Telusur.co.id - Oleh : Dr. Jo Priastana
- Review atas Pemikiran Denny JA Soal Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
“Science without religion is lame. Religion without science is blind.” Albert Einstein (1879-1955)
Saya menyambut dengan sangat antusias kehadiran buku Ahmad Gaus AF yang berjudul ““Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama,” sebuah buku yang mengulas pemikiran agama Denny JA dan kemudian meringkaskannya menjadi sembilan pemikiran agama Denny JA di Era Google.
Tampaknya, buku ini hadir untuk melengkapi dan mempermudah dalam memahami pemikiran-pemikiran agama Denny JA yang bertebaran di dalam beberapa bukunya dan medsos.
Pemikiran agama Denny JA menarik dan memikat, seakan-akan dirinya hadir pada saat yang tepat di Era Google ini.
Era kemajuan teknologi informasi, era digitalisasi yang merupakan sebuah zaman baru dari perkembangan atau evolusi masyarakat homo sapiens, dari era nomadisme berburu, berlanjut ke masa menetap pertanian, tumbuhnya masyarakat berilmu pengetahuan dan era teknologi informasi masa kini.
Sebuah buku yang berisikan komentar dan ringkasan pemikiran agama dari tokoh pemikir agama yang sesuai dengan zamannya di Era Google yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan riset.
Buku Ahmad Gaus AF ini membantu saya dalam memahami esensi dan pokok-pokok pemikiran agama Denny JA yang sejauh ini saya ketahui sekilas dari penuturan-penuturannya di media sosial dan beberapa judul bukunya.
Ujian Sembilan Butir Tesis
Sebuah karunia bagi saya diminta menanggapi atau merespons buku ini. Saya menjadi semakin mengenali substansi pemikiran agama Denny JA. Sosok Denny JA sebagai pemikir agama model baru berdasarkan sains dan riset melengkapi aktivitasnya di bidang riset sangat menarik dan memikat.
Menarik dan memikat untuk semakin mendalami pemikiran agama Denny JA yang merupakan sosok yang begitu berkarakter dalam samudera pemikiran agama yang berkembang di nusantara saat ini.
Pemikir agama yang kehadirannya seakan memperoleh tugas dari alam semesta dalam mengemban perkembangan zaman melalui hukum-hukum sains dan hasil riset.
Sosok Denny JA sebagai pemikir agama di antara tokoh-tokoh besar pemikir agama yang pernah hadir nusantara, seperti: Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madji, Ahmad Syafi’i Maarif dan lain-lainnya.
Buku yang terdiri dari sembilan bab dan berisikan sembilan butir pemikiran agama Denny JA ini memang layak mendapat sambutan.
Kita semakin mengenali pemikiran agama Denny JA yang mencerdaskan dan mencerahkan serta inspiratif bagi kita semua sebagai makhluk agama dan kepercayaan sejak kehadirannya sebagai homo neanderthal dan berlanjut sebagai homo sapiens.
Sungguh sebuah aktivitas akademik yang sangat baik yang telah dilakukan Bung Ahmad Gaus Gaus AF dalam mengomentari dan menarik kesimpulan sembilan butir pemikiran agama Denny JA.
Dihadapkan pada sembilan butir pemikiran agama Denny JA menjadikan saya layaknya kembali sebagai mahasiswa yang sedang menghadapi ujian tatap muka mata kuliah filsafat di mana sang dosen penguji menyodorkan butir-butir tesis-tesis yang perlu ditanggapi.
Dan pastinya sebagai mahasiswa dengan kemampuan rata-rata saya tidak akan mampu merespons semuanya, meski telah mengusahakan sepenuhnya, namun tampaknya tidak akan tuntas dan hanya sejauh sepengetahuan saya dengan berlatar belakang perspektif Buddhis.
Bila layaknya ujian di mana sang dosen mengawali petanyaannya setuju atau tidak setuju, maka saya akan pasti dan tegas menjawab setuju terhadap sembilan butir tesis pemikiran agama Denny JA tersebut.
Tentu saja jawaban ini oleh sang dosen dinilai belum mencukupi dan memerlukan penjelasan lebih jauh.
Dalam Semangat Saintifik
Secara garis besar, saya menarik kesimpulan, kekhasan Denny JA sebagai pemikir agama adalah dikemukakannya riset sains untuk melengkapi agama dan spiritualitas.
Riset tidak bisa dilepaskan dengan ilmu pengetahuan, sebagai hasil temuan kelanjutan pembuktian empiris. Hubungan agama dan sains ini mengingatkan saya pada pernyataan Albert Einstein (1879-1955) bahwa, “Science without religion is lame. Religion without science is blind.”
Sebagai anak kandung yang muncul di era sains modern dan menempuh pendidikan mengenai riset dan dikenal sebagai tokoh riset nasional, tampaknya langkah yang ditempuh Denny JA sebagai pemikir agama adalah sebangun dengan apa yang diucapkan oleh Einstein.
Ucapan Einstein bahwa agama harus sejalan dengan ilmu pengetahuan sudah dikenal luas dan diiyakan kalangan agama termasuk kaum Buddhis.
Namun begitu, Denny JA lebih jauh melangkah melengkapinya dengan hasil riset ilmu pengetahuan untuk dihadapkan ke mahkamah agama.
Keselarasan agama dengam ilmu pengetahuan juga berlaku pada Buddhisme seperti adanya ungkapan “Buddha’s intention was nothing else than to establish what we call a religion of science.
Englightment and science are interchangeable World” (Paul Carus, 1852-1919, Filsuf, Pembelajar Comparative Religion).
Selain itu ada juga pendapat dari Henry Steele Olcolt (1832-1907) yang mengungkapkan, “Buddhist is in reconciliation with science. Like science: “That all beings are alike subject to universal law.”
Tentu saja, kita juga tidak menutup mata terhadap kehidupan beragama di kalangan Buddhis yang juga masih jauh dari sikap-sikap saintifik cerminan tahap positivisme.
Kekuatan pemikiran agama Denny JA yang berdasarkan pada riset hasil-hasil ilmu pengetahuan mengingatkan kita pada pemikiran Filsuf Auguste Comte (1798-1857) yang mengemukakan tiga tahap perkembangan akal budi yang bergerak secara evolutif linier.
Berawal dari tahap teologis yang mengandung animisme, dinamisme, politeisme, monoteisme, berlanjut ke tahap metafisis yang bercirikan ideologis dalam konsep abstrak dan mencari hakikat atau esensi sesuatu, ide-ide, serta tahap positivisme di mana gejala dan kejadian diobservasi secara empiris untuk menemukan hukum-hukumnya yang sumbernya diperoleh secara langsung dan dapat dialami setiap orang. (Zainal Abidin, Filsafat Manusia).
Pemikiran agama Denny JA yang menekankan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, pada iman berbasis hasil riset ilmu pengetahuan mencerminkan pandangan keagamaannya yang terbuka pada kebebasan berpikir dan saintifik.
Hal ini juga ditekankan di dalam Buddhadharma, yakni adanya keterbukaan bagi kebebasan berpikir dan sikap inquiry (inquiry attitude) untuk menemukan hukum kesunyataan.
Keyakinan atau sraddha juga harus dihadapkan kepada sikap kritis dalam menyikapi kebenaran agama. Buddha menekankan bahwa suatu kebenaran itu hendaknya dapat dibuktikan terlebih dahulu, artinya dialami (empiris) dan tidak hanya dipercayai begitu saja.
Ujar Buddha, “Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar (anussava), atau yang berdasarkan tradisi (parampara), berdasarkan desas desus (itikara), atau yang ada di kitab suci (pitaka sampadana), yang berdasarkan dugaan (takka hetu), berdasarkan aksioma (naya hetu), yang berdasarkan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (ditthi-nijjah-akkh-anitiya), atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabbarupataya), atau yang berdasarkan bhikkhu itu adalah guru kita (samano no guru)” (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya).
Kalimat Buddha dalam Kalama Sutta menegaskan jangan percaya begitu saja pada kitab suci memperlihatkan keberadaan kitab suci pun harus terbuka untuk dimaknai dengan kebebasan menyelidiki dan verifikasi sebagaimana dikerjakan sains.
David L. McMahan yang menggeluti tentang Buddhisme dan Modernisasi mengungkapkan:
“Buddhism is a religion in which you don’t really have to believe anything in particular or follow any strict rules; you simply excecise compassion and intuition ...it is democratic, encourages freedom of thought, and is more of a “spirituality” than a religion” (“The Roudledge Comnpanion to Literatur and Religion,” 2016, edited by Mark Knight).
Membaca pemikiran agama Denny JA tentang iman berbasis riset, kitab suci di abad 21, dan bab-bab lainnya, mengingatkan saya akan ciri saintifik dalam Buddhadharma.
Denny JA telah melangkah jauh dengan langkah saintifik dalam hasil-hasil riset ilmu pengetahuan yang kiranya juga akan disetujui oleh setiap ilmuwan agama termasuk kalangan Buddhis.
K.N.Jayatilleke, Sarjana dari Sri Lanka dalam “Buddhism and the Scientific Revolution,” (1950) menerangkan:
“Buddhism accords with findings of science, and emphasizes the importance of a scientific outlook in that “its specific dogmas are said to be capable of verification.”
Kiranya kita setuju pemikiran Denny JA tentang perlunya iman berbasis riset. Hal ini sejalan dengan Buddhadharma yang berkarakter ilmu pengetahuan. Buddhadharma yang bersifat saintifik (Buddhism as Scientific) dan sebagai ilmu pengetahuan spiritual (inner science) yang menekankan pertumbuhan kesadaran, mengenali mind yang menjadi sumber kebahagiaan hidup manusia.
“The Buddha declared that primary factor and most powerful force of the universe is the Mind. Scientists today are seeing this Truth – realizing that the Mind of a person can create reality in what is perceived.
Mind energy is not yet fully understood by Science. The Buddha however, teaches us in great detail about dynamics of the Mind. The mastery of the Mind is of the greatest important as it is to True Happiness and Liberation”. (“Be a Lamp.” 1999. Singapore: Kong Meng San Phor Kark See Monastery).
Sementara Sharon Begley dalam bukunya, “Train Your Mind, Change Your Brain,2007:. 11-15), mengungkapkan bahwa Buddhadharma sejalan dengan ilmu pengetahuan dan mengadung kebenaran suatu ilmu dengan ciri-cirinya:
“Tentative, subject to refutation by next experiment, prover the wrong. Buddhist emphasizes value of invertigation realities finding the Truth of the outside world as well as the content’s of one mind.
Rational argument empiricism, Critical not dogmatism, Verivication Establishing the existence of universal laws, Buddhism discovered the size of elementary particles and of the universe, that modern physics merely confirms what Buddhist sages knew centuries ago”.
Berlian di Lautan Agama-Agama
Denny JA berendam di pertemuan dua samudera: samudera spiritualitas dan samudera ilmu pengetahuan. Hasilnya ialah rangkuman intisari dan panduan hidup bahagia dan bermakna yang dirumuskan dalam Formula 3P+2S yang dikemukakan buku ini. 3P yaitu:
Personal relationship, Positivity, dan Passion. Sedangkan 2S adalah: Sense of progress plus Small winning, dan Spiritual blue diamonds.
Formula itulah yang disebut sebagai spiritualitas baru abad 21. Dalam Spiritual blue diamonds, Denny JA menemukan tiga berlian biru spiritualitas yang ada dalam lautan agama-agama
Pertama, adalah prinsip-prinsip yang menjadi intisari agama yakni The golden rule, yaitu prinsip kebajikan. Kedua, prinsip Power of giving atau derma di mana pemberian itu tak selalu berarti materi, namun dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Ketiga, prinsip The oneness. Prinsip segala hal itu satu.
Apakah kita meyakini Tuhan itu ada atau tidak, apakah Tuhan itu dalam bentuk personal God, impersonal God, para dewa, atau kita memahami dengan perspektif deisme, panteisme, agnostisisme.
Semua keyakinan itu tak bisa membantah bahwa ada sesuatu di luar kita Yang Maha Luas dan Maha Misteri, yang melahirkan kekaguman dan religiositas.
Formula yang sangat menarik, karena dan tentu saja Denny JA menyertainya dengan penemuan hasil-hasil riset ilmu pengetahuan. Formula itu seakan ringkasan dari keragaman nilai-nilai keutamaan yang sifatnya universal yang terdapat dalam diri manusia dan berlaku dalam pergaulan manusia bermasyarakat yang terpetik layaknya berlian di dalam samudera biru lautan agama-agama.
Di tengah dan kedalaman samudera biru itu manusia masih dapat membentuk dirinya kembali, memenuhi nilai-nilai keutamaannya layaknya Bima menemukan dirinya di dalam kedalaman samudera melalui telinga sang Dewa Ruci.
Perubahan selalu menandai kehidupan, evolusi masyarakat, dan berlaku juga untuk diri manusia. Begitu pula yang dapat terjadi dalam pemikiran dan perangkat kecerdasan atau otak manusia.
Fransisca Cho, Sarjana Buddhis di George Washington University menyatakan:
“Buddhism is a story of how we are in pain and suffering and how we have the power to change that. Neuroplasticity: the possibility of changing.
No instrinsic nature the self and mind both self and mind are extremely plastic.
Our activities inform who we are; as we act, so we shall become. We product the past, but because of our inhenrently empty nature. We always have the opportunity to reshape ourselves”.
Denny JA optimis akan perubahan dan menyinggung tentang neurosains yang mencerminkan bahwa manusia itu bisa berubah, perlunya mindset agar menemukan tiga berlian spiritualitas itu.
Penemuan neurosains ini juga meyakinkan bahwa buddhisme memiliki sesuatu yang substantif mengenai mind, dan potensi mengubah mindset.
Sharon Begley dalam “Train Your Mind, Change Your Brain, 2007 11-15) mengungkapkan:
“Buddhist Teaches our reality is create by own projections, is thingking that creates the external beyond us. Meditation practice as: mental training, mindset, transformation. The mind has a formidable power of self transformation.
When thoughts come to the untrained mind, they can run wild, triggering destructive emotions such as craving and hatred. But mental training, a core Buddhist practice, allows us “to identify and to control emotions and mental events as they arise.”
Kaidah Emas dan Saintifik Compassion
Mengenai persetujuan Denny JA terhadap Kaidah Emas, prinsip yang menjadi intisari agama-agama dan berlaku dalam pergaulan manusia juga sangat akrab terdengar.
Buddhadharma mengandung etika timbal balik dalam Sigalavado Sutta yang sejalan dengan kaidah emas sebagai kaidah etis untuk kehidupan sosial manusia yang lebih baik dan setara.
Kaidah emas mencerminkan kesetaraan atau impartiality bahwa “that we shall do not do any injustice to others in the way that we do not want others di the same injustice unto us”.
Kaidah emas atau kaidah kencana ini adalah juga cerminan dari keadilan atau justice yang dalam Buddhisme dimaknai sebagai impartiality atau kesetaraan. The Buddhist Dictionary defines the Pali term ‘yutti; as impartiality. Kata “yutti” juga dapat bermakna sebagai ‘a man of virtue, dan digabungkan dengan kata “dhamma” sebagai ‘yuttidhamma” yang berarti ‘a virtue of impartiality” (Buddhadatta, 1995).
Berlian The power of giving adalah nilai yang berlaku di dalam semua agama dan pergaulan manusia. Di dalam Buddhadharma dikenal Bodhisattva yang semata hidup demi membebaskan derita makhluk lain. “As long as being exist. As long as space lasts. May I. too, remain. To dissipate the suffering of the world” (Shantideva).
Tindakan empatis-altruistik Bodhisattva julukan untuk semua umat Buddha atau umat manusia menandakan manusia mampu memberi seperti dalam mahati-dana yakni berkorban yang merupakan kekuatan untuk kehidupan makhluk lain dan sumber kebahagian.
The power of giving yang diungkapkan Denny JA merupakan wujud dedikasi yang tiada lain adalah perilaku menolong atau compassion.
“Bodhisattva (Sanskrit, from bodhi “awakened” and sattva “being”): any person who, motivated by compassion, wishes to attain Buddhahood for the sake of all living beings.”(Loy David R. A New Buddhist Path: Enlightment Evolution and Ethics in the Modern World. Boston: Wisdom: 2015:126).
Pokok-pokok pemikiran agama Denny JA itu selalu disertai riset ilmu pengetahuan, termasuk juga mengenai nilai kebahagiaan dan kasih sayang, compassion yang merupakan cerminan Bodhisattva.
Pemikiran kehidupan beragama yang disertai dengan semangat saintifik ini juga sejalan dengan Karen Armstrong dalam bukunya Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, (penerbit Mizan. 2013) yang menyebut langkah menuju hidup berbelas kasih itu sebagai science of compassion.
Kita setuju dengan pemikiran agama Denny JA bahwa agama harus siap menghadapi perubahan, hukum perubahan atau anicca. Agama hadir dan tumbuh dalam memberi jawaban atas tantangan zamannya.
Demikian pula pelajaran yang dapat ditimba dari pemikiran agama Denny JA yang menawarkan jawaban yang sesuai dengan situasi kita saat ini dan perkembangan pemikiran serta kesadaran umat manusia jika agama mau tetap eksis.
Hanya dengan begitulah agama-agama termasuk Buddhisme akan bertahan, hari ini dan esok, seperti yang terjadi di masa lalu, memberi pengaruh positif pada umat manusia dan membangkitkan cinta, perdamaian, dan anti-kekerasan” (Sulak Sivaraksa, “Buddhism in a World of Change, dalam Fred Eppsteiner, ed., The Path of Compassion: Writings on Socially Engaged Buddhism (Berkeley, CA: Parallax Press, 1988:16-17).
The Oneness dan Kosmis Religion Bersama Sains
Semua kita satu dan sama. The oneness, ungkapan Denny JA. Ungkapan One for all, all for one dikenal dari aliran Avatamsaka Buddhadharma Mahayana.
Sebuah ungkapan dalam merespons tantangan pada kondisi dan zamannya yang mencerminkan tentang Tathagata-garbha atau rahim kebuddhaan.
Tathagata-garba di mana terletak sifat dasar kebuddhaan yang meliputi semua makhluk, dan semua makhluk berada dalam keadaan Tathagata-garbha. Begitu pula dengan alam semesta atau yang meliputi apa saja.
Diri dan alam semesta saling berhubungan secara universal, saling tergantung secara timbal balik dengan sendirinya. (Jo Priastana, “Filsafat Mahayana, 2017)
Tidak ada makhluk atau sesuatu apapun yang mandiri. Semua unsur dalam alam semesta (dharmadhatu) saling memiliki ketergantungan, dan bukan substansi yang terpisah atau berdiri sendiri.
Ini menunjukkan bahwa, makna pembebasan itu sendiri, pembebasan yang terjadi pada seseorang berarti adalah pembebasan untuk semua, one for all, all for one, sebuah satu dan sama dalam alam semesta, the oneness.
The oneness pada akhirnya bersama menumbuhkan kesadaran semesta, kesadaran kosmis layaknnya para dhyani Buddha yang bersemayam di candi agung Borobudur memandang ke semua arah.
Kesatuan tunggal di mana manusia tinggal di bumi dan semesta yang sama inilah yang juga mendasari kesadaran kehidupan beragama sebagai sesama umat manusia yang senantiasa selalu mencari makna.
Hal ini sejalan dengan kesadaran global dan kesadaran planetaris di mana dunia semakin terhubung melalui penyelidikan semesta tentang ruang angkasa yang mencerminkan kemajuan peradaban dan meningkatkan kedewasaan berpikir manusia dewasa ini.
Pemikiran agama Denny JA yang mencerminkan kesatuan, The oneness, membuka tumbuhnya kesadaran global yang mencerminkan kebutuhan agama yang sungguh bersifat universal-kosmis. Kita ingat apa yang pernah dikatakan Albert Einstein:
“the religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal god and avoid dogma and theology. Covering both the natural and the spiritual, it should be bases on a religious sense arising from the experience of all things, nature and spiritual, as a meaningful unity.”
Agama-agama besar tetap bersandar pada kitab suci. Manakah kitab suci untuk spiritualitas baru abad 21? Jawaban Denny JA mengutip Dalai Lama:
“Wahai Dalai Lama, dari begitu banyak kitab suci yang ada sekarang, bagaimanakah engkau membedakan kitab suci yang baik dan yang buruk?
Kitab suciku adalah kebajikan, dan apapun yang menyimpan dan mengajarkan kebaikan ia menjadi kitab suciku.”
Dengan jawabannya itu, Dalai Lama membawa perbincangan tentang kitab suci ke ranah yang mudah dipahami. Sebab baginya, kitab suci itu sangat sederhana karena ia adalah prinsip kebajikan yang menjadi pedoman hidup. (Bab 3, Kitab Suci di Abad 21).
Denny JA sang pelancong agama-agama sejak muda juga berjalan bersama Siddharta Gautama. Siddharta pendiri agama Buddha yang mengajarkan moral, kebaikan, dan meditasi yang mencerahkan dalam tumbuhnya pandangan terang atau prajna dan membuahkan welas asih atau karuna, compassion.
Denny JA takzim dengan ajaran Rumi yang terpenting yaitu ajaran cinta, compassion yang tumbuh di hati yang menyatukan apapun agama yang dipeluk oleh seseorang, apapun konsep Tuhannya, bahkan jika ia tak percaya agama, jika ia mengembangkan compassion merasa satu dengan yang lain Oneness with all, merasa menyatu dengani semesta, one for all, one for all.
Sang pelancong agama-agama sejak muda ini telah banyak berlayar mengarungi lautan biru agama-agama, dan menemukan banyak warisannya.
Kini dia melabuhkannya dengan cara baru dalam semangat spiritualitas baru abad 21. Ia memandang agama sebagai warisan kultural umat manusia yang berdasarkan hasil riset ilmu pengetahuan .
Denny JA sejalan dan bahkan melangkah memenuhi cita-cita Dalai Lama, tokoh Buddhis dunia yang sangat antusias mempertemukan Buddhadharma dengan hasil penemuan ilmu pengetahuan modern. Katanya, “Keep Buddhism growing and developing by engaging with science.”
Dengan begitu, tampaknya kalangan Buddhis pun merasa menemukan sosok spiritualitasnya pada pemikiran agama Denny JA.
Kita pun optimis akan masa depan dunia bersama tumbuhnya kebaikan dalam kehidupan umat manusia, dalam sikap mederasi beragama, kehidupan demokrasi dan kebebasan dalam segala level dan bidangnya.
Jo Priastana. Lahir di Tangerang, 1958. Menempuh pendidikan di SekolahTinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta (Sarjana Muda, 1980), Fakultas Filsafat Universitas Indonesia (S-I,1991), Program Pasca Sarjana Filsafat Universitas Indonesia (S-II, 1999), Fakultas Sosial-Politik Universitas Terbuka Jurusan Ilmu Komunikasi (S-I, 2004), Program Doctor (S3) Ilmu Psikologi Universitas Persada Indonesia “YAI” (2005), Jakarta, Program Doctor (S3) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (2020).
Saat ini bekerja sebagai dosen di STAB Nalanda Jakarta, Pasca Sarjana Universitas Indonesia Kajian Gender. Menulis artikel-artikel dan beberapa buku Buddhis.
Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Dr. Jo Priastana ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (CBI, 2023)
Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF