Telusur.co.id - Oleh : Anis Hidayah
Buku puisi esai Denny JA yang berisi sejarah kelam ini merupakan bentuk keberanian dalam upaya mengungkap kebenaran dalam bentuk karya sastra.
Penegakan HAM harus terus berjalan. Meski harus melawati jalan terjal dan berliku yang penuh tantangan. Ini semua tentang kemestian bagi bangsa ini untuk memilih kehidupan yang lebih beradab dan menghargai manusia.
Ini tentang sejarah bangsa yang hingga kini masih berselimut tebal bayangan gelap pelanggaran HAM. Kita tak patut diam terhadap pelanggaran HAM yang selalu mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan, trauma mendalam, dan tidak jarang penghilangan nyawa dalam rintih yang terbungkam.
Ketidakadilan serta perlakuan diskriminatif atas ras dan etnis, bahasa, agama, jenis kelamin, dan pilihan politik terus terjadi. Tak jarang aktornya adalah mereka yang mengatasnamakan negara untuk laku durjananya.
Di antara tragedi kemanusiaan yang terbungkam itu adalah perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998. Tak banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi kasus ini secara komprehensif. Bahkan data korban saja tak bisa dipastikan.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyimpulkan sebanyak 52 orang. Data berbeda disampaikan oleh Kalyanamitra yang menyebutkan lebih dari 150 perempuan menjadi korban perkosaan.
Presiden Habibie menyatakan mengutuk kejahatan seksual tersebut dan menjanjikan perlindungan kepada setiap warga negara.
Menindaklanjuti kasus tersebut, akhirnya pertemuan para korban, aktivis perempuan dan pembela HAM dengan Presiden kala itu menghasilkan berdirinya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Ironisnya hingga hari ini belum ada satu pun pelaku tragedi kemanusiaan ini yang ditangkap, apalagi dinyatakan bersalah secara hukum dalam proses peradilan.
Hukum, juga otoritas negara tumpul dalam banyak kasus pelanggaran HAM di negeri ini.
Upaya untuk menuntaskan kasus peristiwa Mei 1998 maupun berbagai pelanggaran HAM berat lainnya masih dirasakan berjalan di tempat. UU. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU. No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki celah hukum yang gampang digunakan untuk mengukuhkan impunitas, ketika komitmen politik tidak memihak dalam penegakan HAM.
Belum lagi proses legislasi pasca pembatalan Mahkamah Konstitusi pada UU. tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berjalan pelan dan bahkan ditengarai lebih cenderung digunakan untuk memeti-eskan kasus.
Menghadapai realitas politik yang seperti ini, komunitas korban Tragedi Mei 1998, terutama perempuan korban kekerasan seksual, memilih untuk terus bungkam untuk menunjukkan sikapnya.
Bungkamnya korban perkosaan pada tragedi Mei 1998, menjadi salah satu renungan yang menarik dalam buku puisi esai Denny JA ini.
Puisi esai “Rahasia yang Dibawa Mati” menggambarkan kisah kehidupan sepasang suami istri Li Wei dan Jiang yang pilu. Li Wei memilih seumur hidupnya menutup rapat kisah kelamnya sebagai salah satu korban perkosaan pada tragedi Mei 1998.
Bahkan pada suaminya sendiri dia tidak mampu berkisah hingga akhir hayatnya. Sang suami baru mengetahui semua apa yang dialami istrinya setelah membaca buku diari yang ditinggalkan.
Percakapan Li Wei dan Jiang dalam puisi esai tersebut menyalakan ingatan tentang tragedi Mei 1998 bagi yang terlibat dalam sejarah reformasi di negeri ini.
Mengaduk emosi dan air mata setiap membaca dialog Li Wei dan Jiang. Tak dapat dibayangkan, berapa perempuan korban perkosaan yang terpaksa membisu di ruang sunyi nan gelap pasca-reformasi hingga hari ini.
Tentu ini bukan sekadar soal angka. Tapi ini tentang tragedi kemanusiaan yang tidak
pernah diseslesaikan dalam setiap episode sejarah bangsa ini.
Ketika membaca kisah ini, saya seperti memeluk Ruyati, Tuti Tursilawati, Karni, dan Siti Zaenab. Mereka adalah perempuan pekerja migran Indonesia yang dieksekusi mati di Saudi Arabia setelah berjuang melawan majikannya yang memperkosa dan melakukan penganiayaan.
Tuti Tursilawati, PRT migran asal Majalengka Jawa Barat dieksekusi mati di Saudi Arabia pada hari Senin, 29/10/18 tanpa selembar informasi resmi dari kerajaan.
Padahal bulan Februari 2018 sebelumnya, Raja Salman bersama jajarannya berkunjung ke Indonesia penuh dengan sambutan hangat dan luar biasa.
Bahkan seminggu sebelumnya, menteri luar negerinya juga berkunjung ke Indonesia dan membahas hal-hal strategis terkait hubungan dua negara, termasuk buruh migran.
Yang lebih menyedihkan, eksekusi tersebut dilakukan dalam bulan yang sama ketika Kementerian Ketenagakerjaan dan Pembangunan Sosial Arab Saudi dan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menandatangani kesepakatan tentang pekerja migran atau MoU on Techinal Agreement pada 16/10/18.
Sungguh bangsa ini belum cukup memanusiakan warga negaranya.
“Rahasia yang Dibawa Mati” adalah satu dari 25 kisah yang ada dalam buku puisi esai “Jeritan Setelah Kebebasan” karya Denny JA yang mengangkat lima kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Kelima kasus tersebut adalah konflik Ambon, konflik Sampit, kerusuhan Mei 1998, kasus pengungsi Ahmadiyah di Mataram, dan konflik Lampung Selatan antara suku Lampung dan Bali.
Buku puisi esai yang berisi sejarah kelam ini merupakan bentuk keberanian dalam upaya mengungkap kebenaran dalam bentuk karya sastra.
Buku ini juga menjadi obor para pencari keadilan yang hingga saat ini masih menemui jalan buntu.
Buku ini bukan sekadar karya sastra. Ketika sejarawan tak mampu mengeja peristiwa kelam pelanggaran HAM, buku ini hadir sebagai referensi untuk mengisi rumpang sejarah yang pernah terjadi.
Sehingga buku ini penting untuk dibaca, terutama generasi muda yang lahir pasca 1998.
Kisah-kisah yang ada dalam buku esai puisi dengan latar 5 tragedi pelanggaran HAM di Indonesia ini ditulis seakan bernyawa. Pesan-pesan tentang impunitas, trauma para korban, dan lemahnya perlindungan negara sangat kuat dalam buku ini.
Semoga pesan-pesan ini dapat menyapa para pembaca sehingga tergugah untuk menjadi laskar yang turut serta mendorong proses pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Terkhusus untuk para korban kasus perkosaan dalam tragedi Mei 1998, mudah-mudahan setelah pemerintah mengesahkan UU. nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual benar-benar menjadi wujud kehadiran negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual sekaligus tonggak dimulainya peradaban hukum baru untuk mengakhiri kerentanan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
Empati kepada korban harus selalu kita miliki, karena bagi korban perkosaan, lukanya akan terus menganga. Bahkan hingga akhir usia.
*Penulis adalah perempuan kelahiran Bojonegoro, 7 November 1976. Komisioner terpilih Komnas HAM 2022-2027. Menerima banyak penghargaan, antara lain: Yap Thiam Hien Award 2014, 100 perempuan inspiratif dunia, BBC 2013.