telusur.co.id - Korupsi masih menjadi masalah terbesar bangsa Indonesia saat ini, khususnya persolan bantuan sosial (Bansos).

Hal ini dilontarkan oleh Ahmad Sofyan Wahid (ASW) di salah satu cafe di Bilangan, Jakarta Selatan, pada Rabu, (24/3/2021). 

ASW selaku Koordinator GARKINDO '45 mengatakan, "Bantuan harusnya diberikan kepada warga masyarakat yang berhak, akan tetapi banyak dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan golongan ini sebuah kezhaliman yang luar biasa,” ujarnya kepada telusur.co.id.

Menurutnya, ketika Indonesia terkena dampak pandemi Covid-19 yang mengharuskan negara menerapkan PSBB, otomatis efek sistemik kepada masyarakat, khususnya warga menengah ke bawah. Kesewenang-wenangan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. 

Dilansir dari BeritaSatu tanggal 10/5/2020, terkait bansos, KPK mengkaji temuan BPK adanya potensi kerugian negara Rp 843,7 miliar.

Diketahui, dalam temuan BPK diduga ada permasalahan data bansos di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda).

Hal ini berdasarkan pemeriksaan terkait pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dalam penyaluran bansos selama 2018 hingga kuartal III 2019.

Hasil analisis BPK, penggunaan DTKS belum dapat meminimalisasi permasalahan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi pada penyaluran Bantuan Sosial Pangan Nontunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Bahkan, BPK menemukan adanya permasalahan penyaluran BPNT dan PKH dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) kepada Kementerian Sosial (Kemsos). 

Akibat hal tersebut, BPK menduga adanya kekurangan penerimaan atas sisa saldo program pemerintah di rekening bank penyalur yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 843,7 miliar. 

Dilansir dari kontan.co.id, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini melaporkan realisasi anggaran Bansos perlindungan sosial untuk pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 123,51 triliun. Jumlah tersebut sekitar 97,09% dari total pagu bansos 2020 yang sebesar Rp 127,20 triliun. 

Bila dirinci, realisasi bansos sembako Jabodetabek mencapai 99,91%, bantuan sosial tunai (BST) sebesar 98%, bansos tunai bagi KPM sembako non PKH sebesar 99,99%, program keluarga harapan (PKH) 99,92%, bansos beras sebesar 100% dan program sembako (BPNT) sebesar 92,92%. 

“Koruptor Bansos yang ditangkap KPK jangan hanya yang besar saja jumlahnya, yang sedang dan kecil juga harus ditangkap,” imbuh ASW. 

Lebih lanjut, besar dan kecil korupsi bansos pasti akan berdampak langsung untuk kesehatan perut masyarakat Indonesia.  

Data berupa angka di atas sangat besar jumlahnya, jika para aktivis anti korupsi dan  pegiat kemanusiaan tidak terus konsisten memerangi hal ini, maka akan menjadi persoalan lumrah.  

ASW menegaskan, KPK dan lembaga terkait harus aktif memberantas korupsi bansos  serta melibatkan langsung masyarakat.  

“Mengibarkan bendera perang terhadap korupsi bansos ini harus segera dimulai, karena ini adalah kejahatan kemanusiaan bersifat extra ordinary crime,” tegasnya. 

Masyarakat harus pro aktif dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi bansos, karena ini adalah hak warga penerima bantuan tunai dan sembako yang telah dimanipulasi untuk kepentingan oknum tertentu.  

Ditambahkan ASW, memburu para koruptor bansos harus gencar, karena ini langsung berkaitan dengan persoalan perut masyarakat Indonesia yang tidak bisa ditunda. 

“Jika pelaku korupsi bansos dari Sabang sampai Merauke banyak yang ditangkap, otomatis uang hasil tangkapan akan kembali ke kas negara, hal ini juga menunjukan kinerja KPK bahwa lembaga anti rasuah tersebut tidak tumpul seperti yang diberitakan media saat ini,” tutur ASW. (sa/ari)