanan keluar dari Kalimantan, di geladak kapal, Jazil berteriak:

“Sanja, Sanja, tunggu aku. Segera aku kembali. Tunggu akuuuuuuuu.”

Tidak jelas sama sekali, kecuali bahwa perbedaan identitas etnis yang memaksa mereka berpisah, apa yang sebenarnya harus memisahkan mereka yang akan menuju pelaminan itu. Kekerasan adalah satu-satunya asal perpisahan. 

Ayah Jazil meninggal setelah dibunuh dan dipancung kepalanya oleh salah satu warga suku Dayak, padahal keluarga mereka telah menjadi orang lokal sejak bermigrasi tahun 1930. 

Bahkan Jazil pun mempunyai pacar dari suku Dayak. Cerita bahwa ada orang Dayak yang bersuamikan orang Madura tetapi tetap dipancung oleh suku Dayak pun tidak membuatnya surut. 

Alhasil, hanya surat Sanjalah yang dapat menyuruh Jazil pergi keluar dari Sampit. Sanja telah mewujudkan rasa cintanya: menyelamatkan nyawa Jazil. 

Namun, alangkah sedihnya, Jazil bisa kembali ke Sampit tahun 2015, tapi takdir belum mampu mempertemukan mereka seperti semula.

DJA telah menjadi saksi proses Reformasi pasca mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Puisi yang ditulis di atas merefleksikan esensi kemanusiaan yang mendalam untuk memahami dampak menyeluruh dari konflik pada orang-orang yang berada di lokasi konflik. 

Bahkan pada masa sesudah konflik berakhir. Trauma dan kenangan pahit masih membekas. 

Puisi-puisi dalam buku ini mengartikulasikan kesedihan dan kegelisahan yang masih terdengar resonansinya sampai saat ini, sebab solusi tidak jelas atau tidak ada. 

Gema dari kata-kata puitis menurut saya melampaui gema dari konflik kekerasan. 

Bahasa sastrawi DJA telah 'sukses' mengeksplorasi bagaimana individu punya kuasa sebenarnya untuk berpartisipasi dalam kekerasan, sekaligus memunculkan kesadaran untuk tidak memperumit upaya resolusi konflik dan rekonsiliasi.

Seturut dengan terbitnya buku puisi ini, saya kembali mengingat bahwa tidak bisa diingkari bahwa Mei 1998 adalah penanda dari bergulirnya awal perubahan kelembagaan dan substansi demokrasi di Indonesia. 

Di satu sisi imbas dari krisis finansial yang menerpa, diikuti dengan krisis politik. Di Indonesia hal ini bermuara pada mundurnya Soeharto yang telah memimpin sangat lama. Di sisi lain, krisis politik telah membuka ruang positif dan negatif secara bersamaan atau lebih banyak dikenal sebagai ‘kotak Pandora.’

Di tengah derasnya aliran informasi yang diperantarai oleh penggunaan ‘smart gadgets’ yang cenderung nir-refleksi, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh penstudi sastra Indonesia. 

Buku ini juga sangat bernilai sebagai bahan bacaan bagi mereka yang ingin menyelami sudut pandang ‘saksi’ dari rangkaian proses perubahan sosial politik yang dinamis dan merupakan bagian sejarah Indonesia.

*Penulis adalah Kandidat Ph.D pada Monash Gender, Peace and Security Centre, School of Social Sciences, Monash University, Australia. Peneliti senior di Pusat Kajian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Buku Puisi Esai Denny JA mengenai 25 drama kisah konflik primordial di 5 wilayah dalam bahasa Inggris dapat diklik di sini: SCREAMS FOLLOWING LIBERATION (2022)

https://dennyja.world/wp-content/uploads/2022/12/Denny-JA_Screams-Following-Liberation-1_compressed.pdf