Telusur.co.id - Oleh : Dr. Ichsan Malik
Setelah membaca secara tuntas puisi esai “Jeritan Setelah Kebebasan” yang ditulis oleh Denny JA, secara umum reaksi tubuh saya adalah: mulut agak terasa pahit, dada terasa agak sesak, dan kepala agak berdenyut-denyut.
Namun pikiran sebagai seorang fasilitator perdamaian yang merasakan langsung peristiwa Maluku sejak tahun 2000-2003, pengamat dari konflik kekerasan di Sampit, peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta, peristiwa Lampung-Balinuraga, dan peritiwa Ahmadyah di NTB, saya segera membayangkan bahwa, pada hakikatnya banyak sekali pelajaran-pelajaran penting yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut, untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Sebagai aktivis perdamaian pikiran saya selalu dipenuhi rasa optimis, bahwa pada awalnya memang masyarakat yang mengalami konflik kekerasan akan mengalami penderitaan, kedukaan, trauma, keinginan untuk balas dendam, emosi yang meledak-ledak.
Namun harus ada upaya-upaya untuk bangkit kembali dari kehancuran. Upaya itu harus dimulai dari korban itu sendiri. Pada situasi inilah saya sepakat dengan satu kata mutiara dari Nietzhce yang menyatakan bahwa “everything that does not kill you, makes you stronger”.
Saya melihat bagaimana korban bangkit dari keterpurukan, menjadikan mereka manusia yang tangguh untuk menghadapi setiap permasalahan.
Berbicara perdamaian pada dasarnya kita berbicara tentang bagaimana membangun masa depan yang aman, tentram, dan adil, setelah mengalami kehancuran dan tercerai berai pada masa lalu ketika terjadi konflik.
Banyak orang yang tidak bisa beranjak dari cengkeraman kepahitan konflik masa lalu. Mereka terperangkap dalam lingkaran keinginan untuk membalas dendam kepada kelompok yang menjadi penyebab penderitaannya.
Mereka tidak dapat memaafkan (forgive) para pelaku dan juga tidak dapat melupakan (forget) semua duka dan derita yang telah ditimpakan kepada dirinya. Pada tahap ini, upaya untuk melihat ke depan atau perdamaian menjadi jalan buntu.
Maka pada situasi kebuntuan ini, seakan-akan kita diingatkan kembali kepada manusia dan kemanusiaannya. Perdamaian adalah memanusiakan kembali manusia. Konflik telah membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Kepala dipancung, jantung lawan kalau perlu dimakan, badan lawan dicincang-cincang.
Ini bukanlah perbuatan manusia yang kita pahami selama ini. Pada situasi ini saya kutip satu falsafah yang digunakan juga dalam upaya perdamaian di Afrika Selatan, yaitu falsafah “Ubuntu”.
Bunyinya sebagai berikut dalam bahasa Nguni “umuntu ngumuntu ngabantu motho kemotho ba batho ba bangwe” atau “a human being is a human being because of other human being”. Menarik, manusia menjadi manusia karena ada manusia lainnya.
Pada akhirnya kita harus mengkonkretkan nilai memanusiakan kembali manusia ini dalam bentuk suatu aksi nyata, yaitu dengan cara membangun kembali dan menata kembali kebersamaan atau “togetherness”.
Kebersamaan adalah inti dari perdamaian. Kebersamaan adalah hal yang harus diwujudkan terlebih dahulu mengatasi (beyond) upaya “memaafkan/forgiveness” dan bahkan “keadilan/justice”.
Ini memang pandangan yang agak di luar kelaziman yang ada selama ini, di mana ketika melakukan upaya perdamaian semua sibuk dengan upaya forgiveness dan upaya mewujudkan keadilan.
Saya tidak mentiadakan pemaafan atau keadilan. Tapi kebersamaan dahulu baru kita bicara pemaafan dan keadilan.
Semua uraian tersebut di atas perspektifnya akan kita gunakan untuk menghampiri kasus Konflik Maluku 1999-2002, khususnya pada puisi yang berjudul “Mengapa Saling Bunuh di Maluku”, serta puisi “Ambon Setelah Konflik Reda” yang telah diuraikan pada puisi esai.
Pada puisi “Mengapa Saling Bunuh”, memang betul ditemukan pada kenyataannya bahwa setelah konflik meluas sedemikian rupa maka masyarakat Maluku terbelah total. Semua orang harus memilih menjadi laskar kristus atau menjadi laskar jihad.
Mereka kemudian berperang untuk saling memusnahkan. Pada konflik Maluku juga sangat terkenal sekali peran provokator yang berasal dari luar Maluku. Mereka punya logika yang abnormal, bahwa di Maluku adalah perang agama antara Islam dan Kristen. Sama seperti perang salib yang telah terjadi ribuan tahun lalu.
Islam dan Kristen memang sudah dari sananya saling bunuh-bunuhan dan saling memusnahkan. Logika abnormal bahwa ini adalah perang agama memang telah membuat semua orang gelap mata.
Semua ingin berpartisipasi untuk berperang. Semua orang ingin menjadi laskar jihad dan laskar kristus, dan siap mati.
Pada puisi “Ambon Setelah Konflik Reda” kita melihat bahwa mereka semua belajar untuk menjadi manusia kembali. Belajar kembali untuk saling kasih mengasihi. Belajar kembali harmonis, saling hormat menghormati meski beda agama seperti sebelum konflik berdarah meledak.
Mereka ingat kembali bahwa, ada persaudaraan “pela” antara Islam dan Kristen. Bahkan walaupun mereka terpisah secara agama tetapi mereka adalah “pela gandong” yaitu seperti layaknya saudara sekandung.
Kesadaran bahwa “torang basudara” sebagai orang Maluku, menjadi obat yang sangat mujarab untuk mempercepat penyembuhan luka-luka psikologis akibat konflik berdarah dari orang Maluku.
*Penulis adalah pria kelahiran Bandung, 6 September 1957. Mendapatkan gelar doktor psikologi dari Universitas Indonesia tahun 2012. Pada tahun 2000-2003 menjadi inisiator dan fasilitator gerakan Baku Bae Maluku. Pada tahun 2011 menjadi fasilitator perdamaian Afghanistan bersama Nahdatul Ulama Indonesia.