Telusur.co.id - Oleh : Hasanuddin
Memperingati 1 Juni 2023, sebagai hari yang bersejarah bagi Pancasila, ingin kami berbagi "catatan" tentang "Keberlangsungan Pembangunan" dengan harapan menjadi bagian dari kehendak umum rakyat Indonesia yang sedang memperjuangkan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Jusuf Wanandi (Pendiri CSIS) yang mukim di Singapura itu, tampil di acara TV, yang dipandu Rosiana Silalahi. Videonya wawancara itu viral dan percakapan secara lengkap dapat kita simak di youtube KompasTV.
Menarik bahwa, pendiri CSIS itu sangat khawatir, jika Presiden berikutnya bukan dari kalangan "mereka". Bukan sekutu politik Jokowi yang saat ini sedang berkuasa. Ia menyarankan supaya pilpres 2024 "diusahakan" agar hanya di ikuti dua pasangan calon, dan secara visi harus sama yakni "menjamin kelangsungan" program-program pemerintahan rezim Jokowi. Tidak persis seperti itu kalimatnya, namun dengan mudah dapat ditafsirkan demikian.
Nampaknya jurus memasang dua pasangan Calon Presiden seperti yang dilaukan pada Pilpres 2019 lalu ingin diulang lagi oleh kekuatan oligarki. Dan kita bisa menebak dengan mudah kedua tokoh yang hendak mereka usung, untuk memastikan "kenyamanan" mereka.
Para "pemain" besar dalam perekonomian Indonesia memang pada umumnya mukim di Singapur. Mereka warga negara kelas elit di Singapur. Pabrik, kebun, industri manufaktur mereka memang berada di Indonesia, namun mereka mengendalikannya dari Singapura. Tentu saja untuk kebutuhan menjamin "kelangsungan" kenyamanan mereka itulah mereka harus memastikan Presiden Indonesia dapat mereka kendalikan.
Ekspor pasir laut, yang ditutup sejak era pemerintahan SBY, kini dibuka lagi oleh Jokowi. Tujuannya supaya pasir dari Indonesia itu digunakan membangun dan memperluas daratan Singapur. Kenaikan permukaaan laut kian mengikis pantai dan mempekecil daratan negeri itu.
Memperluas daratannya sama dengan memperlebar garis "median" yang menjadi pembatas Indonesia dengan Singapura. Dengan mengekspor pasir ke Singapura, sesungguhnya Jokowi tidak hanya menjual pasir tapi juga "menjual" batas wilayah perbatasan Indonesia dengan Singapura. Itulah contoh mutakhir, bagaimana pemerintahan Jokowi melayani oligharki yang mukim di Singapura itu.
Keberlangsungan pembangunan nasional, sebab itu mesti menjadi perhatian kita semua. Dengan memastikan bahwa, Presiden berikutnya (yang menggantikan Jokowi), bukan "boneka" oligarki. Rakyat mesti diberi edukasi politik supaya pilihan mereka tidak diberikan kepada partai-partai yang memajukan Capres "Boneka".
Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Singapura itu tentu penting untuk dijaga, namun pola hubungan mesti diperbaiki dengan menempatkan posisi Indonesia secara berdaulat, dan bermartabat. Bukan didikte dan disepelekan. Hal yang sama tentu juga berlaku kepada semua negara sahabat.
Keberlanjutan pembangunan, tentu memiliki prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi. Prasyarat adanya Presiden baru tentu salah satunya. Namun bukan hanya itu. Harus ada visi baru sebagai kelanjutan dari interpretasi atas tujuan kita bernegara sebagaimana yang jelas termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Visi baru ini diajukan dengan memperhatikan sisi kelemahan atau kekurangan, hambatan, tantangan serta peluang yang dapat dilakukan dengan sebesar-besarnya pelibatan seluruh rakyat Indonesia sebagai subjek pembangunan. Bukan semata jadi objek pembangunan.
Berdasarkan pemikiran demikian, dengan memperhatikan realitas sosio-ekonomi masyarakat, pilihan menghadirkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi sangat tepat dan relevan.
Bukan semata karena kalimat itu tertuang dalam naskah Pancasila dan UUD 1945 yang dengan demikian merupakan tugas dan tanggungjawab negara untuk diwujudkan, namun juga selaras dengan realitas sosio-ekonomi masyarakat yang semakin mengalami ketimpangan.
Di lain pihak penegakan hukum, yang menghadirkan rasa keadilan sosial juga amat urgen sebagai pertimbangan mengusung visi membangun "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu".
Visi ini telah dicetuskan dan digelorakan oleh salah satu Bakal Calon Presiden; Anies Baswedan, dan terbukti memperoleh sambutan luar biasa ditengah masyarakat.
Sebagai negara demokrasi, sudah barang tentu mempertimbangkan kehendak mayoritas rakyat merupakan sebuah keharusan.
Indonesia dengan beragam suku, maupun agama hanya bisa ditegakkan dengan menjunjung tinggi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang beraneka ragam itu.
Oleh sebab itu, kekuatan oligharki yang memonopoli berbagai sumber daya ekonomi politik melalui tangan-tangan "boneka" kekuasaan bentukan mereka, adalah "musuh" yang nyata dalam penegakan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.
Itulah yang pertama kali mesti diatasi dalam rangka mewujudkan visi keberlangsungan pembangunan nasional. Dengan demikian, keberlanjutan pembangunan nasional itu, kita maksudkan sebagai keberlanjutan upaya-upaya mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagimana amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Demikianlah kita mesti memaknai keberlanjutan pembangunan nasional itu, dan bukan sebagai keberlanjutan kekuasaan oligharki dengan boneka kekuasaanya.
Semoga Allah swt senantiasa menolong kita dalam menegakkan Pancasila di Bumi Pertiwi!
*Ketua Umum PB HMI periode 2003-2005.