telusur.co.id - Tinggal menghitung hari, Tim Nasional (Timnas) Indonesia akan segera menghadapi lanjutan putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Tim berjuluk Skuad Garuda itu akan bertempur melawan kandidat kuat seperti Timnas Jepang, Timnas Arab, hingga Timnas Australia. Selain itu Skuad Garuda juga akan berhadapan dengan Timnas Cina dan Timnas Bahrain demi meneruskan asa lolos ke Piala Dunia 2026.
Keberhasilan Skuad Garuda menuju putaran ketiga tidak terlepas dari kerja keras tim. Termasuk para pemain diaspora yang juga menjadi sorotan berkat performa apiknya selama pagelaran kualifikasi tersebut. Dosen Antropologi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), Rizky Sugianto Putri, S.Ant., M.Si. mengemukakan pandangannya soal pemain diaspora dalam sebagai punggawa garuda.
Menurutnya, pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae Yong (STY) telah mengambil langkah tepat sebagai pionir dalam memanggil pemain diaspora. Sebelumnya, Timnas Indonesia telah melakukan banyak pergantian pelatih yang hanya mencari hasil instan dengan mendatangkan pemain naturalisasi yang tergolong senior.
“Kesalahan fatal kita itu ada pada naturalisasi, bukan diaspora. Kalau proses seleksi diaspora ini kan yang dicari benar-benar mencari bibit unggul. Jadi usia-usia kelompok umur seperti U-19, U-17, dan U-15 itu yang dicari dan dimonitoring. Karena ini memang usia ketika mereka masih bertumbuh pesat,” bebernya kepada Unair News. Jumat, (02/8/2024).
Pengaruh Genetik
Tidak dapat dipungkiri bahwa, fisik memang jadi salah satu faktor penentu baik atau tidaknya seorang atlet, termasuk atlet sepak bola. Rizky mengatakan variasi genetik dapat memengaruhi kualitas fisik dari seorang pemain.
“Mereka yang memiliki campuran entah dari Kaukasoid kemudian dari daerah Mongol lainnya pasti variasi genetiknya lebih berwarna. Jika kita bandingkan dengan sesama Indonesia. Hasilnya ketahanan fisik lebih unggul,” tegasnya.
Namun, terlepas dari fisik, Rizky mengungkapkan bahwa, sebenarnya pemain yang besar di Indonesia secara kemampuan tidak kalah dari pemain diaspora.
“Kita lihat Danone Cup, U-12 yang berangkat bersaing Perancis, Jerman, Inggris bisa, anak-anak kita bisa. Tim sepak bola U-12 kita bersaing tapi mulai umur 15, 17, 19 kita mulai hilang. Itu lemahnya kita, maka pembinaan kelompok umur penting,” sebutnya.
Liga bagi Kelompok Umur
PSSI di bawah Erick Thohir telah menunjukkan kinerja luar biasa. Meskipun begitu, bagi Rizky, masih ada pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Satu hal yang ia soroti adalah pembuatan kompetisi liga bagi kelompok umur.
“Ketika proses scouting diaspora, itu baiknya dijalankan dalam batasan kelompok usia juga. Maka, di dalam negeri harus dilakukan program yang serupa agar bisa in line,” tukasnya.
Menurutnya, pengamatan terhadap pemain potensial atau bibit unggul dapat dilakukan melalui kompetisi atau kejuaraan kelompok umur pada tiap-tiap kota.
“Saya yakin di seluruh negeri ini banyak scouting yang sudah profesional dan Sekolah Sepak Bola (SSB) juga banyak. Cuma kompetisi atau liga kelompok umur yang tidak ada,” tutupnya. (ari)