Oleh : Wanda Ilham Ramadhan
Seperti yang kita ketahui Pemerintah sudah melakukan banyak sekali upaya untuk memutus serta menghilangkan virus corona atau yang kita bisa sebut Covid-19.
Salah satu atau kehidupan normal yang baru ditengah pandemi Covid-19 yang bertujuan agar kesembuhan masyarakat dapat mengalami peningkatan.
Tepat tanggal 8 Juni 2020 Pemerintah sudah memutuskan untuk menerapkan “New Normal” karena di situasi Pandemi virus corona yang saat ini selalu mengalami peningkatan korban.
Dan ekonomi menjadi masalah utama pada situasi pandemi seperti seaat ini. Maka Pemerintah mengusul bahwa kita harus tetap menjalankan aktifitas seperti biasa dengan berdampingan dengan virus corona ini.
Dengan menerapkan New Normal masyarakat bisa tetap melakukan aktifitas di luar ruangan seperti sebelumnya dengan catatan harus selalu menerapkan himbauan tentang kesehatan. Diberlakukannya penerapan New Normal pasti mengundang pro dan kontra bagi masyarakat.
Terkususnya bagi pemuda atau mahasiswa yang berkecimpung di dunia organisasi itu tentu membuat mereka sedikit tidak leluasa dalam menjalankan amanah organisasi atau yang sedang merancang program kerja. Budaya organisasi sebagai sistem yang menembus nilai-niai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi (Nimran, 2004) belakangan sedang diuji.
Secara sederhananya dalam organisasi berisi kumpulan orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Pada prinsipnya, setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing yang menjadi karakter atau ciri khas organisasi tersebut.
Mendefinisikan budaya organisasi tentu akan erat kaitannya dengan kondisi atau lingkungan organisasi, dimana organisasi itu berada. Pasalnya pengaruh dari lingkungan akan sangat berdampak dalam menciptakan budaya organisasi.
Pengaturan personalianya pun demikian, yang memudahkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggung jawab. Sudah hampir 3 bulan lamanya, sejak pertama kali diumumkan kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia.
Sampai saat ini masyarakat telah terbiasa dengan melakukan segalanya dari rumah. Oleh karena itu, perubahan ini lebih popular disebut “Era New Normal” dengan munculnya kebiasaan baru di tengah masyarakat.
Belakangan seluruh elemen mendadak mengalami perubahan drastis. Aktivitas yang biasanya dilakukan di luar ruangan kini menjadi terbatas di dalam ruangan.
Hal ini pun, pada akhirnya mempengaruhi berbagai aspek. Baik itu dari segi ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan lainnya. Termasuk dalam hal ini budaya organisasi.
Sayangnya, sebagian organisasi masih mempertahankan budaya lamanya. Masih banyak yang belum menerapkan bahwa budaya organisasi tidaklah sekaku itu, yang selalu terus menerus harus dilestarikan.
Organisasi akan maju jika memang pengaturan organisasinya dilakukan secara fleksibel mengikuti corak perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai luhur yang sudah ada.
Namun, kondisi semacam ini perlu dipahami juga oleh seluruh anggota dalam organisasi. Akan sangat fatal jika banyak yang justu acuh tak acuh dengan perubahan yang sudah ada.
Perubahan yang kian cepat haruslah direspon secara positif oleh organisasi, sehingga apapun perubahannya tidak membuat organisasi kehilangan budaya yang sudah menjadi ciri khasnya.
Jika memang semua anggota telah memahami karakteristik budayanya maka perubahan apapun akan dapat direspon secara bijaksana dan cermat.
Perubahan Budaya Organisasi
Budaya sebagai falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan juga norma dimiliki secara bersama dan mengikat oleh setiap organisasi. Aspek budaya organisasi digolongkan menjadi 3 bagian (Schein, 2010), diantaranya:
Pertama, artefak yang berisi berbagai hal yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan ketika dijumpai. Secara garis besar, aspek ini adalah sesuatu yang paling mudah untuk dilihat dan dirasakan.
Sebelum wabah Covid-19 datang ke Indonesia yang akhirnya mengubah aktivitas organisasi menjadi #dirumahsaja. Alhasil semua kegiatan dapat dimaksimalkan dengan metode virtualisasi. Kedua, keyakinan dan nilai yang dianut merupakan ideals, goals, valuas, aspirations, ideologis, and rationalization (Schein, 2010).
Beralihnya aktivitas organisasi ke dunia maya lantas menghilangkan interaksi sosial secara tatap muka. Pada kondisi ini, sejatinya telah merubah nilai sosial yang selama ini dijalankan oleh organisasi.
Ketiga, asumsi dasar yang merupakan asumsi tersirat dan membimbing sebagai haluan organisasi bertindak dan berbagi kepada para anggotanya, dengan mereka melihat, berfikir, dan merasakan. Aspek ini menjadi aspek terkecil dalam menciptakan budaya organisasi.
Pada prinsipnya ada 2 elemen budaya organisasi. Pertama, elemen idealistik yang berupa keyakinan seperti asumsi dasar dan nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam berperilaku. Kedua elemen yang bersifat behavioral yang tampak dan mudah diamati sepertihalnya artefak yang berwujud fisik, perilaku, dan verbal.
Usut punya usut, setelah dilanda wabah pandemi Covid-19 ada organisasi yang fakum dan menunda sementara program-programnya. Di sisi lain, justru ada juga yang memanfaatkan momen ini sebagai sarana komunikasi virtual agar lebih efektif.
Banyak spekulasi jika era new normal ini menjadi tantangan besar organisasi atau justru peluang yang mestinya dapat dioptimalkan.
Harapannya era perubahan baru ini, dapat direspon positif dan budaya organisasi ini dapat dikembangkan untuk menciptakan budaya tanpa merubah tradisi luhur yang sudah ada.
*Penulis adalah Mahasiswa Fisip Ilmu Komunikasi 2016, Kader Biasa HMI Cabang Ponorogo Komisariat Fitrah.