Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Saat itu sekitar 10 hari lagi pencoblosan pemilu presiden 2019. Pintu di kantor saya di ketuk. “Pak,” resepsionis menyebut nama, “dari luar kota ingin jumpa.” Cepat saya menjawab: “silahkan.”
Laki-laki itu, berjalan pelan, seperti menahan sakit, duduk. Ia menyampaikan pesannya mengapa jauh-jauh dari luar kota ingin datang. Ia bicara dalam bahasa palembang. Saya tuliskan terjemahannya.
“Saya sejak dulu ikut pengajian komunitas Habieb Riziq. Kami diarahkan memilih Prabowo di pilpres nanti. Tapi saya ingat kamu. Kamu membantu Jokowi.”
“Saya tak ingin menghianati kamu. Sejak dulu kamu banyak bantu saya. Ingin arahan, saya harus coblos siapa nanti?”
Saya terdiam, tertawa kecil dan terharu. “Datang jauh jauh dari Cianjur hanya ingin diskusi ini?”, tanya saya. “Betul, “ jawabnya.
Saya katakan padanya. Memilih capres itu urusan pilihan hatinya sendiri. Itu tak ada hubungan dengan kekeluargaan atau persahabatan kita.
Ia pun lega.
Sekitar 15 tahuh sebelumnya, ibunya ke Jakarta, dirawat di rumah sakit. Saya dikontak. Ibunya ingin bicara empat mata saja. Ibunya adalah kakak ibu saya.
“Den,” ujar wak Isa, demikian saya memanggilnya. “Tolong wak Isa. Wak Isa belum ikhlas wafat jika (menyebut nama) belum menikah. Tiga tahun lagi usianya 50 tahun, tapi masih belum ada jodoh.”
“Tolong Denny cari solusi.” Saya terdiam mendengar permintaan Wak Isa. Agar wak Isa tenang dan memiliki semangat sembuh, saya katakan: “baik Wak. Tapi Wak Isa harus semangat agar hadir dalam pernikahannya. “Ya, Insyaallah,” jawab Wak Isa.
Saya pun menghubungi kakak tertua saya yang lebih bergaul. Saya minta ia bentuk tim mencari jodoh. Kami pun membentuk tim. Setiap minggu tim laporan pada saya.
Tim bekerja berbulan-bulan. Sekitar 5-7 wanita sudah dipertemukan dengannya. Sampai akhirnya ketemu jodoh dan menikah.
Sepuluh hari lalu, ia mengirimkan foto rumahnya. Ada dek di atap rumahnya yang langsung ke langit. Ia sering sholat di sana, di alam terbuka. Bermain dengan anaknya juga kadang di dek itu.
Kadang ia tidur di sana sambil melihat bintang, membuat puisi. Di masa kanak-kanak kami memang sering gelar tikar di rumput malam hari, tiduran melihat bintang.
Berkali-kali ia berterimakasih karena saya membantunya memiliki rumah itu. Lagi dan lagi.
Ketika malam piala dunia, Argentina versus Prancis di bulan Desember 2022, ia datang dari Cianjur ke Jakarta, ingin menemani saya menonton final bola itu.
Tapi pagi, telepon saya menyala berkali-kali. Saya dapat kabar, ia meninggal mendadak sakit jantung, di Cianjur.
Hari ini, hari ia wafat, saya sudah ada janji. Namun saya kalahkan janji itu. Saya harus ke Cianjur. Saya ingat percakapan itu. “Jika sudah datang waktuku,” ujarnya, ia ingin saya berdoa di jasadnya.
Namanya Khafix. Ia tidak terkenal. Tapi ia sosok menyimpan kesetiaan yang sangat murni, sangat tulus. Saya sudah bersamanya sejak usia saya tiga tahun, bermain catur sejak kecil. Bersama juga melewati masa remaja dan dewasa. Bulan lalu ia berniat membantu saya berternak ikan koi di villa Mega Mendung.
Selamat jalan Khafix. Terima kasih atas kesetiaan yang panjang. Terima kasih menjadi contoh bahwa manusia bisa begitu tulus merawat persahabatan.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, dan Penulis Buku.