Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
- Sebuah Pengantar 73 Lukisan Spiritual
Silence is the language of God.
Other else is poor translation.
(Jalaluddin Rumi)
Renungan guru sufi Rumi ini yang teringat. Keheningan adalah bahasa menuju Tuhan. Tanpa keheningan, tidak khusyuk, tidak total, tidak intens untuk merasakan getaranNya.
Satu hari, summer di tahun 2011, keheningan itu saya rasakan di pusat seni dunia, Museum Louvre, Perancis. Bersentuhan dengan begitu banyak karya seni dunia di museum itu, terutama lukisan, memberikan efek keheningan yang mendalam.
Sudah sejak lama saya menyukai seni. Tapi di era summer, di museum Louvre, tahun 2011, saya merasakan pengalaman yang berbeda. Sinerji batin saya dengan suasana saat itu, bersentuhan dengan lukisan dunia memberikan saya pengalaman religius. Spiritual. Ekstase. Merasuk ke dalam.
Saya duduk berjam- jam di hadapan karya pelopor gerakan impresionis Perancis, Claude Monet (1840-1926). Lukisan itu serial Water Lilies, Bunga Teratai.
Di masa senjanya, Monet banyak melukis tema itu, Water Lilies. Para ahli memperkirakan, Monet membuat 250 lukisan untuk tema Water Lilies saja. Sebagian kecil dari karya asli Water Lilies itu dipajang di museum Louvre.
Bunga teratai dalam lukisan Monet itu begitu heningnya. Ia terasa ringan, tenang, diam di atas air. Seolah ia mengajak siapapun yang memandangnya untuk merasakan keheningan yang sama, yang asli.
Dalam hati saya berkata, alangkah senangnya jika saya bisa menumpahkan rasa hening di dalam batin saya ke dalam lukisan. Hanya dalam hitungan menit, pihak lain yang sensitif akan cepat ikut tertular merasakan keheningan yang sama melalui lukisan itu.
Tapi dibutuhkan teknik melukis yang prima. Dugaan saya, setidaknya saya perlu berlatih melukis secara intens setidaknya 10 tahun untuk sampai pada kemampuan berkarya lukis yang memadai.
Gagasan untuk mengekspresikan keheningan melalui lukisan pun saya lupakan. Saya terserap oleh banyak perhatian dan kegiatan lain.
Momen itu datang lagi. Sebelas tahun kemudian, di tahun 2022, dunia sudah berubah. Artificial Inteligence masuk lebih intens dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pun berkenalan dengan begitu banyak aplikasi lukisan. Beberapa di antaranya aplikasi itu menggunakan artificial inteligence. Saya hanya memberikan perintah dalam bentuk teks, selengkap yang saya bisa, sesuai imajinasi yang dipilih. Aplikasi artificial inteligence ini akan menerjemahkannya dalam beberapa lukisan, hanya dalam hitungan menit.
Jika belum merasa puas, pilihan itu tetap bisa saya perintahkan agar menciptakan variasi lain, hingga rasa lukisan yang diharap akhirnya datang.
Tapi ternyata, sehebat- hebatnya satu aplikasi lukisan, walau ia berisi artificial inteligence sekalipun, tetap tak bisa memuaskan apa yang saya ingin.
Dalam beberapa minggu di bulan Oktober- November 2022, saya intens menggabungkan 4-5 aplikasi lukisan, agar saling melengkapi. Trial and error, kutak katik di sini dan sana, terus dilakukan.
Untuk pengalaman saya pribadi, semata hasil dari aplikasi lukisan itu, bahkan gabungan beberapa aplikasi, tetap tak bisa memuaskan saya. Harus ada goresan dari tangan saya sendiri, dengan tarikan dan getaran batin saya, dengan olahan warna ramuan saya sendiri, hanya dengan sentuhan personal seperti itu, imajinasi saya soal lukisan terpuaskan.
Melaui penggalian yang intens, hasil akhir yang memuaskan saya adalah lukisan hibrida. Ini gabungan lukisan, yang sebagian besar dikerjakan oleh aplikasi lukisan bebasis artificial inteligence, ditambah aplikasi lukisan lain. Tapi finishing touch, roh lukisan itu memerlukan sentuhan personal dengan goresan tangan saya sendiri.
Wow, saya pun terpana melihat hasilnya. Beberapa kawan yang melihat lukisan hibrida saya itu juga terkesan.
Di momen itu, lahirlah keinginan saya untuk meneruskan apa yang pertama kali timbul di musem Louve, Perancis. Saya ingin mengekspresikan kerinduan akan rasa hening yang mendalam, dan keheningan yang saya rasakan sendiri di batin, untuk ditumpahkan ke dalam serial lukisan.
Secara teknis, dengan bantuan aplikasi artificial inteligence, mimpi itu dimungkinkan walau saya hanya menguasai teknik melukis yang elementer saja. Yang penting memang gagasannya yang harus kaya. Gagasan dan vision mengenai apa yang akan dilukiskan.
Namun sebelum membuat serial lukisan itu, saya harus menjawab dan menuntaskan tiga perkara. Pertama, bisakah saya mengklaim lukisan yang dibantu berbagai aplikasi lukisan ini sebagai karya pribadi?
Kedua, dimana beda dan differensi lukisan saya dibanding orang lain yang menggunakan aplikasi lukisan yang sama. Ketiga, karakter apa yang ingin saya tampilkan dalam lukisan itu.
Esai ini menjawab tiga hal di atas dengan positif.
Pertama, kita bisa mengklaim karya pribadi walau eksekusi dari gagasan kita itu dibantu oleh banyak orang lain, atau oleh artificial inteligence. Karya pribadi itu tidak dilekatkan kepada tim eksekutor, tapi pada penggagasnya.
Saya mulai dengan kisah patung liberty di Amerika Serikat, yang tetap dianggap sebagai karya August Bartholdi.
Tanggal 28 Oktober tahun 1886, sekitar 136 tahun lalu, Fredrerich Aguste Bartholdi terpana. Statue of Liberty itu selesai sudah.
Patung itu dibuat sebagai hadiah dari rakyat Prancis untuk memperingati aliansi Prancis dan Amerika Serikat pada masa Revolusi Amerika.
Total tinggi patung itu 92,99 meter. Lebar patung 10,7 meter. Tinggi kaki patung saja sepanjang 7,65 meter. Total berat patung 225 ton. Patung terbuat dari bahan tembaga.
Patung itu dikerjakan dalam waktu 9 tahun. Yang bekerja untuk patung itu lebih dari 1000 orang. (1)
Aguste Bertholdi tetap dikenang sebagai sang pematung. Gagasan dan bentuk patung itu darinya, walau yang mengerjakan patung itu tim yang besar sekali.
Bukan Bertholdi yang menyusun kepingan tembaga. Bukan ia pula yang mengecat patung dari kaki hingga kepala. Apalagi bukan Bartholdi yang membuat kerangka besi dan kayu untuk mendirikan patung itu.
Seribu orang lebih yang bekerja di lapangan, bahu membahu mewujudkan gagasan Auguste Bertholdi.
Tapi Bertholdi tetap dikenang sebagai sang pematung kareja design patung berasal darinya.
Pematung itu ada pada sang designer.
Di era kini, tim besar yang siap membantu kita berkarya, melukis, disediakan oleh teknologi. Artificial inteligence mengerjakan gagasan yang kita perintahkan.
Kita tetap sebagai designernya. Walau yang bekerja di lapangan adalah tim artificial inteligence, itu tetap dapat diklaim sebagai karya pribadi.
Kedua, karya kita tetap bisa dibedakan dengan karya orang lain, walau menggunakan aplikasi yang sama. Bukankah selama ini juga para pelukis menghasilkan karya berbeda walau menggunakan kuas, cat air dan kanvas yang sama.
Walau menggunakan alat yang sama, aplikasi yang sama, tetap ada personalisasi dari sang kreator. Itu yang penting. Itu yang membuat beda.
Di dunia lukisan, saya memilih aliran ekspresionism gaya Van Gogh. Aplikasi lukisan yang ada, saya arahkan ke genre itu. Namun berbeda pula dengan Van Gogh, saya menambahkan hal lain lagi.
Saya ingin sedikit berbagi pengalaman perkenalan batin saya dengan Van Gogh yang sudah wafat lebih dari seratus tiga puluh tahun lalu (1890).
“Saya bermimpi melukis, kemudian saya melukis mimpi saya.” Ini kalimat yang dikatakan oleh salah satu pelukis raksasa Van Gog
Semasa hidupnya, 1882-1885, Van Gogh sudah mengekspresikan mimpinya dalam lebih dari 900 lukisan. Namun ia hanya berhasil menjual satu lukisan saja semasa hidupnya, berjudul Red Vanyard at Arles. (2)
Lukisan itupun dibeli oleh keluarga dari sahabatnya sendiri: Anna Boch.
Van Gogh hidup dalam kondisi yang melarat. Gaya melukis Van Gogh tidak populer di zamannya. Tapi Van Gogh bersikeras tetap melanjutkan gaya lukisannya sendiri, walau tak ada yang membelinya.
Van Gogh hanya ingin mengekspresikan dirinya. Ia hanya tergerak untuk melukis mimpinya.
Kini, 130 tahun setelah kematiannya, lukisan Van Gogh termasuk yang paling mahal yang pernah terjual.
Di tahun 1990, lukisannya berjudul The Portrait of Dr. Gauche, terjual dengan harga USD 85 juta. Itu sama dengan 1,2 triliun rupiah.
Sejak lama saya menggandrungi Van Gogh. Sejak bersekolah di Amerika Serikat, saya mencari poster lukisannya di berbagai toko seni.
Saya menyenangi gaya lukisan Van Gogh, yang sering disebut dengan genre ekspresionisme. Dalam gaya ini, yang dilukis tak hanya realitas fisik sebuah obyek, tapi juga emosinya, gairahnya, gejolak batinnya.
Emosi itu terasa dalam lukisan melalui tarikan kuas, permainan warna.
Di kemudian hari Van Gogh dianggap sebagai bapak ekspresionisme. Lukisannya menggunakan warna untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan suasana hati.
Lukisan Van Gogh juga lebih menggunakan simbolisme, lebih abstrak dibandingkan lukisan realisme atau fotografis yang populer saat itu.
Ketika berniat membuat serial lukisan Power of Silence, gaya lukisan Van Gogh yang saya pilih. Namun tentu saja, saya menambahkan yang lain lagi agar perbedaan saya dengan gaya lukisan Van Gogh tetap hadir.
Ketiga, karakter apa, inovasi apa yang ingin saya sampaikan lewat serial karya lukisan ini? Kepuasan saya selaku kreator akan lebih puncak jika berhasil meramu karya lukisan yang memiliki karakter sendiri.
Inilah pkarakter yang saya renungkan, untuk terus hadir dalam serial lukisan saya.
Maka ada empat karakter utama jenis lukisan yang saya beri nama LUKISAN ESAI.
Pertama, ini jenis lukisan hibrida. Yaitu lukisan yang dibantu oleh aplikasi digital, artificial inteligence. Goresan manual pelukis, kuas, warna dan tarikan garis tangannya, menjadi finishing touch saja dari lukisan itu. Katakanlah ini gabungan lukisan dari aplikasi lukisan dan tangan manual sang kreator.
Kedua, karya ini seperti esai yang disampaikan melaui serial lukisan. Ada pesan utama lukisan yang diekspresikan dalam bentuk potongan puisi atau kutipan yang puitis. Dalam lukisan itu, di atas kanvas, hadir teks puisi.
Namun lukisan saya hadir dalam serial. Esai mengenai Cinta Ilahi hadir dengan serial 15 lukisan. Esai tentang Pertanyaan Filosofis hadir dengan serial 16 lukisan. Esai tentang the Power of Silence hadir dengan serial 12 lukisan.
Serial 15 atau 12 atau berapa saja lukisan itu bercerita tentang pesan utama. Pesan utama disamping di sampaikan lewat lukisan itu, juga diperkuat dengan teks kutipan puitisnya.
Ketiga, tak hanya isi kutipan puitis, tapi juga pemilihan huruf dan warna teks puisi itu menyatu dengan lukisan. Secara grafis, teks puisi itu menjadi bagian harmoni dari lukisan.
Keempat, judul lukisan tidak berada di luar kanvas. Judul lukisan tercantum dalam kanvas berupa potongan puisi itu sendiri.
Apa judul lukisan? Teks yang ada dalam lukisan, itulah judulnya.
Maka terhidanglah 73 lukisan spirtual dalam lima serial di buku ini. Yaitu Serial Cinta Ilahi (15 lukisan). Serial renungan Guru Sufi Rumi (15 lukisan). Serial Pertanyaan Filosofis (16 lukisan).
Serial 5 Guru Spiritual: Buddha, KongHuChu, Khrisnamurti, Dalai Lama dan Osho (15 lukisan). Dan Serial Th Power of Silence (12 lukisan).
Di era media sosial, sebelum dihimpun di buku, karya lukisan saya itu sudah beredar luas di aneka grup WhatsApp. Juga lima serial itu sudah muncul di Youtube. Satu serialnya: Cinta Ilahi sudah ditonton lebih dari 50 ribu kali.
Hadirnya 73 lukisan itu di Youtube dalam 5 video membuat lukisan itu seolah terus dipajang dalam pameran yang permanen.
Mengapa lagi 73 lukisan ini perlu dibukukan? Buku ini sebuah deklarasi. Saya meyakini lukisan hibrida, gabungan bantuan artificial inteligence dan tarikan manual kuas dari kreatornya akan memiliki komunitas sendiri.
Katakanlah buku ini dapat menjadi referensi soal pemikiran dan latar hadirnya lukisan hibrida, lukisan esai bagi komunitas itu nanti.
The Power of Silence menjadi tema dasar 73 lukisan. Bagi sang pejalan spiritual, keheningan memang satu-satunya password untuk merasakan sentuhanNya.
CATATAN
1. Patung Liberty dikerjakan oleh sekitar 1000 orang dalam waktu 9 tahun. Tapi tetap ini diakui sebagai karya sang penggagas Auguste Bartholdi.
https://dozr.com/blog/building-the-statue-of-liberty
2. Semasa hidupnya, https://www.thoughtco.com/van-gogh-sold-only-one-painting-4050008Van Gogh hanya berhasil menjual 1 lukisan dari 900 karyanya. Tapi ia tak peduli karena meyakini pilihan seninya. Kini ia menjadi raksasa pelukis.
https://www.thoughtco.com/van-gogh-sold-only-one-painting-4050008
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, dan Penulis Buku.