Telusur.co.id - Oleh : Dwi Wahyudi
Pilkada Serentak 2020 digelar dalam situasi nonbencana (Covid-19). Pilkada Serentak 2020 menjadi pengalaman pertama kali bagi penyelenggara pemilu.
Pilkada yang idealnya digelar 9 September 2020 digeser menjadi 9 Desember 2020 setelah melalui banyak diskusi dan pertimbangan. Situasi ini tidak lain disebabkan pandemi Covid-19 yang tak kunjung melandai di negeri ini. Alih-alih menunjukkan tanda-tanda mereda, pada April hingga pertengahan 2020, jumlah korban yang terinfeksi virus cenderung semakin meningkat.
14 April, pemerintah dan KPU menyepakati opsi penundaan Pilkada Serentak dengan mengamandemen pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 untuk masuk ke dalam Perppu. Pada tanggal 4 Mei 2020 keputusan penundaan tersebut kemudian dituangkan pemerintah dalam Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.
Keputusan melaksanakan pemilihan di tengah pandemi tidak sepenuhnya mendapat respons positif dari masyarakat. Setidaknya hal ini tergambar dari hasil survei online Litbang Kompas yang dilakukan pada 24-25 Maret 2020 atau sebelum terbitnya Perppu.
Penelitian yang dilakukan di 27 Provinsi se-Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 1.315 responden menunjukkan bahwa pendapat publik tentang penundaan Pilkada sebesar 92 persen responden setuju tahapan Pilkada ditunda. Mereka beralasan Pilkada di tengah pandemi rentan terhadap penyebaran Covid-19 (jatim.bawaslu.go.id, 2020).
Dari survei tersebut juga diketahui mayoritas responden lebih setuju Pilkada ditunda sampai tahun 2021. 36,9 persen setuju ditunda pada September 2021. 32,3 setuju ditunda pada 17 Maret 2021 dan hanya 16,9 persen yang setuju ditunda pada 9 Desember 2020 sisanya menjawab tidak tahu.
Untuk menjaga konsistensi partisipasi pemilih seperti pada Pemilu 2024 yang mencapai 81 persen, maka beberapa analisis yang dikemukakan sebelumnya adalah perlunya penyelenggara untuk meyakinkan kepada pemilih atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara, meyakinkan juga bahwa pemilihan dilaksanakan secara free and fair. Dan yang tidak kalah penting adalah pemilih akan mendapatkan insentif berupa kebijakan pemerintahan yang baik.
Dalam konteks pilkada, masyarakat diharapkan dapat memilih calon yang sesuai dengan keinginannya. Terminologi insentif harus dibaca oleh penyelenggara sebagai sebuah kesempatan untuk menaikkan minat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya pada 14 Februari 2024. Kesamaan tersebut adalah kehendak pemilih memiliki kencerungan didorong oleh insentif.
Sehingga penyelenggara pemilihan jugaperlu melakukan upaya pragmatis kepada para pemilih dengan pemberian insentif. Upaya yang dimaksud misalnya, dalam situasi pandemi penyelenggara dengan dukungan anggaran yang baik dapat juga memberikan insentif pada saat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dengan memberikan masker secara cuma-cuma kepada warga yang menggunakan hak pilihnya.
Gambaran teknisnya, pemilih pada saat datang ke TPS dapat menukar undangan yang diberikan oleh petugas beberapa hari sebelumnya dengan masker yang telah disiapkan oleh petugas. Pemberian instentif ini juga sebagai bentuk kepedulian penyelenggara terhadap jaminan kesehatan pemilih sekaligus sebagai rangkaian upaya memutus penyebaran Covid-19.
Upaya lain yang dapat dilakukan secara pragmatis mendongkrak partisipasi masyarakat adalah dengan memanfaatkan gerakan sporadis perlawanan warga terhadap Covid-19 yang kini bertransformasi menjadi gerakan sistemik dengan label “Kampung Tangguh”.
Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik.
Di samping itu pula, proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Di kebanyakan negara yang mempraktikkan demokrasi, pemilihan umumya yang dilaksanakan secara periodik dalam tenggang waktu tertentu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Pemilu dianggap sebagai indikator utama negara demokrasi, karena dalam Pemilu rakyat menggunakan suaranya, melaksanakan hak politiknya dan menentukan pilihannya secara langsung dan bebas.
Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Dalam berdemokrasi, keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara adalah sebuah keniscayaan (keharusan yang tidak bisa tidak).
Rakyat menjadi faktor yang sangat penting dalam tatanan demokrasi, karena demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah.
Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat (teori bahwa negara ada sebagai manivestasi kehendak tuhan di muka bumi yang menjelma dalam aspirasi rakyat).
Sesuatu yang tidak bisa dilepaskan ketika membahas tentang partisipasi adalah golput untuk menyebut bagi pemilih yang tidak menggunakan haknya. Fenomena golput ini ada di setiap pemilihan umum.
Di hampir setiap pemilihan, jumlah golput akan dianggap sehat jika jumlah golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah golputnya melampaui titik itu, mencapai kisaran 40 persen bahkan ada yang lebih.
*Penulis adalah Presidium MD KAHMI Mojokerto.